Intisari-Online.com – Seorang wanita menduduki jabatan menteri di tanah air ini, bukan cerita baru. Artinya, emansipasi wanita dalam arti persamaan hak dengan kaum lelaki tak lagi sekadar slogan perjuangan Kartini.
Tapi kalau yang jadi menteri sekarang ini masih 'trah' keluarga besar Kartini, tentu menarik. Meski bisa dimaklumi, ada kesan sungkan ketika Menteei Sosial RI Prof. Dr Haryati Soebadio diajak ngobrol tentang Kartini.
Yang jelas, perhatian Haryati Soebadio atas nasib dan perjuangan wanita tetap tinggi. Itulah sebabnya ia pun tertarik ikut menulis tentang Kartini, mesh sudah puluhan buku tentang pahlawan wanita ini dibuat dan diterjemahkan.
"Ide awalnya datang dan Ibu Prof. Dr Saparinah Sadli. Beliau yang mengajak untuk menulis. Lantas kami berdua bekerja sama, dia yang memberi analisis psikologinya, sedangkan saya menyoroti latar belakang sejarah kehidupan Kartini," jelasnya.
Kerja sama dua intelektual wanita yang dimulai awal 1988 ini akhirnya membuahkan Kartini, Pribadi Mandiri, sebuah buku bertinjauan lain dari sekian buku tentnag Kartini yang sudah ada sebelumnya.
Selama ini gambaran sosok Kartini yang dimiliki masyarakat kadang keliru. Sebagian mereka membayangkan sosok Kartini seperti dalam lagu Ibu Kita Kartini (gubahan W.R. Soepratman), yakni figur wanita tua yang selalu berkebaya dengan sanggul rapi.
Kenyataannya, pejuang wanita kontroversial ini meninggal dalam usia yang belum genap 25 tahun.
Di mata Haryati, Kartini adalah wanita muda cerdas yang beruntung mendapat pendidikan dalam dua kultur yang saling memperkaya. Dalam usia 12 tahun ia sudah menguasai bahasa Belanda, Melayu dan tentu saja bahasa Jawa dengan kromo inggil-nya.
Bahan-bahan bacaannya bermacam-macam surat kabar dari majalah Belanda bensi soal-soal politik, ekonomi maupun budaya. Pada usia 17 tahun ia mampu mengutarakan pokok pikrannya dan cita-citanya memajukan bangsanya secara tertulis dalam bahasa asing yang benar
"Meski demikian, di usianya yang masih amat muda, ia bisa memilih-milih mana yang baik dan mana yang buruk apa yang diterima atau dibacanya dari luar. Dia terlalu cerdas untuk menjadi beo," kata Haryati.
Ini sesuai dengan isi pidato RM Notosoeroto di Den Haag yang termuat dalam Majalah Indische Vereeniging (Perkumpulan Hindia) 24 Desember 1911, hal. 7, yang isinya antara lain Ia juga bersikap terbuka dan mencoha menjadikan apa yang baik dari orang lain (bangsa lain) menjadi bagian dari dirinya.
"Apalagi ditilik dari banyaknya coretan di sana-sini, terlihat surat-surat tersebut ditulis Kartini tanpa ada maksud sedikit pun bahwa sualu saat akan dibaca orang lain, atau bahkan dipublikasikan," tambah Haryati yang juga cucu tiri R.A. Kartini.
Peninggalan-peninggalan tertulis ini juga salah satu faktor penfing, kenapa di antara sekian banyak pejuang wanita yang dimiliki republik ini hanya Kartini yang sering dibicarakan.
"Selain Kartini selama ini tidak ada satu pun pejuang wanita yang meninggalkan bukti-bukti tulisan atau pokok-pokok pikirannya yang bisa dianalisis. Selama ini kita hanya mendengar kegigihan Cut Nyak Dhien melawan penjajah Belanda, atau perjuangan wanita Maluku Christina Martha Tiahahu. dll, tapi bukti-bukti tertulis dari mereka tidak ada."
Barangkali ini juga salah satu sebabnya kenapa kita hanya rnengenal Hari Kartini saja.
Memang sangat disayangkan, selama ini 155 surat-surat Kartini dari 246 surat yang dianalisis dan diterbitkan, hanyalah dokumen-dokumen yang disimpan sahabat Kartini di Belanda saja.
"Sebaliknya kita tak tahu balasan surat-surat mereka yang dikirimkan kepada Kartini. Kalau surat-surat balasan mereka juga didokumentasikan barangkali kita akan mendapat gambaran yang lebih seimbang tentang komentar-komentar Belanda sahabat Kartini tentang surat atau pribadi Kartini," tambah Ibu Mensos Soebadio.
Sisi lain yang menarik, menurut Haryati, adalah sosok Kartini sebagai wanita yang penuh konflik, namun tetap bisa melakukan tindakan yang kreatif dan positif. Sebagai wanita Jawa ia mampu mencari jalan keluar dari setiap masalah yang dihadapinya.
Misalnya, dengan menerima nasib jadi garwa padmi (permaisuri) bupati Rembang, tak bisa diartikan ia lantas menyetujui poligami. Karena dengan menjadi istri bupati ia bisa berbuat lebih banyak lagi untuk mewujudkan cita-citanya.
"Bisa dikatakan ia membuat keputusan yang tidak mengguncangkan pada zaman itu. Padahal kalau dilihat banyak juga wanita modern dan terpelajar kini yang masih saja bingung menggabungkan profesinya dengan kehidupan rumdh tangga sampai ada yang mengambil jalan keluar, berpisah dari suaminya."
Meski demikian Haryati juga menambahkan, bahwa pengertian emansipasi tak harus selalu diartikan kebebasan yang sama dengan pria dalam segala hal. Yang diperjuangkan Kartini adalah kesempatan untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya bagi seluruh bangsa (dalam suratnya disebutkan Javanese) termasuk kaum wanitanya.
"Saya sendiri tak bisa membayangkan bagaimana,wanita bisa jadi pilot pesawat pembom? Wanita itu 'kan kodratnya melahirkan anak .... Ini kok malah jadi pembunuh .... Aduh! .... Saya tak bisa menerima itu."
(Artikel ini pernah dimuat di majalah Intisari edisi April 1991)