Bulan ini, di sebuah ruang kerja di London utara di mana ia dan lebih dari 200 rekan senegaranya merayakan perayaan tahunan berakhirnya genosida di Rwanda, Murangwa, mantan kapten tim nasional Rwanda, mengingat kembali bagaimana sepakbola menyelamatkan nyawanya dari genosida.
Pengalamannya dengan tentara bukanlah yang paling melekat dalam dirinya soal genosida. Yang paling mendalam baginya adalah bagaimana beberapa teman setimnya mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan nyawanya.
“Aku mulai bermain olahraga karena hal itu menyenangkan,” ujarnya. “Baru saat terjadi genosida, aku sadar bahwa olahraga telah mengajari Anda bagaimana menjadi manusia.”
(Baca juga: Mantan Penjual Pepsi Itu Kini Jadi Raja Rwanda)
Murangwa ingat betul di mana ia berada ketika mendengar kabar soal pembantaian massal. Ia sedang dalam perjalanan pulang dari sebuah bar tempat ia menyaksikan pertandingan: semifinal Piala Afrika 1994.
Pertandingan itu mempertemukan Zambia dan Mali—dan Zambia keluar sebagai pemenang. Itu adalah salah pertandingan terpenting dalam sejarah sepakbola; Zambia lolos ke final kurang dari satu tahun setelah sebagian besar skuat mereka terbunuh dalam sebuah kecelakaan pesawat.
Malam itu, saat Murangwa ngobrol dengan teman satu flatnya tentang kemenangan Zambia, ada seorang penjaga yang bilang ada kecelakaan pesawat lain yang baru saja ia saksikan.
“Ia bilang mendengar suara ledakan besar dan melihat api berpendar di langit,” kenang Murangwa.
“Tapi itu tidak berarti banyak bagi kami, kami berada di zona perang, kami biasa mendengar granat dilempar. Yang tidak kami ketahui, bahwa itu adalah pesawat presiden yang ditembak jatuh.”
Presiden Rwanda, Juvenal Habayrimana, meninggal bersama dengan orang lain di jet pribadinya, termasuk Presiden Burundi, Cyprien Ntaryamira. Dalam beberapa jam setelah pembunuhan itu (yang belum diketahui dalang utamanya tapi ekstremis Hutu dianggap sebagai salah satu otaknya), kengerian pun dimulai.
Tentara menjelajahi Kigali mencari musuh rezim; dan Interahamwe—milisi yang dibeking pemerintah—mulai berburu orang-orang Tutsi.
“Aku terbangun oleh suara tembakan dan bom yang luar biasa sekitar pukul tiga pagi,” ujar Murangwa.
Source | : | the guardian |
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR