Advertorial
Intisari-Online.com – Waktu Gubernur Jawa Tengah Ismail mengeluarkan instruksi yang melarang para pejabat pemda menerima gelar kebangsawanan dari keraton, gemanya langsung terdengar ke seluruh Indonesia.
Hal itu terjadi bulan Agustus lalu. Anda mungkin ingin menyelami arti gelar kebangsawanan bagi orang besar maupun kecil.
Lepas dari soal setuju atau tidak pada instruksi Pak Ismail, yang jelas gelar keningratan memang masih menjadi idaman sebagian orang, khususnya dalam kalangan masyarakat Jawa.
Dengan menyandang gelar tertentu, berarti seseorang secara sah diakui sebagai warga atau kerabat keraton. Nah, siapa yang tak bangga menjadi bagian kaum berdarah biru?
(Baca juga: Melibatkan anak-anak Abdi Dalem dalam Melestarikan Resep-resep Baheula ala Abdi Dalem)
Banyak yang minta
Karena itu gelar kebangsawanan pun diburu mati-matian. Jangankan diberi, membeli pun, kalau mungkin, akan dilakoni. Soalnya, konon, gelar bukan saja bisa menaikkan pamor dan gengsi pemiliknya, tapi juga membawa kewibawaan, ketentraman batin serta berkah yang melimpah.
Sebagian pejabat atau tokoh masyarakat menerima gelar kebangsawanan semata-mata karena jasa mereka yang besar pada keraton atau masyarakat pada umumnya.
Namun, ada pula oknum-oknum yang memang dengan sengaja berusaha mendapatkan tempat dalam masyarakat keraton agar mempunyai hak memakai gelar keningratan tertentu.
Menurut BKPH (Bendoro Kanjeng Pangeran Haryo) Purboyo, pejabat tinggi Parentah Ageng Keraton Yogyakarta, selalu ada saja permohonan untuk mendapatkan gelar.
"Malah orang-orang yang sudah mempunyai kedudukan tinggi juga masih ada yang minta kalenggahan (kedudukan, Red.) di keraton." Dalam dua tahun terakhir ini saja tak kurang dari 1.500 buah permohonan dialamatkan ke Keraton Kesultanan Yogyakarta.
Permohonan macam ini tak hanya diajukan oleh mereka yang tinggal di Yogya dan sekitarnya saja, tapi banyak juga dari daerah-daerah lain. Bahkan, pernah ada permintaan dari orang yang berdomisili di Sumatra.
(Baca juga: Resep-resep Baheula ala Abdi Dalem yang Kini Semakin menghilang)
Padahal, sudah jadi kebijaksanaan Sri Sultan bahwa Keraton Yogyakarta hanya memberi gelar keningratan pada mereka yang tinggal di wilayah Yogyakarta saja.
"Kalau dulu Sri Sultan-lah yang biasanya menganugerahkan gelar, sekarang lebih banyak yang meminta," kata Gusti Purbaya yang juga kakak seayah dari Sri Sultan.
Yang membuat instruksi Gubernur Jateng jadi kontroversial adalah karena pemberian gelar kebangsawanan pada pejabat pemerintah atau swasta sebenarnya bukan hal yang dianggap luar biasa dan sudah menjadi bagian tradisi keraton-keraton di Yogya dan Solo.
Bahkan, salah satu syarat untuk mendapatkan gelar dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah pegawai Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta.
Raden asal Tapanuli juga ada
Keraton Mangkunegaran, yang namanya disebut-sebut dalam instruksi Gubernur Ismail, juga sudah biasa memberi penghargaan berupa gelar kebangsawanan pada orang-orang di luar lingkungan keraton.
Di zaman Mangkunegoro VII (1916 - 1944), seorang saudagar Solo, Samsulhadi, mendapat anugerah gelar keningratan. Juga seorang keturunan Cina, dr. Oen. Beberapa tahun yang lalu Menteri Kehutanan Sudjarwo dan Dirjen Pariwisata Joop Ave pun kebagian gelar.
(Baca juga: Resep-resep Baheula ala Abdi Dalem di Kedai Rakjat Djelata)
Bahkan, ketika menyerahkan gelar kebangsawanan pada Bupati Karanganyar, Bupati Wonogiri dan Wali Kota Madya Solo —yang lalu dihebohkan ltu —, Sri Mangkunegoro VIII juga menganugerahkan gelar KPH (Kanjeng Pangeran Haryo) pada Ketua Kadin Sukamdani Gitosardjono yang, antara lain, telah berjasa membantu pembangunan makam trah Mangkunegaran di Bukit Mangadeg.
Demikian pula dengan Keraton Kasunanan Surakarta yang, antara lain, pernah memberikan titel keningratan pada pengusaha batik kerurunan Cina Gotikswan karena jasa-jasanya ikut melestarikan tradisi dan pusaka keraton.
Gotikswan yang kini bernama resmi KRT (Kanjeng Raden Tumenggung) Hardjonegoro misalnya, telah ikut mendirikan Museum Suaka Budaya yang ada dalam lingkungan keraton.
Tarnama Sinambela, seorang pengusaha lain, juga telah diangkat sebagai warga keraton oleh Sri Paku Buwono XII karena telah menyumbang uang sebesar Rp 200 juta untuk membangun kembali Keraton Solo yang terbakar.
Sinambela yang asal Tapanuli sekarang bernama lengkap KRT Tarnama Sinambela Kusumonagoro.
Abdi dalem gajinya hanya Rp2.400,00
Pihak keraton, baik yang di Solo maupun Yogya, tentunya tak begitu saja dengan mudah membagi-bagikan gelar kebangsawanan pada orang luar. Penganugerahan gelar pada seseorang dilakukan setelah melalui pertimbangan yang matang.
Selain untuk menghindari tuduhan yang tidak-tidak, seleksi ketat juga dilakukan karena di abad demokrasi sekarang ini belum tentu setiap orang merasa senang jika dianugerahi gelar keningratan.
Bagi orang kebanyakan atau wong cilik tentunya tak mungkin mengajukan permohonan agar diakui sebagai bangsawan. Apalagi mengharap mendapat anugerah titel keningratan dari raja tanpa diminta.
Satu-satunya jalan untuk mengaitkan diri dengan lembaga keraton adalah dengan bekerja sebagai abdi dalem, abdi raja.
Abdi dalem alias karyawan keraton sebenarnya bekerja dengan upah yang jauh dan mencukupi. Di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat upah mereka berkisar antara Rp 2.400,00 dan Rp 50.000,00 saja sebulannya. Seorang magang (calon abdi dalem) malah bisa dibilang bekerja tanpa gaji sama sekali.
Tak semua abdi dalem, memang, harus setiap hari hadir di keraton. Para petugas keamanan atau penjaga pintu gerbang, misalnya, hanya harus hadir sekali saja setiap beberapa belas hari.
Di luar itu, kaum abdi dalem umumnya memiliki mata pencarian lain, entah sebagai penjual rokok, petani, atau pegawai negeri.
Salah satu alasan utama mengapa seseorang ingin menjadi abdi dalem adalah karena kedudukan ini juga memberikan hak kepadanya untuk menyandang gelar kebangsawanan, meski hanya gelar-gelar peringkat bawah, seperti mas atau raden mas.
Namun demikian, prestasi dan lamanya masa pengabdian bisa mengangkat seorang abdi ke tingkat keningratan yang cukup tinggi dan berhak atas gelar seperti kanjeng raden tumenggung.
"Para abdi dalem memang bukan bekerja untuk uang, tapi untuk mendapatkan gelar," tutur Gusti Purboyo, seperti yang diakui oleh beberapa abdi dalem yang sempat ditemui saat mereka sedang bertugas caos (piket) di gardu-gardu penjagaan keraton.
R.Ry. (Raden Riyo) Cokrodirjo (72), misalnya, menyatakan bahwa sebagai abdi dalem ia merasa memiliki kewibawaan dan dihormati oleh orang-orang di sekitarnya.
Mungkin karena itulah ia tetap betah melakoni pekerjaan ini, yang sudah di mulainya sejak enam puluh tahun yang lalu, sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII.
Seribu orang
Menurut Rudayawan Umar Kayam, bagi orang Jawa, raja bukanlah manusia biasa. Ia adalah penjelmaan Yang Maha Kuasa di muka bumi dan sekaligus menjadi pusat dunia. Sebagai manusia luhur, seorang raja bukan saja memiliki kekuasaan, tapi juga memiliki kemampuan untuk mengayomi dan memberkahi segenap rakyatnya.
Karena itu, hubungan raja-rakyat dalam kebudayaan Jawa juga memiliki dimensi spiritual. Rakyat meyakini bahwa raja, dan segala hal yang berhubungan dengannya, adalah keramat dan patut dimuliakan.
Bukannya bohong kalau ada berita orang memperebutkan sisa air cucian kereta kencana Sri Sultan untuk diminum karena dianggap dapat membawa berkah.
Banyak yang tak dapat memahami mengapa di abad yang serba canggih ini masih ada orang yang mau menjadi abdi dalem. Padahal, bagi yang bersangkutan, menjadi abdi dalem malah dianggap pekerjaan yang terhormat, karena memberinya kemungkinan berada dalam lingkungan keraton yang menjadi teritorium raja.
"Menjadi abdi dalem 'kan berarti bisa dekat dengan raja, dengan pusat dunia. Ini dianggap suatu privelese," kata Umar Kayam.
Memang bukan hanya gelar yang diharap para abdi dalem dari raja mereka, tapi juga berkah. Baik itu berupa ketenangan batin maupun keberuntungan.
"Saya ini mengharap berkah dalem (berkah raja, Red.). Jadi abdi dalem, meski gajinya kecil, tapi hati ini kok ya tentrem," R.Bk. (Raden Bekel) Cintopawoko, seorang abdi dalem lain, menjelaskan sambil tetap bersila menjaga salah satu sudut Keraton Yogyakarta.
"Sejak saya ngabdi di sini empat belas tahun yang lalu, panen saya selalu baik; anak-anak sekolahnya juga maju," tambah laki-laki setengah baya ini, yang mengaku menjadi abdi keraton berdasarkan ilham dalam mimpi, yang didapat setelah berziarah ke makam orang tuanya.
Hasrat warga masyarakat untuk mengabdi pada raja, khususnya di Keraton Yogyakarta, ternyata tak memudar. Buktinya, lebih dari seribu abdi dalem masih setia melayani Sri Sultan dan keluarganya.
"Yang melamar menjadi magang juga selalu ada. Baik orang tua maupun yang masih muda-muda," kata petugas keraton yang mengurus penerimaan abdi dalem baru.
Apa tujuan sebenarnya dari para pelamar ini, belumlah jelas benar. Boleh jadi mereka ingin memburu gelar kebangsawanan atau mengharap berkah raja. Tapi mungkin juga sekadar agar tak menganggur. Maklum, pekerjaan kini makin sulit dicari.
(Ditulis oleh Muljawan Karim. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1987)