Hebatnya, pekerja yang jumlahnya mencapai ribuan orang itu tidak mendapat upah. Apalagi menuntut, menerima tanggung jawab dari sang raja saja sudah merupakan suatu kehormatan yang tiada tara bagi mereka.
"Rajaitu titisan dewa," begitu pandangan masyarakat kala itu. Jadi segala perintah raja harus dipenuhi karena berkaitan dengan ketenteraman dunia.
Apalagi pendirian candi sebagai kuil pemujaan toh untuk kepentingan masyarakat banyak.
Bahkan rakyat seperti berlomba karena ini kesempatan bagi mereka untuk mempersembahkan pisungsun (darma bakti) kepada sang raja, kerajaan, dan masyarakat.
Setelah terkumpul, batu-batu pilihan dari jenis andesit atau trasit lalu dipotong-potong dengan ukuran dan bentuk yang beragam sesuai dengan perencanaan yang telah ditentukan.
Jika dirasa sudah cukup, tahap berikutnya dilakukan penyusunan sesuai dengan dasar rancangan yang sudah dibuat.
Sang arsitek dituntut bekerja dengan sangat cermat. Sekali salah memasang potongan balok batu, bentuk bangunan bisa berubah, dan yang lebih parah lagi bangunan itu bisa runtuh.
Kita tahu, antara satu batu dengan batu lainnya itu saling terkait dan beberapa batu di antaranya merupakan kunci kekuatan bangunan.
Kala itu jelas belum dikenal semen sebagai perekat. Balok-balok batu tersebut hanya ditumpuk satu demi satu dari bawah ke atas.
Ketika tumpukan batu sudah tidak dapat dijangkau, maka daerah di sekelilingnya ditimbuni tanah agar orang dapat meletakkan lagi susunan batu di atasnya.
Begitu seterusnya hingga lama kelamaan jadi nampak seperti bukit yang memanjang. Lewat bukit buatan itulah mereka kembali memasang batu-batu candi bagian atas sampai akhirnya batu terakhir di puncak candi terpasang.
Lapisan misterius
Sampai di sini pekerjaan membangun candi belum selesai. Sebab, bangunan calon candi berupa tumpukan batu ini masih tertimbun tanah urukan yang membukit.
Maka di bawah pimpinan dan bimbingan sang vardhakin, kelompok para seniman ukir mulai tampil unjuk keahlian.
Tugas mereka merigukir ornamen ataupun relief cerita di dinding candi. Tentu saja mereka harus berkonsultasi dan bekerja sama dengan para pujangga yang paham ihwal adegan atau lakon pada relief cerita yang akan dipahatkan.
Kebalikan dengan tukang menyusun balok-balok batu, tugas para pengukir diawali dari puncak sampai ke dasar candi.
Sebelum mereka membuat ukiran atau relief, timbunan tanah yang membungkus susunan batu mesti dikupas lebih dulu selapis demi selapis.
Selesai mengukir, mungkin sembari istirahat minum teh dan makan camilan yang disediakan para wanita, mereka menunggu lagi timbunan tanah berikutnya selesai dikupas.
Begitu seterusnya hingga mencapai batu-batu yang paling bawah. Dengan begitu sosok candi yang sudah berornamen dan berelief pun sudah nampak tegak berdiri.
Ketika bukit hasil timbunan tanah itu dikupas dan seniman membuat ornamen atau relief, muncul pula sekelompok tukang yang bertugas memoles dinding candi dengan semacam lapisan perekat berwarna kuning kemerahan.
Lapisan perekat bernama bajralepa itu berfungsi melindungi kulit luar batu supaya tahan terhadap korosi.
Sebab, bajralepa itu konon kedap air, mampu melindungi dinding candi dari guyuran hujan dan teriknya matahari, selain juga memiliki fungsi estetika karena lapisan ini akan memantulkan sinar sehingga candi akan nampak gemerlapan.
Bekas-bekas lapisan bajralepa itu masih dapat kita saksikan di dinding dalam Candi Kalasan dan Candi Sari di Yogyakarta.
Pada tahun 1960 lapisan misterius ini pernah diteliti secara laboratoris oleh peneliti bangsa asing.
Hasilnya, bajralepa terbuat dari bahan lokal ramuan berbagai unsur seperti lerak, gamping, dan putih telur. Tetapi bagaimana ramuan itu dibuat berikut komposisinya, masih merupakan misteri.
Masih banyak misteri pembangunan candi yang belum terkuak. Yang jelas, pembangunan candi merupakan megaproyek yang menyerap ribuan tenaga kerja dan tak terhitung besarnya dana.
Pakar epigrafi Sukarto Kartoatmodjo berkali-kali menyatakan, semua itu tidak mungkin dapat terlaksana tanpa sistem pemerintahan yang baik, sistem organisasi yang rapi, perencanaan yang matang, kemampuan berpikir yang hebat, dan dukungan perekonomian yang kuat.
"Jadi, ratusan tahun silam, bangsa Indonesia terbukti pernah maju dan tampil di panggung ilmiah intemasional," tutur Sukarto.
(Ditulis oleh B. Soelist, arkeolog. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 1997)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR