Setelah berhasil menemukan lahan yang tepat untuk mendirikan candi, tahap berikutnya adalah pengamatan di lapangan terhadap 9 unsur fisik tanah: kontur, warna, bau, rupa, rasa, sentuhan, kerataan permukaan, dan sifat tetumbuhan.
Jika kesembilan unsur fisik ini memenuhi syarat, barulah sang stapaka pendeta yang arsitek perencana melakukan bhupariksha, yaitu menguji kemampuan tanahnya.
Nenek moyang kita diam-diam sudah memiliki beberapa teknik pengujian kemampuan tanah. Salah satunya dengan membuat lubang uji berbentuk persegi empat pada lahan tempat akan didirikan candi.
Lubang galian yang dalamnya kira-kira sedengkul itu diisi air. Dua puluh empat jam kemudian batas permukaan air tersebut diamati oleh sang arsitek pendeta.
Kalau air dalam lubang galian meresap seluruhnya ke dalam tanah, artinya tanah dianggap buruk. Sebaliknya jika air dalam lubang itu masih menggenang, maka di atas lahan itu layak didirikan candi.
Teknik pengujian lainnya ialah dengan meletakkan lampu minyak di tengah lahan calon lokasi candi.
Jika sang pendeta melihat lidah api berdiri tegak, konon tempat itu akan membawa kebahagiaan.
Kalau miring ke Utara, itu lambang kemashyuran. Bila condong ke Selatan, katanya ini simbol kemakmuran.
Sebaliknya, jika lidah api nampak bergoyang-goyang lalu mengecil, tempat itu tak layak sebagai tempat untuk menegakkan bangunan suci.
Apalagi kalau lidah api sampai meliuk menyentuh permukaan bumi, "Jangan sekali-kali mendirikan candi di tempat itu. Tanah semacam itu akan mendatangkan kemiskinan," sabda pujangga penulis Kitab Silpasastra.
Setelah diperoleh data akurat hasil pengujian tanah, pembangunan fisik candi belum sah dilakukan sebelum lahan tempat berdirinya disucikan oleh brahmana.
Dalam upacara pensucian ini mahapurasammandala menjadi fokus ritual sebab nantinya ia akan menjadi pusat kesakralan sebuah percandian.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR