Sedangkan taraf berat, penderita sama sekali tidak berani keluar rumah tanpa ditemani.
Nyaris hampir semua (97%) penderita gangguan panik yang berobat pada National Institute of Mental Health America mengeluh adanya keinginan untuk menghindar begitu timbul serangan panik.
Mereka selalu ingin menghindari tempat-tempat yang diduga bisa menimbulkan serangan panik dan tempat di mana tidak mudah mencari pertolongan bila serangan muncul.
Lift dan eskalator hanya sedikit contoh sarana yang mereka hindari, karena kekhawatiran bakal mendapat serangan di situ, sekalipun hal itu belum pernah terjadi.
Demikian pula pusat perbelanjaan, pasar, restoran, pesta, ruangan tertutup, juga menyeberangi jembatan, memasuki terowongan, naik pesawat, mengendarai mobil, dan perjalanan jauh, semua melengkapi daftar "terlarang" bagi mereka.
Mekanisme saraf rusak?
Ada pendapat, gangguan ini akibat ketidaknormalan produksi serta fungsi neurotransmiter kimia serotonin dalam otak.
Pendapat lain mengatakan, salah satu bagian otak (nucleus ceruleus) mengeluarkan hormon norepinefrin terlalu banyak.
Akibatnya, jantung terasa berdebar, tubuh gemetar, dll.. Padahal, hormon ini sebenarnya perlu untuk mengaktifkan badan agar berada dalam keadaan siaga.
Namun, dr. E. Nugroho lebih melihat penyebabnya adalah ketidakseimbangan saraf otonom, yakni sistem saraf simpatis (saraf bangun yang seharusnya dominan di siang hari) dan parasimpatis (saraf tidur yang seharusnya dominan malam hari).
Pada kedua saraf yang fungsi kerjanya berkebalikan ini, terjadi kerusakan mekanisme yang mengatur perpindahan dari bangun ke tidur maupun sebaliknya.
Akibatnya sistem saraf otonom "bangun" aktif pada waktu malam, dan saraf otonom "tidur" aktif justru pada siang hari.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR