Advertorial
Intisari-Online.com – Tubuh lelaki itu roboh bersimbah darah. Seorang kingkara atau algojo beringas sekali terus-menerus menghajamya.
Tombak di tangan kiri, gada di tangan kanan, dijungkirkannya tubuh lelaki itu, sebelum dibanting terkapar sampai berbusa mulutnya, dan terjulur lidahnya.
Lidah itulah memang pangkal dosa manusia di dunia.
Maka pantas kalau kemudian dijepit dan ditusuk dengan lembing bercabang tiga.
Kejam dan sadis memang!
Tapi apa pula ini? Ini adalah adegan siksaan neraka bagi umat bernama manusia yang gemar menggunjing, memfitnah tatkala hidup di dunia.
Di sebelahnya dalam format lebih kecil, ada lagi adegan lima manusia digoreng dalam periuk berbentuk sapi.
Hangus tubuh mereka di tengah jerit kesakitan, karena mengelupas seluruh kulit dan dagingnya meleleh. Adegan apa ini?
Itu hukuman bagi manusia pencabut nyawa alias pembunuh sesama ketika di bumi dulu.
Lantas, apa balasan setimpal bagi perampok, pemerkosa, pezinah atau koruptor dan manipulator?
Setelah mati, jiwa mereka akan menerima beribu-ribu lipat siksaan, dari yang teringan dipukul atau ditusuk, sampai yang terberat tak terbatas, direbus dalam kawah berapi.
Hidup itu penderitaan
Adegan tadi hanyalah dua contoh kecil dari belasan panel relief siksa neraka yang terpahat di tembok Candi Jago, 18 km utara Malang, Jawa Timur.
Kunjarakarna Dharmakatana, begitu rangkaian relief itu dinamai, karena memang dicukil dari kitab kuno zaman Majapahit berbentuk kakawin (puisi) bernama Kunjarakarna.
Relief lakon Kunjarakarna, ditatah seniman Jawa abad XIV, tepatnya di bagian kaki kuil agung candi tak ternama itu.
Kata Kunjarakarna Dharmakatana sendiri banyak orang mengetahui artinya, yaitu ajaran suci bagi pendosa berat bernama Kunjarakarna.
Namun, barangkali hanya beberapa gelintir orang saja yang tahu, betapa dalam makna yang tersirat dalam kakawin ataupun pada pahatan relief batu tersebut.
Sebetulnya, lakon religius ini mengandung tema ajaran kebatinan dalam usaha manusia mencapai kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.
Ahli Jawa kuno kenamaan Zoetmulder dalam bukunya Kalangwan, sempat menyinggung dan menilai kakawin ini sebagai karya sastra klasik yang lain daripada yang lain, namun sarat akan ajaran moral didaktis yang sangat penting guna memahami sistem kepercayaan masyarakat pada masa itu (Zoetmulder, 1983).
Hidup adalah samsara (penderitaan), begitu ajaran kebatinan lakon aneh itu diawali. Samsara yang ganas mengancam manusia dari sudut “enam musuh” ialah hawa nafsu.
Musuh-musuh itu bisa dikalahkan manakala setiap noda dilenyapkan dengan manawisesa. Tapi sungguh berat mencapai pengetahuan mulia itu.
Bilamana seseorang telah memutuskan tenggelam di dalamnya dengan menjadi biku, maka hendaknya jangan membedakan ketiga jalan aliran pemuda Buddha, Siwa, atau jalan para Resi.
Andaikan para biku tadi telah berupaya mencapai kelepasan namun tak berhasil, ini disebabkan setiap aliran masih menganggap dewanya paling unggul dari dewa lainnya.
Pada sisa relief yang tertimpa lumut dan jamur itu, lakon siksa neraka ini masih jelas menampilkan pesan betapa hukum sebab akibat berlaku.
Manusia di bumi memang bisa berbuat sesukanya. Namun kelak di akhirat akan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Ngunduh wohing pakarti (suka tidak suka, menerima risiko atas segala perbuatannya), sebuah konsep sederhana yang sudah lama ada, bahkan jadi sistem tersendiri sebagai kendali perilaku manusia leluhur kala lampau, menunjukkan hal itu.
Menurut Kitab Kunjarakarna, ada 20 kelompok kejahatan yang menyebabkan sukma manusia masuk neraka dan disiksa.
Kelompok kejahatan yang disebut anidya paradrwya misalnya, dilakukan oleh mereka semasa di dunia yang selalu dipenuhi nafsu untuk memiliki harta yang bukan miliknya.
Mereka adalah pencuri, perampok, termasuk koruptor, dan manipulator.
Lumayan berat hukuman buat kelompok manusia macam ini. Katanya, tubuh itu nanti akan dipotong-potong dengan gergaji besi panas membara.
Jiwa pendosa itu banyak yang tak sadar memohon seribu ampun dan berteriak kesakitan menyebut bapak-ibunya.
Tapi raksasa penjemput maut itu sepertinya buta dan tuli. Malah potongan tubuh-tubuh itu disatukan kembali sebelum digergaji lagi.
Begitu seterusnya, setimpal dengan dosa hasil perbuatannya dulu.
Ada lagi kelompok kejahatan bernama anidra parawadha atau paradara, yakni dilakoni orang yang jiwanya dikuasai nafsu seksual, dalam artian gemar mengganggu, mengajak serong dara, istri, atau suami orang lain.
Kelak sesudah mati, katanya akan dihimpit bukit berkepala hantu dan ditusuk tombak api, serta digulung lempengan tembaga panas.
Siksaan 1,8 miliar tahun
Ini memdng kisah neraka, dari kitab kuno aneh dan langka! Kematian itu sendiri, menurut Kitab Kunjarakama, bukan tidur panjang yang tak terbangunkan sebagaimana didefinisikan oleh berbagai sastra picisan modern.
Kematian hanyalah suatu perubahan keadaan, dari dunia ke alam baka. Di alam ini roh mendapat balasan sesuai perbuatannya. Yang baik di surga, yang jahat masuk neraka.
Menurut kakawin Kunjarakarna neraka itu bertirigkat-tingkat, namun yang terberat ada delapan buah.
Dari delapan neraka besar tersebut paling ringan adalah neraka yang disebut tapana. Konon di sini para pendosa beramai-ramai disekap dalam ruang tertutup berbau amis bercampur sengak oleh uap yang menyembur dari ketel panas.
Setingkat di atas neraka tapana, ada neraka yang disebut raurawa, artiriya tangis dan jeritan panjang.
Betul memang ada uraian mengerikan. Siksa neraka di sini khusus buat manusia pengobral janji, berkata kasar, atau besar mulut dan terutama pembohong.
Mereka; jiwa pendosa itu dicor mulutnya dengan timah membara dan dituangi lelehan besi panas. Suara lolongan panjang mereka mirip setan kebirigungan.
Yang terberat. adalah neraka awici. Katanya, neraka ini diperuntukkdn buat manusia yang berani kepada orang tua, membunuh guru, dan menghina agama.
Mereka akan diceburkan berbarengan ke dalam kawah api, mereka pun merintih, menangis, mohon selaksa ampun dan kesempatan sekali saja untuk bertobat.
Sementara panas mernbakar mereka, seekor burung raksasa menyambar 100 pendosa dan membawanya ke puncak pohoh besi.
Di sini tubuh-tubuh' hangus kehitaman itu dicampakkan ke atas permadani berbulu belati.
Belum cukup, lalu satu demi satu raksasa neraka mengangkat tubuh mereka untuk digantung kakinya di pucuk bambu betung, sementara di bawahnya api menyala menjilati badannya.
Konon di neraka awici ini, pendosa akan disiksa selama 100.000 tahun ukuran neraka.
Padahal satu harinya neraka, katanya sama dengan 50 tahun di bumi.
Jadi total neraka awici akan menyiksa jiwa pendosa selama 1,8 miliar tahun menurut perhitungan bumi.
Lumayan juga, dibandingkan dengan siksa abadi yang tak tahu kapan berhentinya.
Adegan siksa neraka, di samping diabadikan di dinding Candi Jago, juga dipahat apik di Candi Borobudur dari sumber yang berbfeda.
Rangkaian relief yang masyhur disebut Karmawibhannga itu, memang berpangkal dari hukum karma manusia.
Sayang sekali, relief tersebut tka bisa dinikmati pengunjung, karena terpahat di kaki candi yang tertutup timbunan tanah yang disebut kamadathu.
Adegan siksa neraka di panel Candi Borobudur, sebetulnya jelas sekali melukiskan hukum sebab-akibat manusia, seperti kuda harus diikuti keretanya.
Ada manusia digodok, ada juga yang dilukai tangannya dan dihajar tiga raksasa, digada, dan dipedang.
Katanya, ini hukuman buat mereka yang dulu suka membunuh binatang.
Yang menarik perhatian dari relief Karmawibhangga seri O no. 89, penampilan seorang perempuan duduk melenggut di boyah pohon keluwih dengan ekspresi meratap, sementara di sampingnya seorang raksasa berambut gimbal sedang mengayunkan pedang panjang yang pasti akan memecahkan kepala wanita pendosa itu.
Kasihan sekali perempuan itu, tapi ini hukuman buat manusia penyeleweng dan pezinah.
Jagat arwah
Kitab kuno Kunjarakarna memarig lain dari yang lain. Neraka yang pengarangnya sendiri jelas belum pernah menengoknya, dijadikan fokus media untuk menghajar sekaligus membangun moral manusia.
Kayak apa neraka itu sebenarnya, menurut kitab itu?
Dalam lakon Kunjarakarna berbentuk prosa, lengkap sekali dilukiskan neraka sebagai tempat setan-setan gentayangan mengerikan, gelap penuh penderitaan yang tiada bandingannya.
Neraka yang disebut petrabhawana (jagat arwah), katanya mirip lautan manusia yang dikelilingi tanggul api membara.
Di sini ribuan roh jahat disiksa dengan berbagai senjata maut, dari rantai besi sampai gada api sebesar pohon pinang.
Ada yang diborgol tangan dan kakinya, ada yang disumbat timah panas mulutnya, ada yang cuma disayat pisau kulitnya.
Tapi ada juga yang dijepit catut lehernya. Semua tergantung besar-kecilnya dosa yang diperbuatnya.
Sementara ratap tangis memilukan bagai kumbang kesakitan, datanglah sisantama, burung raksasa berkepala setan yang galak menyeruak, melumat ribuan pendosa sekaligus hancur luluh dengan cakarnya.
Tapi para pendosa itu tak mati, meski secara fisik sudah. Malah katanya, dengan tubuh lemah sempoyongan banyak di antara mereka malang-melintang berlari saling mendahului, saling berpegang pundak, ada yang terjatuh dan terinjak-injak.
Adalah serigala berkepala hantu, tiba-tiba muncul mengejar mereka. Yang tertangkap dikoyak-koyak tubuhnya, hingga menyembul isi perutnya.
Sementara dari arah berbeda, muncul raksasa berkepala dan bertangan api, terus memburu. Yang tertangkap bakal hangus, meringis mulutnya, melotot matanya, menangis, dan mengaduh, menggelepar kesakitan karena napas tersengal mendekati ajal. Tapi sekali lagi, mereka tak mati..
Begitulah gambaran keadaan neraka dalam Kitab Kunjarakarna ciptaan pujangga tak dikenal empat belas abad silam.
Lepas dari pakem cerita aslinya, pada tahun 1909 di Semarang lakon aneh ini ternyata pernah dipentaskan dalam bentuk pergelaran wayang kulit purwo dalam rangka memperingati Kongres Teosofi.
Lakon Kunjarakarna memang religius, yang hanya dikenal oleh kalangan tertentu. Tercatat tanggal 27 Februari 1971 di Senayan, Jakarta, lakon ini kembali digelar dan sempat menghibur sekaligus membikin terperangah penonton.
Ketika itu dalangnya Ki Sutrisno dalam peringatan 1 Suro 1903 tahun Dal. Dalang “sakti” ini sebelumnya (tahun 1968) pernah memanggungkannya di Surabaya dengan lakon yang sama.
Sukses menggelar lakon kuno itu, di tahun 1975 Ki Sutrisno diundang main di University of California untuk menampilkan kisah yang lebih seru, lebih dramatis, tetapi tetap sarat dengan kandungan moral didaktik.
Tersimpan di Leiden
Kitab Kunjarakarna mungkin satu-satunya kitab Jawa kuno yang membahas dan merinci ngerinya keadaan neraka.
Katanya, siksa neraka paling ringan itu 500 tahun lamanya, atau sama dengan 9 juta tahun menurut perhitungan bumi!
Padahal kita tahu, keberadaan neraka itu misterius. Karena termasuk perkara gaib, dari dulu hingga kini belum seorang pun mengalaminya.
Maka justru dari sinilah kitab ini menjadi penting, guna menghardik moral manusia untuk terus berperilaku ugahari.
Sayangnya, kitab maha menarik ini anonim, tidak diketahui siapa pengarangnya.
Dalam pupuh (bait) terakhir 41:15, malah pengarang karya agung ini mengidentikkan dirinya sebagai seorang pujangga kampung, kadi ngwang adusun, yang merasa terlalu berani mempersembahkan karya yang tidak bagus.
Sikap merendahkan diri itu memang ungkapan klasik pujangga Jawa kuno yang tersohor. Bahkan kepopuleran nama, baginya tak perlu dikoarkoarkan.
"Masyarakat sekarang perlu tahu isi kitab tersebut, karena di sana ada pengetahuan kehidupan setelah kematian versi Jawa kuno," tuturnya.
Mungkin betul, cuma untuk membaca kitab aslinya orang harus paham benar bahasa dan huruf Jawa kuno.
Lagi pula kabarnya kitab ini tak ada di Indonesia, melainkan sudah seabad lebih disimpan aman di Museum Leiden, Belanda, dan belum diurus untuk dikembalikan kepada ahli warisnya.
Paling baik, memang menyaksikan ukiran relief di Candi Jago, Malang, itu sendiri.
Ingar-bingar siksa neraka versi kitab yang dipahatkan pada dinding beberapa candi di atas dikisahkan kembali oleh koresponden Intisari B. Soelis, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1992.