Intisari-Online.com – Istana Het Loo, di Belanda, baru dibuka untuk umum, komplet dengan museum keretanya.
Mengapa kita harus pergi begitu jauh, kalau di Keraton Solo dan Yogyakarta juga ada museum kereta yang belum tentu kalah?
Museum Kereta Solo untung tetap utuh setelah Keraton Solo terbakar, sedangkan museum di Yogyakarta baru dibuka Juni tahun ini. Yang masih perlu mungkin pendataan secara ilmiah.
“Kereta ini dulu ditarik enam ekor kuda, khusus diimpor dari Australia," si pemandu di Museum Keraton Solo mulai bercerita.
(Baca juga: Tiga Agama Menyatu di Keraton Kasepuhan Cirebon)
"Ini buatan Belanda, dikirim langsung dari sana sebagai hadiah dari Ratu Wilhelmina untuk Sri Susuhunan Paku Buwono X." la lalu menunjuk kaca kereta, "Zaman dulu katanya ini anti peluru," dan buru-buru ditambahkannya, "peluru zaman dulu."
Kereta yang tengah diceritakan Notowijoyo, si pemandu, itu namanya Kjahi Garuda Putra, salah satu dari tiga kereta yang dipamerkan di Museum Keraton Solo. Dua lainnya bernama Kjahi Rojopeni dan Kjahi Groedo.
Ditambah dua belas kereta lain yang disimpan di gudang keraton, semuanya merupakan kereta milik keraton yang hampir tidak pernah lagi digunakan, kecuali untuk acara-acara resmi.
Menurut salah seorang petugas yang merawat kereta-kereta itu, keraton sekarang tidak punya kuda lagi untuk menarik kereta.
Misalnya saja, untuk upacara pasar malam bulan Juni yang lalu keraton terpaksa meminjam kuda untuk menarik kereta Siswondo. Kereta ini beserta para pengawalnya dikeluarkan untuk membawa peti-peti berisi sesaji ke bunderan Taman Sriwedari, Solo.
Sesaji tadi lalu dibagikan kepada rakyat, yang secara simbolis diberikan pada walikota dan pejabat-pejabat Kotamadya Solo. Maksud upacara ini adalah mohon doa restu dari keraton.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR