Intisari-Online.com – “…… Biarpun aku tak beruntung sampai keujung jalan itu, meskipun patah ditengah jalan, aku akan mati dengan merasa bahagia, karena jalannja sudah terbuka dan aku turut membuka jalan yang menuju kearah wanita Indonesia merdeka …”
Bel istirahat sekolah dasar Eropa Jepara berbunyi. Sekelompok murid-murid gadis remaja bercengkerama di bawah pohon waru rindang. “Ayo, ceritera Letsy", bujuk anak yang berkulit sawo matang.
“Lain kali, Ni. Aku masih harus menhafalkan pelajaran Perancisku", jawab seorang gadis Belanda tinggi tegap. “Belajar dirumah saja, Lets. Itu toh bukan pekerjaan sekolah".
“Tetapi bila aku dua tahun lagi tidak lulus, aku tidak boleh pulang kenegeri Belanda. Aku ingin menjadi guru. Kelak, jika sudah lulus, mungkin aku akan ditempatkan disini juga. Kemudian aku akan duduk dimuka kelas, tidak lagi dibelakang seperti sekarang. Ni, kamu sendiri kelak mau jadi apa ?”
Bagi Kartini atau “Trinil" pertanyaan ini sebagai halilintar di siang hari bolong. Ayah dan kakak-kakaknya memanggilnya “Trinil" karena kelincahannya yang mirip burung yang kecil mungil itu.
La diam sejenak. “Ya, apa? Aku sebenarnya belum pernah memikirkan hal itu,” akirnya ia menjawab.
Kartini tak dapat memusatkan perhatiannya pada pelajaran selanjutnya. Pertanyaan itu meninggalkan kesan yang terlalu dalam untuk melupakannya begitu saja.
Setiba dirumah, ia segera bertanya kepada ayahnya yang sangat disayangi, “Aku kelak jadi apa, pak". Salah seorang kakak laki-lakinya yang kebetulan mendengar pertanyaan itu mengejek, “Sudahlah jangan memikirkan yang bukan-bukan. Semua anak perempuan akan menjadi ..Raden ayu".
Baca juga: Inilah Nurani, Mantan Juru Kunci Makam Kartini yang Mengaku Reinkarnasi Putra Raja Brawijaya IV
“Oh", pikir Kartini. “Jadi setiap wanita harus menikah. Tak perduli dengan siapa, senang atau tidak. Mereka akan dikuasai suaminya, karena tak ada jalan lain. Betapa tidak. Mereka tak berdaya, karena tak dapat mencari nafkah sendiri. Mereka dapat ditalakkan atau diceraikan bila sang suami menganggap perlu. Kalau ia tak mau melepaskan isterinya, pihak wanita juga tak dapat berkutik seumur hidup. Jika hanya mengambil isteri muda, ia masih harus berterima kasih. Itulah nasib seorang wanita.”
Kartini benci kawin paksa semacam ini. Peraturan perkawinan menurut adat terlalu menguntungkan pihak suami. Keadaan masyarakat zaman itu juga menunjukkan fakta-fakta yang mengerikan.
“Aku tak dapnt membiarkan itu berlangsung terus. Kami berusaha meninggikan taraf pendidikan kaum wanita, agar dapat berdiri sendiri, bila perlu. Agar mereka tak dapat dipaksa menerima sembarang tawaran tanpa persetujuannya sendiri".
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR