Resmilah Mata Hari menjadi agen mata-mata Jerman.
Petualangannya pun dimulai lagi dari Prancis, Inggris, beserta sekutunya.
Dia beralih dari ranjang satu ke ranjang lainnya serta berbagai pelukan para elite politik dan militer Inggris dan Prancis.
Terbuktilah bahwa dunia intelijen seperti dalam film-film James Bond 007, sangat berhubungan erat dengan dunia seks.
Namun badan intelijen Inggris M15 segera mengendus bau busuk yang dibawa Mata Hari.
Mereka pun menginterogasinya dan mengidentifikasi Mata Hari sebagai Clara Benedix, spion Jerman.
(Baca juga: Kerap Jadi Sasaran Tembak Rudal, Secara ‘Ajaib’ Pesawat Mata-mata Legendaris Ini Selalu Luput)
Keduaanya kebetulan mempunyai nama asli yang sama yaitu Margaretha Zelle.
Namun M15 tidak bisa menemukan kesalahannya sehingga dia dilimpahkan ke dinas intelijen Prancis.
Akhirnya, Mata Hari pun ditangkap dan diinterogasi sebelum akhirnya disidangkan dalam mahkamah militer.
Masyarakat Prancis heboh begitu mendengar pesohor yang sangat terkenal dan sangat diimpi-impikan oleh jutaan lelaki Eropa ternyata menjadi pesakitan dengan tuduhan sebagai agen intelijen musuh.
Mereka berbondong-bondong memenuhi ruangan tiap kali sidang digelar.
Semua pembelaan Mata Hari sia-sia. Pengadilan tetap memutuskan hukuman mati bagi Margaretha Gertruida Zelle alias Mata Hari alias H21.
Grasi yang ditujukan kepada Presiden Prancis, juga ditolak.
Pagi hari 15 Oktober 1917, 12 senapan regu tembak mengarah ke dirinya. Dengan tabah, dia menolak menutup mata.
(Baca juga: Mata-mata AS di ISIS dan Israel dalam Bahaya Setelah Donald Trump Ungkap Keberadaan Mereka saat Bertemu Rusia)
Mata Hari yang bertubuh sedikit gemuk montok, berwajah cantik namun murung, masih sempat melepaskan ciuman jarak jauh pada regu tembak.
Sebelum akhirnya peluru tajam dari senapan yag menyalak serentak menghujam tubuhnya.
Tak ada keluarga yang mau mengurusi jenazah mata-mata musuh ini.
Jasadnya akhirnya diserahkan pada sekolah kedokteran di Prancis untuk jadi bahan praktik otopsi.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR