Kereta tertua setelah Nyai Jimad adalah Kyai Mondrojuwono. Dibeli oleh Sri Sultan HB II sekitar tahun 1800 dari Negeri Belanda. Pernah dipakai oleh Pangeran Diponegoro sewaktu menjabat sebagai pendamping Sri Sultan HB IV, yang waktu itu belum dewasa.
Bakal dipugar
Setelah agak dewasa Sri Sultan HB IV ingin dibuatkan kereta yang akan digunakan untuk keperluan pribadi dan dapat dikendalikan sendiri. Maka pada tahun 1815 dipesan dua buah kereta, yaitu Kyai Manikretno dan Kyai Jolodoro.
Kedua kereta itu merupakan rancangan khusus dari HB IV dan dibuat di Yogyakarta. Kyai Jolodoro kemudian sering digunakan untuk pesiar berkeliling di atas benteng keraton yang lebarnya lima meter.
Beberapa tahun yang lalu pihak keraton merencanakan untuk memugar Kyai Manikretno. Namun, ketika rodanya hendak dicopot, pelaksananya mendapatkan wangsit dari 'penjaga' kereta itu bahwa seandainya pemugaran dilanjutkan terus maka seluruh isi keraton akan dimusnahkan.
Ditambahkannya lagi, kalaupun ingin tetap dipugar sebaiknya pihak keraton menunggu 'pemberitahuan' lebih lanjut.
Pada saat Sri Sultan HB IV berkuasa, yaitu sekitar tahun 1860, dipesan kereta yang khusus digunakan untuk putra makota dari Pabrik Kereta Barendse di Semarang. Kereta ini ditarik oleh empat ekor (dua pasang) kuda dan diberi nama Kyai Wimonoputro.
Kereta lain yang juga dipesan oleh HB VI dari Pabrik Kereta Barendse adalah Kyai Harsunobo, yang pernah digunakan untuk menjemput istri Gubernur Jenderal Belanda, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, ketika akan datang ke keraton dari tempat tinggalnya di karesidenan.
Awak kereta ini berjumlah empat orang, dua bertugas sebagai pengendali kuda yang duduk di atas kuda penarik sebelah kiri dan dua lainnya bertugas untuk pembuka pintu.
Karena merasa kurang sreg dengan Kyai Harsunobo, sepuluh tahun kemudian HB VI memesan kereta kencana lain dari pabrik kereta di Negeri Belanda.
Kereta kencana ini diberi nama Kanjeng Kyai Garudo Yekso, yang dipakai untuk upacara-upacara kebesaran, menjemput atau mengantar tamu agung (raja atau kepala negara lain) dari stasiun kereta api.
Ditarik delapan ekor kuda berpasangan yang sewarna. Kecuali diawaki seorang sais, juga ada plaer-nya.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR