Kami sebenarnya telah diperingati untuk tidak melewati perbatasan desa. Suatu hari, gara-gara ingin mencari sudut pandang yang lebih baik plus tempat yang sepi untuk buang air, Jon berjalan-jalan ke hutan di sekitar desa. Ketika sedang menyusuri jalan keluar desa, secara naluri ia memandang ke bawah. Ada lubang gelap di balik dedaunan tak jauh dari ujung kakinya. Ketika dilihat lebih dekat, tampaklah ujung-ujung runcing kayu yang menghadap ke atas. Ia berada persis di tepi perangkap manusia, berupa sumur dalam yang ditutupi dedaunan dan cabang pohon. Tongkat kayu yang diruncingkan itu diselimuti dengan tinja sehingga kalaupun korban tidak langsung mati, riwayatnya bakal habis juga karena infeksi. Semangat Jon langsung terbang. Ia balik ke ranjang jalanya dan termenung-menung di sana sampai berjam-jam.
Sekembalinya ke San Salvador, kami beristirahat sebentar di sebuah hotel berbintang empat sebelum merambah semak belukar lagi. Kali ini tuan rumahnya pihak militer pemerintah. Mereka memberikan izin kepada kami untuk ikut dalam salah satu ekspedisi mereka ke pegunungan.
Rombongan kami berangkat menumpang tiga helikopter dengan pintu terbuka. Lucunya kami tepat melayang di atas hutan pegunungan yang kami tempuh setengah mati bersama para gerilyawan. Rute penerbangannya ternyata sama persis dengan rute kami dulu. Perjalanan berminggu-minggu yang amat meletihkan itu kali ini ditempuh habis hanya dalam 20 menit.
Begitu helikopter mendarat, kami makin bersemangat. Tempat terbuka itu tak jauh dari kampung gerilyawan yang kami kunjungi! Secara refleks saya segera menyusuri jalan setapak yang menuju kampung. Untung, bisikan keras Jon menghentikan saya. Si kapten muda tuan rumah kami sempat memandang penuh selidik.
Ternyata yang kami jumpai bukan lagi Penas Blancas seperti beberapa hari yang lampau, tapi beberapa gubuk hangus dan bangkai ternak. Baik gerilyawan maupun 200 wanita dan anak-anak yang tinggal di sana tak lagi tampak batang hidungnya. Menurut keterangan resmi militer, ini adalah kamp latihan 500 gerilyawan yang telah ditangkap dan bangunannya mereka ratakan dengan tanah. Tak disebut-sebut soal wanita dan anak-anak.
Si kapten muda dengan bangga berpose di bawah pohon mangga. Selain seragamnya, ia tak berbeda dengan gerilyawan muda yang berdiri di situ beberapa hari sebelumnya.
Kemudian pandangannya penuh selidik lagi.
"Saya tahu, ada wartawan yang sudah kemari," ujarnya.
Saya mulai merasa mual. "Apa yang membuat Anda berpikir begitu?"
"Lihat!" Si kapten memungut tube plastik berwarna terang. Saya kenali benda itu: penggulung film yang saya berikan kepada anak-anak di sana untuk bermain.
"Pasti, begitu kami tahu siapa wartawan itu, langsung kami bunuh." Oh.
Dihajar bom
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR