Advertorial

Pria di Banyumas Ditangkap karena Tanam Ganja untuk Obati Ibunya: Misteri Ganja Untuk Pengobatan Kanker dan Diabetes

K. Tatik Wardayati
,
Ade S

Tim Redaksi

Ternyata, sudah sejak lama ganja diklaim memiliki beragam manfaat medis. Namun, penggunaannya yang tidak terkontrol tak kalah berbahaya.
Ternyata, sudah sejak lama ganja diklaim memiliki beragam manfaat medis. Namun, penggunaannya yang tidak terkontrol tak kalah berbahaya.

Intisari-Online.com – Penangkapan dua orang pria oleh Sat Res Narkoba Polres Banyumas karena menanam ganja di rumahnya menjadi pembicaraan.

Kedua pria tersebut adalahtikno (39) dan Iqbal (27), warga Banyumas, Jawa Tengah.

Daun ganja kering yang dipanen tersangka Iqbal dipergunakan untuk membuat teh sebagai obat orangtuanya yang menderita penyakit gula.

Memang seberapa "saktikah" ganja dalam mengobati penyakit gula atau diabetes hingga mereka rela melanggar hukum dengan menanam ganja?

Baca Juga : Inilah Penampakan Ladang Ganja Seluas 1,5 Hektare di Purwakarta yang Berhasil Ditemukan Polisi

Selama berpuluh-puluh tahun para pendukung legalisasi ganja terus terlibat perdebatan panas dengan para penentangnya.

Banyak yang mengklaim bahwa ganja memiliki beragam manfaat medis. Namun di sisi lain, penggunaannya yang tidak terkontrol tak kalah berbahaya.

Simak tulisan Yoyok Prima Maula, Misteri Ganja Untuk Pengobatan, yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 2017.

Sebenarnya tidak ada hal yang baru tentang ganja. Penggunaan Cannabis sativa dipercaya setua umur peradaban manusia.

Baca Juga : Demi Obati Ibunya yang Sakit, Pria di Banyumas Nekat Tanam Pohon Ganja, Polisi Langsung Menangkapnya

Di Siberia, biji ganja gosong ditemukan di makam bertarikh 3.000 SM. Para tabib di Tiongkok kuno juga diyakini memanfaatkan ganja untuk pengobatan.

Akan tetapi, dalam 100 tahun terakhir ini ganja seolah bersembunyi. Penelitian dan riset medis terhadapnya dihentikan di Amerika Serikat.

Pada 1970, pemerintah federal AS kian menyulitkan kajian mariyuana dengan menggolongkannya sebagai NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Aditif) tingkat satu.

Artinya, ganja masuk kategori zat kimia berbahaya tanpa tujuan medis yang valid dan potensi penyalahgunaan yang tinggi, sekelas dengan heroin. Di AS, mayoritas peneliti ganja dianggap sebagai pelaku kejahatan.

Baca Juga : Inilah Penampakan Ladang Ganja Seluas 1,5 Hektare di Purwakarta yang Berhasil Ditemukan Polisi

Waktu terus berjalan dan zaman mulai berubah. Seiring makin banyaknya orang yang beralih ke narkotik untuk mengobati penyakit, sains ganja lahir dan bersemi kembali di AS.

Ada kejutan, dan mungkin keajaiban, yang terpendam dalam tanaman berstatus terlarang ini.

Suster berternak ganja

Beberapa bulan lalu sejumlah media online ramai memberitakan sosok Suster Kate dari Kota Merced, California, yang berjualan ekstrak ganja via ecommerce.

Baca Juga : Perokok Ganja Tak Sengaja Temukan Harimau di Garasi Tempatnya Merokok, Polisi Sempat Duga Hanya Halusinasi

Lewat brand Sisters of the Valley Cannabis, Kate menjual produk berbasis CBD alias cannabinoid – kandungan dalam ganja – berbentuk minyak dan salep.

Produknya laris manis hingga kehabisan stok. Konsumennya mengaku minyak dan salep racikan Kate sangat membantu dalam meringankan beberapa penyakit seperti gloukuma, epilepsi, hingga nyeri kemoterapi.

Suster Kate sebenarnya bukanlah biarawati gereja. Dia hanya gemar berpenampilan ala suster. Maklum, wanita bernama Christine Meeusen ini pernah sekolah biarawati meski tak selesai.

Dia sangat meyakini, ganja merupakan karunia ilahi yang punya manfaat besar untuk medis.

Baca Juga : Pria Ini Nyaris Meninggal Akibat Makan Permen Ganja, Seperti Inilah Dampak Mengerikan Konsumsi Ganja

Namun, tak semua orang sependapat dengan Kate. Para penentang bermunculan. Hingga pada Oktober 2015 Gubernur California Jerry Brown menandatangani rancangan Medical Marijuana Regulation and Safety Act dan sejak saat itu resmi berlaku sebagai hukum baru.

Kota yang ada di California harus menyusun aturan ganja mereka sendiri-sendiri yang sudah harus selesai per 1 Maret 2016. Jika tidak mampu menyelesaikannya, negara bagian California punya wewenang untuk mengambil alih.

Anggota parlemen Merced pun memberlakukan moratorium penanaman ganja untuk kepentingan medis sampai mereka mengeluarkan kebijakan yang tepat atas apa yang mesti dilakukan di masa mendatang.

Keluarnya peraturan tersebut otomatis memunculkan larangan penanaman, pendistribusian, dan penjualan obat dari ekstrak ganja, termasuk di Merced. Padahal, California sesungguhnya telah 19 tahun melegalkan ganja untuk kepentingan medis.

Baca Juga : Benarkah Pria yang Merokok Ganja Lebih Subur Daripada yang Tidak?

Kalau begitu, sebenarnya, seberapa efektif penggunaan ganja untuk pengobatan?

Penelitian ganja

Seperti dilansir dari National Geographic Indonesia Edisi Mei 2016, sebenarnya pada 1963, Raphael Mechoulam, ahli kimia organik muda Weizmann Institute of Science di luar Tel Aviv, Israel, sudah mulai melakukan riset medis terhadap ganja.

Baginya tidak logis bila kalangan ilmuwan belum mengenali bahan psikoaktif utama yang terkandung dalam ganja. Padahal sejak 1805 morfin berhasil diidentifikasi dan diekstrak dari opium, sementara kokain ditemukan dalam daun koka pada 1855.

Baca Juga : Gadis Ini Diganjar Rp354 juta Karena Berhasil Meloloskan Diri dari Penculik dengan Cara Cerdik

“Itu cuma tanaman,” ungkap Mechoulam, yang kini berusia 85. “Paduan senyawa yang tidak dikenal dan berantakan.”

Dia dan tim penelitinya memisahkan rangkaian susunan zat kimia ganja yang disuntikkan secara terpisah ke tubuh monyet rhesus. Hanya satu efek yang dapat diamati.

“Biasanya monyet rhesus hewan yang cukup agresif,” katanya. Namun, ketika disuntik dengan senyawa ini, monyet itu jadi amat kalem. “Seperti diberi obat penenang, “ kenangnya sambil tertawa kecil.

Pengujian lebih lanjut menghasilkan temuan yang kini diketahui dunia: senyawa yang menjadi bahan aktif utama tanaman ini ada lah zat kimia yang mampu mengubah otak dan membuat Anda “tinggi”.

Baca Juga : Menderita Kejang 300 Kali Sehari, Nasib Gadis 9 Tahun Ini Berubah Lebih Baik Setelah Mengenal Ganja

Mechoulam, bersama seorang rekan, menemukan tetrahidrokanabinol (THC). Dia dan timnya juga menjelaskan struktur kimia canabidiol (CBD), zat utama lain dalam ganja yang menyimpan potensi medis berlimpah namun tak memicu efek psikoaktif pada manusia.

Israel kini memiliki salah satu program ganja medis termaju di dunia. Mechoulam aktif berperan membangunnya, dan ia bangga dengan hasilnya. Lebih dari 20.000 pasien diizinkan menggunakan ganja sebagai obat glaukoma, penyakit Crohn, peradangan, hilangnya nafsu makan, sindrom Tourette, dan asma.

Namun, dia tidak setuju bila ganja dilegalkan sebagai sarana hiburan. Sebab juga mempunyai efek lain yang berbahaya, terutama bagi kaum muda.

Konsumsi ganja dalam jangka panjang akan mengganggu pertumbuhan otak yang sedang berkembang.

Baca Juga : Gara-gara Video Bayi Mainkan Segepok Uang, Kebun Ganja Bernilai Rp15 Miliar Terbongkar

Mechoulam mencatat, pada sejumlah orang, ganja memancing serangan cemas yang akut dan melemahkan. Ia juga menyitir kajian yang menyatakan bahwa ganja dapat memicu skizofrenia dalam diri orang yang memiliki kecenderungan genetis tersebut.

Efek terhadap kanker?

Mungkin Anda pernah membaca pesan berantai yang viral di media sosial dan instant messenger tentang manfaat ganja. Di sana disebutkan bahwa ganja bisa membunuh sel kanker. Mayoritas klaim tersebut belum terbukti secara ilmiah dan sebagian murni dusta.

Namun National Geographic berhasil melakukan reportase menarik tentang penelitian ganja di sebuah laboratorium di Spanyol yang dipimpin oleh Manuel Guzman.

Di kantornya, di Complutense University of Madrid, Guzman menjelaskan, “Ketika tajuk berita di surat kabar menggembargemborkan bahwa ‘Ganja Mampu Menaklukkan Kanker Otak!’, itu tidak benar,” tegasnya.

Baca Juga : Orang Tuanya Meminta Dokter Memberi Ganja pada Gadis 2 Tahun Ini, Rupanya Ada Penyakit Mengerikan yang Dideritanya

“Ada banyak klaim yang beredar di internet, tetapi mereka amat, sangat lemah.”

Meski begitu, dia menunjukkan sebuah gambar menarik di layar komputernya. Di layarnya berkedip dua citra MRI otak tikus.

Ada tumor besar yang bersarang di belahan otak kanan hewan tersebut, yang disebabkan oleh sel tumor otak manusia yang disuntikkan oleh para peneliti Guzman.

“Hewan ini diobati dengan THC selama seminggu,” lanjut Guzmán. “Dan inilah yang terjadi sesudahnya.”

Dua gambar yang mengisi layarnya kini tampak normal. Tumor itu tak hanya menyusut, namun juga lenyap tak berbekas! “Seperti yang dilihat, tumornya raib.”

Baca Juga : Ganja Dilegalkan di Kanada, Mengapa Kini Warganya Justru Sulit Mendapatkannya?

Dalam penelitian ini, Guzmán dan rekan-rekannya, yang merawat hewan pengidap kanker dengan senyawa ganja selama 15 tahun, menemukan bahwa tumor di tubuh sepertiga tikus, berhasil dibasmi dan pada sepertiga lainnya terus berkurang.

Guzman khawatir terobosan penelitiannya akan memberi harapan palsu bagi penderita kanker dan bahan bakar bagi klaim tak ber dasar di internet.

“Masalahnya, tikus bukan manusia. Kami belum tahu apakah metode ini bisa diterapkan dan sukses pada manusia,” katanya.

Kekhawatiran Guzman beralasan. Sebab pemakaian ganja yang tidak terkontrol juga bisa membahayakan kesehatan. Dia menunjukkan sebuah percobaan ketika tikus hamil diberi THC dosis tinggi.

Baca Juga : Inilah yang Terjadi Pada Tubuh Manusia Jika Mengonsumsi Ganja

Hasilnya, selama proses kehamilan tikus tersebut mengalami gangguan kronis. Gerakan mereka tidak terkoordinasi, sulit berinteraksi dengan sesamanya, dan sangat mudah cemas.

Ganja untuk diabetes

Musri Musman, ahli kimia dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, meneliti khasiat medis ganja terhadap penyakit diabetes.

Profesor Musri sudah melakukan kajian literatur namun belum meneliti di lapangan.

Baca Juga : Kanada Memberlakukan Legalisasi Ganja, Orang-orang Malah Berbondong-bondong Membelinya

“Ada bagian dalam zat yang terkandung di dalam ganja, terutama minyaknya, yang bisa mereduksi atau menghambat terjadinya oksidasi. Dengan dia bersifat antioksi dan, maka pembentukan gula berlebihan pada darah dan tidak dapat dinetralisir oleh insulin, itu dihambat olehnya. Dengan demikian terjadi keseimbangan gula dalam darah,” papar Musri seperti dikutip dari BBC Indonesia.

CBD diyakini berdampak pada tubuh sejak 1990-an ketika sejumlah ilmuwan menemukan keberadaan dua reseptor CBD dalam tubuh manusia.

Reseptor pertama terhubung dengan rasa nyeri, sedangkan reseptor kedua terhubung dengan sistem kekebalan tubuh. (Sumber: National Geographic Indonesia, BBC)

Artikel Terkait