Menurut data Balai Konservasi Sumber Daya Alam, masih ada sekitar 50 ekor gajah liar yang menghuni hutan PLG.
“Di sini gajah sebagai spesies payung,” kata Anang Widyatmoko, pendiri ECC (Elephant Care Community) Seblat, sebuah komunitas peduli gajah di Desa Sukabaru, Kecamatan Putri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara.
Artinya spesies yang memayungi spesies lain termasuk hutan untuk tetap ada.
(Baca juga: Kisah Para Gajah di Nepal yang Selamatkan Ratusan Jiwa Penduduk dari Terjangan Banjir Bandang)
Pasalnya, sempat terdengar kabar bahwa Seblat menjadi ajang banyak kepentingan untuk dialihfungsikan ke perkebunan, pemukiman, bahkan pertambangan sebagaimana yang terjadi di sekeliling PLG.
Gajah jadi polisi
Gajah adalah magnet para pengunjung untuk singgah ke PLG, selain juga alamnya yang memang menawan.
Sebuah kesempatan langka ketika kita bisa tubbing (naik ban mengikuti arus) di Sungai Seblat yang menjadi batas alam antara PLG dan desa, dengan latar belakang gajah yang sedang merumput.
Atau bahkan, kita bisa tidur di tenda berdampingan dengan gajah.
Menurut aturan yang berlaku, di kawasan TWA memang tidak boleh ada yang menginap. Oleh karena itu, ECC dan Ulayat (LSM di Bengkulu) merancang sebuah ekowisata.
Salah satu kegiatannya adalah berkemah di pinggir Sungai Seblat, seberang PLG. Secara admistratif masih masuk ke Desa Sukabaru, desa ini yang paling dekat dengan PLG Seblat, sehingga tak memerlukan Simaksi (Surat Izin Masuk Wilayah Konservasi).
Para pengunjung bisa datang ke PLG melalui desa ini sebagai pintu gerbangnya.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR