Teriakan dan raungan kebingungan warga kampung di sekitar gunung suci ini terdengar memecah malam-raalam berikutnya.
Mulai saat itu G. Agung terus-menerus menunjukkan aktivitasnya selarna hampir 6 bulan. Ribuan nyawa dan puluhan ribu tempat tinggal musnah.
Muntahan lava merusak jalan raya Singaraja - Karangasem. Sementara hujan pasir melanda Denpasar yang jauhnya sekitar 150 km dari sumber bencana.
Selama beberapa minggu cuaca selalu mendung karena udara teralang debu. Menurut pengalaman Shadeg, warga Kota Denpasar kalau naik sepeda harus mengerudungi kepalanya dengan plastik karena debu dan pasir beterbangan.
Kecuali Pura Agung Besakih yang tetap utuh dan hanya terkena hujan pasir tercampur abu, beberapa pura di desa-desa seperti Sorgre, Badeg Tengah, Badeg Dukuh, Sidemen, Selat, dan Sebudi, nyaris terbenam lahar.
Keutuhan Pura Besakih ini pun tak luput dari anggapan mistis campur tangan dewa. Padahal letak Pura Besakih yang persis di tanah datar di bawah punggung gunung yang dibatasi dengan jurang, justru membuatnya terhindar dari bencana.
Ibarat seorang lelaki kencing tak akan mengenai kakinya sendiri.
Di tengah derita bencana itu, samar-samar terdengar kisah gaib seperti yang terjadi di Badeg Dukuh, desa tertinggi di lereng gunung.
(Baca juga: Bulan Purnama Mempengaruhi Pola Tidur)
Desa yang dihuni sekitar 900 jiwa ini merupakan sasasran awal semburan lava. Pada saat itu seorang kepala desa justru mengambil langkah berani naik gunung, menghadapi datangnya lava bersama beberapa pendeta, diiringi alunan gong dan gamelan.
Mereka mengadakan pemujaan untuk membujuk dewa agar menghentikan lajunya aliran lava. Entah kenapa sebabnya tiba-tba aliran lava benar-benar berhenti.
Cerita ini lantas berkembang ke desa-desa tetangga, terutama mengenai kesaktian si kepala desa yang disebutkan mampu menghalau datangnya lava.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR