Gunung ini menghidupi mereka, memberi air untuk mengairi tanaman dan kebun serta kebutuhan hidup lainnya.
Maka, ketika harus berhadapan dengan amukan dahsyat lavanya, banyak cerita berbau mistis, irasional mewarnai petaka alam ini.
Apalagi letusan itu awalnya terjadi persis di malam purnama (bulan penuh) yang bagi sebagian besar masyarakat Bali punya arti magis.
Tentang mistik dan kutukan dewa
Kesaksian pasangan suami-istri warga AS, Dennis dan Anna Mathews, mengenai peristiwa meletusnya G. Agung, dalam bukunya The Night of Purnama menarik untuk disimak.
Desa Iseh, 10 km dari puncak ke arah selatan, tempat suami-istri ini tinggal, termasuk salah satu kawasan yang porak poranda karena amukan G. Agung.
Tanggal 3 Maret 1963, sejak sore sampai malam hari, masyarakat Bali sednag sibuk menyambut datangnya perayaan seratus tahun sekali, Eka Desa Rudra, suatu puncak upacara penting puji syukur kepada Tuhan atas segala rahmat yang dianugerahkan kepada umat manusia.
(Baca juga: Sajian Berbeda dari Nasi Ayam Kedewatan Ibu Mangku)
Bentuknya antara lain dengan upacara sesaji dan penghormatan ke sebelas arah, yang dipercaya menyimpan kekuatan alam baik yang buruk, maupun yang jahat.
Dengan upacara ini diharapkan masing-masing kekuatan akan berjalan seimbang, sehingga umat manusia bisa hidup selaras dengan alam, damai, dan terhindar dari segala bencana.
“Namun, untuk menyambut upacara itu, setiap jengkal tanah di Bali mesti disucikan lebih dulu. Itu berarti selain penduduknya harus ‘menyucikan’ diri baik jasmani maupuan rohani, jasad-jasad yang terkubur di dalamnya harus segera diambil dan dikremasi (ngaben) atau dilabuh ke sungai/laut,” tambah Shadeg SVD.
Bagi kalangan berduit, hal ini tentu tidak akan menjadi masalah. Namun untuk sebagian besar masyarakat jelata, biaya ngaben yang minimal mencapai jutaan rupiah tak pelak menjadi kendala utama.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR