Intisari-Online.com - Mereka yang di masa kanak-kanak dan remaja tidak memperoleh pendidikan budi pekerti, suatu hal yang sangat lazim di kalangan bangsa jawa, di kemudian hari masih bisa memperoleh pokok pendidikan yang sangat penting itu.
Ini bisa terjadi, kadang-kadang, karena kebetulan.
Misalnya, dari pertemuan dengan orang yang berbudi luhur dan pandai, yang merasa berkepentingan dengan pembentukan jiwa kita, atau yang tanpa sengaja mendidik kita dengan suri teladan yang mulia.
Ada sarana pendidikan yang mudah diperoleh, bahkan banyak berkah bisa diperoleh daripadanya: bacaan!
Niscaya bacaan merupakan pendidik penyerta yang sangat baik. Tapi boleh dikata orang Jawa tidak mengenal bacaan.
Yang ada beberapa syair wiracarita dan nasihat yang nyaris terjangkau kebanyakan orang karena biasanya bacaan itu ditulis dengan tangan, benda pusaka yang turun-temurun dari generasi satu ke generasi lain, yang karena ditulis dengan pralambang-pralambang tidak dapat dimengerti isinya oleh orang biasa.
Ditambah kenyataan, umumnya orang Jawa menangkap buku-buku itu secara harfiah belaka, sehingga mereka kehilangan sebagian besar, atau malahan seluruh nilai praktisnya.
Berilah orang Jawa bacaan, yang ditulis dengan bahasa yang merakyat, artinya bisa dimengerti setiap orang; jangan kotbah atau pidato, juga jangan obrolan atau kelakar, melainkan cerita yang segar, bersahaja, menarik, tentang kehidupan yang nyata, dari masa kini, masa lalu, ataupun dari dunia khayal; namun tetap dijaga agar selalu adadasarnya pendidikan budi pekerti.
Sambil berseloroh; berilah orang Jawa pangan bagi hati dan jiwanya dan petunjuk praktis untuk kehidupan sehari-hari.
Perlu juga dibuat buku-buku, besar-kecil, untuk orang dewasa maupun kanak-kanak remaja, di samping lembaran lepas yang muncul setiap minggu atau bulan, yang diterbitkan untuk memperluas pandangan, mengembangkan jiwa dan meningkatkan budi pekerti.
Jadi janganlah koran biasa yang memberitakan kebakaran, pencurian, pembunuhan, dan pergunjingan yang memburuk-memburukkan orang lain, dan mengunggul-unggulkan diri.
Pembaca mestilah diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan mengenai apa saja, yang lalu dijawab oleh redaksi sendiri atau sesama pembaca!
Pertukaran dan persentuhan gagasan antara sesama pembaca mestilah juga dirangsang sebanyak mungkin.
Seperti pendirian sekolah untuk putri-putri pimpinan masyarakat, pendirian berkala mestilah dimulai dengan kecil-kecilan.
Sambil berjalan, lebih mudah memperluas berkala yang bersahaja demikian, daripada jika dimulai dengan besar-besaran tapi hasilnya kecil.
(Artikel ini pernah dimuat di majalah Intisari edisi April 1984 dengan judul Andaikata Kartini Menjadi Anggota DPR)