Ketika semburan lava kembali datang, “orang hebat” tersebut berpikir bisa mengulangi lagi pamer kekuatannya.
Bersama-sama ratusan penduduk desa tersebut, si kepala desa memimpin upacara. Akhinrya sebuah “prosesi bunuh diri” terjadi.
Malang tak dapat ditolak, nasib tak bisa diukur, aliran lava tak mampu dibendung. Desa tersebut benar-benar disapu bersih dan hampir semua penduduknya tewas.
Tapi konon desa itu merupakan sarang pencuri dan kegiatan black magic
Tentang raibnya bantuan
Bagi sementara pihak penderitaan sesama manusia bisa jadi merupakan kesempatan emas dalam kesempitan waktu.
Keluhan tidak lancarnya arus bantuan suatu bencana alam seperti gempa Flores yang baru lalu, ternyata bukan masalah baru.
Ketika sebagian masyarakat Bali menderita karena meletusnya G. Agung, sayup-sayup cerita yang sama sudah terdengar.
Musibah besar bagi masyarakat Bali itu sempat mengetuk hati bangsa-bangsa lain seperti Amerika, Belanda, Cina, Australia, yang tergerak untuk mengirimkan bantuan berupa beras, susu, obat-obatan, dan pakaian.
Ironisnya, bantuan yang datang justru tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Bagi para pengungsi, uluran tangan itu berhenti sekadar sebagai “berita pelipur lara” yang akhirnya malah membuat kecewa karena pada kenyataannya hampir tidak pernah mereka nikmati.
Seseorang dari Desa Selat dengan naifnya berkata, “Ibaratnya jika mereka mengirimkan sekilo beras, sampai di sini kami hanya menerima 200 gramnya.”
Bahkan ada pemeo sinis menggambarkan, bila beras dikirim, kekurangan gizi akan menyebar. Buruknya kondisi tanah yang rusak akibat letusan dan lava serta minimnya sarana transportasi memang memberi andil tak sedikit bagi ketidaklancaran penyaluran dana bantuan.
Namun, hal ini masih ditambah dengan mentalitas tidak mendukung dari oknum-oknum yang terlibat dalam proses rehabilitasi bencana.
Baik para pengungsi maupun para pejabat setempat sering kali dihadapkan pada situasi menyedihkan. Betapa tidak?
Mereka tahu para pengungsi kelaparan. Mereka pun mendengar pemerintah memberi bantuan beras, tapi tidak ada kendaraan yang bisa mengangkutnya ke tempat mereka.
Sebagai contohnya, Australia memberikan hadiah bagi para korban berupa 10 buah truk Holden untuk keperluan pengangkutan pengungsi dan suplai makanan ke desa-desa terpencil.
Satu dari sepuluh truk ini “mogok” di Jakarta, sementara sembilan lainnya tidak pernah dipakai sesuai tujuannya.
Ironisnya, tak satu pun muncul di daerah bencana. Itu terjadi 19 Juni 1963, tiga bulan sebelum desa-desa musibah menerima bantuan beras, dengan konsumsi 100 g/orang per hari (padahal saat itu biasanya konsumsi orang makan nasi 500g/hari)
Seorang turis Amerika waktu itu sempat terheran-heran melihat kejadian ini. Ia tahu persis, sejumlah baju bagus untuk para pengungsi korban G. Agung.
Tapi ternyata ia melihat sendiri barang itu diperjualbelikan di Denpasar dengan harga Rp8.000.-/potong.
(Baca juga: Pulung Gantung, Misteri Bola Api yang Dianggap sebagai Pendorong Orang Bunuh Diri)
Beberapa pejabat setempat lantas berbalik omongannya lain, ketika dipaksa untuk melihat apa yang sesungguhnya telah terjadi.
Sementara pejabat sipil Karangasem mengaku kepada Mathews, dari sejumlah donasi swasta yang datang, hanya seperempatnya yang sampai ke tangan yang berhak.
Lainnya masuk ke kantong-kantong yang tidak bertanggung jawab. Ia merasa malu atas kelakuan bangsanya sendiri dalam menghadapi bencana. (Djs/Yan)
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1993)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR