Intisari-Online.com - Dalam berbagai atraksi terjun payung, Chintia Intan Lufiane Doodoh Koloay, atlit terjun payung Sulawesi Utara (Sulut), kerap mengejutkan para penonton.
Pasalnya ketika mendarat dan membuka helem pengaman, yang muncul adalah wajah cantik dengan senyum penuh percaya diri.
Bagi Chintia terjun payung memang bukan olah raga yang menakutkan lagi. Ia bahkan merasa ketagihan jika lama tidak terjun.
Bagi alumni Fakultas Hukum, Universitas Katolik De La Salle Manado itu, terjun payung juga merupakan sarana untuk menikmati keindahan alam dari udara.
“Indonesia itu alamnya indah sekali. Saya selalu ingin terjun di daerah yang belum saya datangi, maka kalau diajak terjun saya pasti mau,” jelas Chintia yang juga merupakan salah satu atlit andalan Terjun Payung Sulut itu.
“Kegiatan saya di olahraga terjun payung sekaligus menunjukkan bahwa olah raga yang masih dianggap ekstem itu aman bagi para wanita,” tambahnya.
Sebelum menjadi atlet terjun payung professional, Chintia yang tertarik olah raga udara itu awalnya belajar dengan Pusat Pendidikan dan Latihan Pasukan Khas disingkat (Pusdiklat Paskhas) TNI AU di Bandung pada 2012.
Selain Chintia, atlet terjun payung seangkatan dirinya adalah tim penerjun payung Sulut seperti Jilly Tumundo, Liven Tuegeh, Elric Berhandus, Sandy Mangosa, dan Miguel Poluan Abulhajat.
Ketertarikan Chintia sebagai atlet terjun payung awalnya disetujui sama orangtua tapi ketika selesai ikut sekolah terjun dan memperlihatkan video terjun kepada orangtua, ibunya tidak mengijinkan lagi.
Tapi Chintia berhasil merayunya dengan menjelaskan baik-baik kepada ibu dan akhirnyapun diijinkan.
Latar belakang keluarga Chintia bukan dari atlet terjun payung seperti seniornya, penerjun kawakan Pinkan Natalia Mandagi.
Chintia berasal dari keluarga yg sederhana pasangan dari Alexander Doodoh (ayah) dan Maria Yeane Koloay (ibu) anak pertama dari 3 bersaudara.
Rasa takut memang dialami Chintia ketika pertama kali melakukan terjun payung. Bahkan ia mengakui sangatlah luar bias rasa takutnya. Tapi setelah melaksanakan terjun payung kesekian kali malah jadi ketagihan.
Kemampuan dan kemahiran terjun payung Chintia makin meningkat ketika mendapat kesempatan untuk ikut terjun penyegaran (jungar) safari dirgantara TNI AU.
Bersama timnya, Chintia terjun keliling Indonesia dan dalam penerjunan itu mereka diasah kemampuannya dengan medan pendaratan dan arah angin yang berbeda.
Pengalaman mendebarkan Chintia terjadi ketika terpaksa menggunakan parasut cadangan sewaktu terjun di kawasan Rumpin, Bogor, Jawa Barat tahun (2013) dan di Yogyakarta (2015).
Pasalnya, saat itu parasut utamanya mengalami trouble dan sudah tidak bisa di-recover lagi.
Dalam hitungan detik, Chintia harus berani mengambil keputusan untuk keselamatan dirinya.
Namun semua kendala dan pengalaman mendebarkan itu justru tak membuatnya kapok karena banyak hal yang bisa diraih melalui terjun payung.
Menurut Chintia berdasar pengalaman seniornya, Pingkan, jika ditekuni secara professional, terjun payung juga bisa menyejahterakan para atletnya.
“Sebagai atlet terjun payung tentunya saya bersyukur karena banyak hal bisa saya raih. Ketika mengikuti terjun di antaranya kita dilatih untuk disiplin,bekerja sama dan saling tolong menolong,” papar Chintia,
“Dan tentu saja ketika mengikuti terjun payung kita mendapat banyak teman dan pengalaman berharga yang tidak bisa semua orangg dapatkan,” tambah Chintia.
Chintia juga menegaskan bahwa olahraga terjun payung itu bisa digunakan sebagai wahana untuk mempererat persaudaran bangsa Indonesia yang terdiri banyak suku dan tinggal di berbagai pulau.