Intisari-Online.com – Raden Ajeng Kartini (21 April 1879 - 17 September 1904), sejak tanggal 2 Mei 1964 ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, lalu hari kelahirannya tiap tahun dikenang sebagai Hari Kartini.
Cukup banyak pikiran dan sisi kehidupan Kartini dibahas, namun masih ada sudut-sudut tertentu yang patut dikenang, seperti tulisan wartawan Intisari Anglingsari Saptono, Djati Surendro dan Al. Heru Kustara berikut ini, seperti pernah dimuat di Intisari edisi April 1991.
--
Guyuran hujan siang itu seperti air tumpahan dari langit bolong. Pantas kalau penarik becak yang mangkal di terminal Jepara, Jawa Tengah, itu lebih enak meringkuk di becaknya.
Tapi, sejumlah kedai nasi di seputar terminal justru dipadati orang yang jajan, atau , sekadar numpang berteduh.
"Bu, Museum Kartini itu jauh nggak dari sini?" tanya seseorang yang numpang berteduh ketika hujan mulai mereda kepda seorang wanita pemilik warung.
"Naik becak paling lima ratus. Letaknya di Pantai Kartini, kira-kira dua kilometer dari sini," kata wanita setengah baya pemilik sebuah warung nasi di terminal itu still yakin.
Cerita seterusnya gampang ditebak. Si penanya salah alamat. Sebab, kepada tukang becak ia minta diantar ke Pantai Kartini. sesuai info pemilik warung bahwa Museum Kartini terletak di areal wisata pantai di Jepara itu.
Padahal, sejak dibangun tahun 1978, museum itu masih tak beringsut dari tempatnya di tengah kota dekat kompleks Gedung Kabupaten Jepara.
Tak usah dicari-cari siapa biang salah alamat dalam kasus itu. Tapi, andai saja Bu War(ung) yang asli Jepara itu betul tak pahami letak persisnya Museum Kartini di Jepara, betapa malangnya nasib mendiang R.A. Kartini! Wanita yang sejak 2 Mei 1964 dinobatkan sebagai pahlawan nasional itu seakan telah "dilupakan".
Museum duplikat
Kota di tepi pantai utara Jawa berpenduduk lebih dari 750.000 jiwa itu sunyi. Museum Kartini pun dingin dan sepi. Kesepian terasa makin menggigit manakala rumput dan ilalang di sebagian halamannya menyubur.
Masih seperti kondisinya 10 tahun lalu, langit-langit bangunan museum membocorkan air hujan di sana-sini. Dinding-dinding nampak pucat, seperti lama tak terjamah kuas tukang cat.
Namun, tak berarti museum tersebut sama sekali dilupakan. Setiap bulannya rata-rata 5.000 orang dari segala pelosok tanah air berkunjung ke sana. "Bahkan jumlah pengunjung cenderung meningkat," kata pemandu museum.
Meski keadaan gedung museum yang dulu dibangun secara bertahap dengan dana banpres sebesar Rp25 juta itu rada memprihatinkan, toh pengunjung masih bisa napak tilas perjalanan hidup Kartini melalui foto-foto reproduksi yang dipajang di sana.
Juga lewat sejumlah koleksi benda peninggalannya yang berupa meja tulis, rak buku, vas bunga, dan botekan (tempat menyimpan jamu), meski cuma duplikatnya – kecuali mesin jahit, piring, dan beberapa lembar kain renda karya murid-murid Kartini.
"Benda-benda asli peninggalan Kartini lainnya sebagian tersimpan di Kamar Pengabadian di Gedung Kabupaten Rembang, tapi tak sedikit yang mengembara entah ke mana," kata pemandu museum.
Meja tulis yang asli misalnya, diketahui jatuh ke tangan keluarga R.M. Abdul Djalil di Kudus. Terakhir diketahui, meja itu akan dijual pemiliknya yang sudah renta dan sakit-sakitan seharga Rp 50 juta!
Abdul Djalil adalah cucu R.M. Soemodimedjo yang di zaman Kartini dulu jadi mantri di daerah Mayong, tempat lahir Kartini.
Baca Juga: Selain RA Kartini, Mari Berkenalan Dengan 6 Wanita Luar Biasa yang Ada di Seluruh Dunia
Benda-benda di museum itu mengusik kembali ingatan orang kepada kegiatan-kegiatan Kartini disebagian hidupnya. Rak buku dengan cat serba hitam itu misalnya, mengingatkan bahwa Kartini seorang kutu buku.
"Meskipun tidak boleh melanjutkan sekolah ke HBS, Kartini diizinkan membaca banyak buku yang dapat menambah wawasan dan pengetahuannya tentang kedudukan wanita dan segala peristiwa yang terjadi di dunia saat itu," hitur Prof. Dr. Sulastin Soetrisno, penerjemah buku-buku kumpulan surat-surat Kartini, dan guru besar luar biasa pada Fakultas Sastra UGM.
Memang, kalau membaca surat-suratnya, kita kagum akan bacaannya berupa buku-buku yang ditulis oleh para pengarang terkerial saat itu.
Lalu meja tulis itu, mengingatkan orang pada kesibukan Kartini berkorespondensi dengan teman-teman Belandanya, maupun pembesar-pembesar Belanda lainnya.
Barangkali, di atas meja itulah Kartini mengasah penanya hari demi hari. Lewat surat-suratnya, ia menuangkan segala pikirannya; mengungkapkan perasaannya, merangkum dan menganalisis apa yang dia saksikan dan alami di sekitarnya.
"Kegenitan" Kartini
Namun, seperti diketahui, Kartini tak hanya menulis untuk berkorespondensi, tapi juga menulis untuk umum lewat media massa. "Beberapa kali ia menulis artikel di beberapa majalah, misalnya saja di Majalah. Libello, Echo Hollandse Lelie, dsb.
Padahal, kegiatan menulis untuk umum buat wanita di zaman itu - lebih-lebih yang belum bersuami – sangatlah tidak patut. Itu pertanda "kegenitan" seorang wanita yang belum bersuami.
Baca Juga: Cicit RA Kartini Dilaporkan Hidup Memperihatinkan, Ini Penjelasannya
Tak heran kalau kemudian Kartini mendapat cemoohan dari kanan-kiri, meski ia selalu berkonsultasi lebih dulu dengan ayahnya, tentang patut tidaknya tulisan yang sudah dia bikin itu dimuat.
Makanya, lewat suratnya tanggal 3 Januari 1903 kepada H.H. van Kol, Kartini pernah menyinggungnya: "... Ada yang tidak senang hatinya karena saya mengarang; dan saya diberi peringatan agar berhenti berbuat deemikian.
Tidak pantas, seorang anak perempuan menulis untuk umum. Aduhai, cis, perempuan yang belum kawin, namanya disebut-sebut orang kiri-kanan: Bila dia bersuami, tidak mengapalahl"
Sayang, "Dokumen berupa karangan-karangan dia di beberapa media massa itu sampai sekarang tidak ditemukan," kata Sulastin. Kalau saja dokumen itu masih ada, jangan-jangan bisa dipakai sebagai bahan studi bahwa Kartini, yang memakai nama samaran "Tiga Soedara" dalam beberapa tulisannya di media massa, adalah "wartawati", atau paling tidak kolumnis wanita pertama yang kita miliki.
"Orang dapat merampas banyak dari kami, ya semuanya, tetapi jangan pena saya. Ini tetap milik saya, dan saya akan berlatih dengan rajin menggunakan senjata itu. Janganlah kami terlalu banyak diusik, sebab kesabaran yang sesabar-sabarnya akhirnya juga akan habis juga. Oleh karena itu kami akan menggunakan senjata itu, walaupun kami sendiri akan terluka karenanya .... Aduhai! Tuhan, berilah kami kekuatan. Kuatkan dan bantulah kami! ... maafkan saya, cintailah anaka-nakmu yang berkulit coklat ini ...," begitu isi surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri (12 Oktober 1902)..
Uang saku minim dan tidak kaya
Di museum itu memang terlihat sejumlah piring beling asli piranti makan Kartini. Sayangnya, tak bisa ditemui misalnya koleksi sendok-garpu atau piranti masak-memasak milik -beliau.
Padahal itu bisa jadi-peringatan, bahwa Kartini tetaplah seorang wanita feminin, meski terus gigih memperjuangkan nasib kaum dan juga bangsanya.
Sisi kewanitaan Kartini tercermin antara lain pada kegemarannya masak-memasak di waktu luang, bersama kedua adikhya, Roekmini dan Kardinah.
"Selain masakan tradisional, Kartini senang mencoba resep-resep masakan barat yang diambil dari majalah, lalu disuguhkan kepada keluarganya, teman-teman dekat atau para tamu. Masakannya berupa huzarensla, macam-macam sup ala Barat dan sebagainya," tutur Sulastin.
"Karena mengolah masakan Barat itu butuh biaya tidak sedikit, makanya Kartini hanya mencoba satu dua kali dan satu dua macam saja," sambung Sulastin.
Rupanya, Kartini tidak banyak mendapat jatah uang saku dari ayahnya yang memang tidak kaya. Hal itu tampak dalam surat Kartini yang ditujukan kepada E.H. Zeehandelaar (11 Oktober 1901): "... kami sama sekali tak kaya raya.
Baca Juga: R.A Kartini: Benci Peraturan Perkawinan yang Hanya Menguntungkan Pihak Suami
Walaupun ayah berpenghasilan besar, tetapi banyak juga pengeluarannya, sehingga uang kami hanya cukup untuk hidup sederhana dan memberi pendidikan yang baik kepada anak laki-laki ... saya membuat rencana dalam hati untuk berganti haluan dan mengarahkan langkah ke sekolah dokter di Betawi, apabila biaya untuk pendidikan saya sebagai guru terlalu besar …. ayah setiap tahun harus mengeluarkan biaya lebih kurang f 1.200 – sama dengan penghasilan ayah sebulan … pendidikan untuk menjadi dokter dibiayai seluruhnya oleh pemerintah….”
Malah sebagai anak pembesar di zaman itu, Kartini dalam surat kepada E.H. Zeehandelaar tertanggal 18 Agustus 1899 berkata: ".... Baru-baru ini datang seorang Belanda ... ia minta kepada orang tua kami agar diperkenalkan kepada putri-putri ... Bupati, ujar bisik- bisik kepada ayah, tapi cukup terang juga bagi kami.
... Saya membayangkan pakaian putra-putri begitu gemerlapan ... tetapi anak-anak Tuan begitu sederhana ... Masya Allah ... pujian yang dilontarkan orang kepada kami karena memandang pakaian kami yang sederhana, membuat kami sendiri sering sekali takut menjadi pesolek dan perlente."
Kartini si Kuda Liar
Kabupaten Jepara dan Rembang memang pantas berbangga telah menjadi saksi sejarah dan perjuangan putri asal Mayong itu, masing-masing dengan ciri dan dinamikanya sendiri-sendiri.
Jepara menjadi saksi kelahiran dan suka duka kehidupan Kartini. Sedangkan Rembang merenda hidup baru Kartini bersama suami pilihan ayahnya, sambil menyaksikan Kartini meneruskan cita-citanya, sebelum akhirnya wafat dan dimakamkan di sana.
Kebanggaan itu antara lain mereka coba ungkapkan dengan "menghidupkan" kembali Kartini lewat monumen, memugar tempat kelahiran dan kuburan ari-ari Kartini di Desa ' Mayong (Jepara), dan mengabadikan namanya di areal wisata pantai di kedua kota itu.
Bahu-membahu bersama Pabrik Rokok Djarum Kudus, Pemda Jepara membangun sebuah monumen berupa partung setinggi 3,6 m yang menggambarkan Kartini sedang menggandeng seorang bocah menenteng buku di perempatan jalan jantung Kota Jepara, menghadap ke Timur menyongsong terbitnya matahari.
Tangan kanan mencengkeram obor yang bermakna membawa terangnya pendidikan dan martabat wanita. Ayunan langkah lebar melambangkan semangat juang tinggi menuju ke pembaruan dunia wanita dengan mendobrak adat lama yang kolot.
Di samping ke luar terus berjuang untuk meningkatkan harkat kaumnya, di rumah pun Kartini mencoba menggedor dan merobohkan benteng-benteng adat yang kolot.
Sejak tanggal 18 Agustus 1899, surat Kartini kepada Zeehandelaar menguraikan soal itu dalam tulisannya: “Bagaimana rumitnya etiket kami, akan saya ceritakan .... adik saya tidak boleh mendahului saya, kecuali dengan merangkak di tanah ... adik saya baik laki-laki atau perempuan tidak boleh beraku-berengkau kepada saya ....
Terhadap kakak saya, laki dan perempuan, saya taati semua peraturan sopan santun ... tetapi mulai dari saya ke bawah semua adat kami langgar sama sekali. Kebebasan, Persamaan dan Persaudaraan! .... Tidak ada kekakuan ... yang ada hanyalah persahabatan dan ketulusan hati ... kami disebut sebagai anak-anak tanpa pendidikan sedikit pun dan saya disebut kuda kore, kuda liar …”
Dalam hubungannya dengan itu, belakangan ketika diselenggarakan upacara pernikahannya dengan R.A. Djojoadiningrat, ia pun meniadakan acara sembah kepada sang mempelai laki-laki. Tampaknya, semangat egaliter yang memandang manusia dilahirkan sama dan sederajat sudah mendarah daging dalam sikap dan perilaku hidup Kartini.
Disainer dan eksportir ukiran
Kalau Jepara punya-museum, Kota Rembang yang hawanya sempat terhirup Kartini selama 11 bulan memiliki Kamar Pengabadian, yang juga berfungsi sebagai museum. Luas kamar itu 8 x 4 m, berada di sisi kanan gedung kabupaten, tak jauh dari beranda.
Di kamar itulah tersimpan koleksi asli seperti lukisan tiga angsa karyanya, contoh tulisan tangannya, botekan,kotak jahitan, piring makan, sejumlah payung kebesaran dan sebuah foto keluarga yang dibuat ketika beliau hamil dikelilingi suami dan anak-anak tirinya yang masih kecil.
Di Kamar Pengabadian itulah Kartini dulu bekerja dan terbaring hingga mengembuskan napas terakhir. Sayang, tempat tidur yang digunakan ketika ia melahirkan putra tunggalnya, R.M. Soesalit, dan tempatnya terbaring melawan maut, sudah tak ada lagi. Konon, tempat tidur kuningan besar itu sudah dijual oleh Bupati R.M.T. Abdul Karnain Djojoadiningrat (pengganti R.A. Djojoadiningrat – suami Kartini) ketika akan pindah ke Solo tahun 1943.
Tapi, dua buah sketsel (schudsel) atau penyekat ruang yang dulu dipakai untuk "memingit": Kartini cs. di rumah Jepara masih utuh berdiri; di pendopo Kabupaten Rembang. Setelah Kartini menikah, sketsel berukir indah dan berlubahg-lubang itu diboyong bersama benda-benda lain miliknya ke Rembang, tempat tinggalnya yang baru.
Aling-aling berukir itu memang tak lagi berfungsi seperti sediakala. Benda-benda indah itu kini justru membawa ingatan kita kepada kebanggaan dan perhatian Kartini terhadap seni ukir Jepara yang adiluhung.
Meski tidak begitu menonjol, "Kartini punya perhatian pada seni kerajinan ukir kayu seperti dikatakah dalam suratnya. Boleh dibilang tiap bulan ia mengirimkan beberapa pesanan kepada Perkumpulan Oost erf West di Belanda. Ia menjadi semacam koordinator para pengrajin, di samping ia sendiri juga mendisain model-model pesanan berikut motif ukirannya. Misalnya saja mendisain kotak penyimpan perhiasan," kata Sulastin.
Kekagumannya terhadap seni ukir Jawa, terutama hasil para seniman ukir berbakat. dari desa "belakang gunung", antara lain tertuang dalam surat tertanggal 20 Agustus 1902 kepada Ny. N. van Kol: "... melihat pembuatnya yang amat sangaf sederhana serta alat-alat yang dipakai untuk bekerja juga amat sangat bersahaja, maka hampir-hampir tumbuh rasa normal dan kagum sedalam-dalamnya terhadap, hasil seninya ... orang di sini berhadapan dengan seorang seniman sejati. Suatu ketika ... kami bertanya kepada pembuatnya: Hai Pak dari manakah segala keindahan itu Bapak ambil? ... dengan sederhana ia menjawab: Dari hati saya bendoro!"
Dengan caranya sendiri Kartini menjadikan dirinya sebagai propagandis yang gigih bagi barang-barang seni ukir Jepara. Namun, tujuan utamanya tidak lain adalah ingin meningkatkan taraf hidup para pengrajin.
Meski telah menghasilkan benda-benda seni yang bermutu, indah dan memiliki kepribadian sebagai bakat warisan turun-termurun, tapi keadaan mereka tetap saja memprihatinkan karena upah yang rendah.
Kartini pun tak ragu-ragu berkorespondensi, hanya untuk memberi tahu soal pesanan barang ukiran, misalnya surat tertanggal 31 Januari 1903 kepada E.C. Abendanon: "Hari ini suratnya harus selesai, sebab besok pos laut yang akan membawanya sudah tutup .... Meja kecil dan rak buku sudah saya pesankan kepada tukang ukir ... mejamu kami pesankan bersisi delapan, dan menurut pola batik jawa asli ... juga rak bukunya dibuat dari kayu sono (mengkilat gelap), kayu yang terbaik yang terdapat di sini ... sketsel yang belakangan kami kirimkan kepada gubernur jenderal bukan main eloknya ... kami memesan tabir api, sebuah di antaranya berdaun tiga berbentuk kulit kerang berlubang-lubang dan sebuah berbentuk garuda dengan sayap yang dapat dikepak-kepakkan.
Secara terus-menerus kami mendapat ilham-ilham baru ... kadang-kadang timbul pikiran baru kalau kami sudah berada di tempat tidur. Cepat-cepat kami turun ... mencatat pikiran itu ...."
Air susu kaleng dan ASI
Sebuah botekan berukir tempat menyimpan jamu tak pelak mengingatkan orang pada perhatian Kartini terhadap dunia kesehatan dan juga perawatan orang sakit. Langkanya tenaga dokter dan kenyataan akan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang dunia kesehatan, mendorong Kartini berpikir untuk mencari jalan keluarnya.
Seperti diulis dalam suratnya (Januari 1903): "... amat banyaknya kekurangan pertolongan dokter di Hindia .... Aduhai! Tidak perlu demikian banyak jiwa melayang, bila dalam lingkungan yang dekat ada yang memiliki pengetahuan dasar kesehatan walaupun seorang ... Kepala-kepala bumiputra dapat mengajarkan pengetahuannya tentang kesehatan kepada kepala-kepala desa dan dengan demikian untuk sementara di desa sudah ada sesuatu ...."
Tak jelas apakah yang dimaksud dengan sesuatu itu ada kaitannya dengan ide pengadaan rumah pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Tak jelas pula apakah bentuk puskesmas yang kini kita kenal itu juga berangkat dari ide Kartini.
Yang terang, Kartini menaruh perhatian cukup besar pada dunia kesehatan dan kesejahteraan keluarga, termasuk perlunya pengetahuan tentang obat dan jamu tradisional, ASI (air susu ibu), balut-membalut luka aiajarkan kepada para ibu.
Tentu, sebagai seorang wanita, kewajiban ibu menyusui bayinya – yang buat sebagian ibu-ibu zaman sekarang bisa berdampak "merusak" keindahan wadahnya - tak luput dari perhatiannya.
Sebab Kartini yakin, menurut Sulastin, melalui ASI hubungan batin yang akrab antara ibu dan anaknya makin terjalin. Untuk sementara waktu, ASI memang pernah dianggap merepotkan para ibu. Buntutnya, bayi-bayi yang mestinya bisa menikmati dekapan hangat ibunya harus puas dengan hanya menyedot ASKA (air susu kaleng).
Namun sebagai manusia biasa, Kartini tak dapat menangkal suratan tangannya sebagai wanita muda yang sering terserang penyakit. Dalam suratnya tertanggal 27 Juni 1903 kepada Dr. N. Adriani, dia menulis: "... Saya terserang oleh hampir semua penyaklt. Masuk angin, demam,
sdki't encok, pusing kepala dan akhirnya penyakit campak dan cacar ...." .
Tetap feminin
Tak pelak Kartini tetaplah wanita atau; perempuan yang feminin. Perilakunya penuh sentuhan kemanusiaan, perhatiannya sarat dengan sudut pandang kehalusan budi pekerti demi kebaikan nasib orang lain.
Kartini pun tak pernah merasa mentang-mentang dirinya berpandangan maju, lalu menyisihkan pekerjaan-pekerjaan wanita yang pantas ia lakukan. Kartini tetap Kartini, putri Indonesia yang sejati.
Wanita pemilik warung di Jepara itu boleh tak paham letak Museum Kartini. Museumnya bisa terabaikan. Tapi, jalan pikiran dan semangatnya, dilupakan jangan!