Advertorial

Menggembala Gajah, Menyapa Detak Pelindung Hutan

Ade Sulaeman

Editor

Menggembala hewan berbelalai panjang ini niscaya memberikan sensasi luar biasa.
Menggembala hewan berbelalai panjang ini niscaya memberikan sensasi luar biasa.

Intisari-Online.com – Menggembala kambing atau sapi mah biasa.

Menggembala gajah, itu baru seru.

Menggembala hewan berbelalai panjang ini niscaya memberikan sensasi luar biasa.

Menggembala gajah bisa kita lakukan di Seblat, Bengkulu Utara.

Saban pagi, Bona, si gajah kecil, menyeberang sungai bersama Aswita, ibu angkatnya. Mereka diiringi oleh rombongan gajah-gajah lainnya.

(Baca juga: Seperti Polisi, Gajah Ini Menghentikan Lalu Lintas Demi Mengamankan Kawanannya yang Mau Melintas)

Bona bermain air, menggerakkan belalainya ke kanan dan ke kiri, terkadang ragu-ragu untuk turun bila jalan terlalu curam.

Tetapi keisengan dan rasa penasaran selalu membawa Bona kecil menerjang medan yang cukup sulit untuk gajah seusianya. Terkadang, dia pun jatuh terguling.

Bona adalah gajah kecil, penghuni Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat, Bengkulu Utara.

Ia tinggal di hutan seluas 7.737 hektare yang telah menjadi Taman Wisata Alam (TWA) Seblat sejak 1995.

Di secuil kawasan hijau inilah gajah-gajah itu menggantungkan hidupnya, atau tepatnya, kawasan hijau ini pun bergantung dengan keberadaan gajah.

Sejumlah 15 ekor gajah yang ada di PLG hidup dari hutan yang tersisa.

Sementara hutan itu tetap ada, belum dibabat untuk alih fungsi hutan karena keberadaan gajah, baik gajah di PLG maupun gajah liar yang kerap kali singgah di desa.

Menurut data Balai Konservasi Sumber Daya Alam, masih ada sekitar 50 ekor gajah liar yang menghuni hutan PLG.

“Di sini gajah sebagai spesies payung,” kata Anang Widyatmoko, pendiri ECC (Elephant Care Community) Seblat, sebuah komunitas peduli gajah di Desa Sukabaru, Kecamatan Putri Hijau, Kabupaten Bengkulu Utara.

Artinya spesies yang memayungi spesies lain termasuk hutan untuk tetap ada.

(Baca juga: Kisah Para Gajah di Nepal yang Selamatkan Ratusan Jiwa Penduduk dari Terjangan Banjir Bandang)

Pasalnya, sempat terdengar kabar bahwa Seblat menjadi ajang banyak kepentingan untuk dialihfungsikan ke perkebunan, pemukiman, bahkan pertambangan sebagaimana yang terjadi di sekeliling PLG.

Gajah jadi polisi

Gajah adalah magnet para pengunjung untuk singgah ke PLG, selain juga alamnya yang memang menawan.

Sebuah kesempatan langka ketika kita bisa tubbing (naik ban mengikuti arus) di Sungai Seblat yang menjadi batas alam antara PLG dan desa, dengan latar belakang gajah yang sedang merumput.

Atau bahkan, kita bisa tidur di tenda berdampingan dengan gajah.

Menurut aturan yang berlaku, di kawasan TWA memang tidak boleh ada yang menginap. Oleh karena itu, ECC dan Ulayat (LSM di Bengkulu) merancang sebuah ekowisata.

Salah satu kegiatannya adalah berkemah di pinggir Sungai Seblat, seberang PLG. Secara admistratif masih masuk ke Desa Sukabaru, desa ini yang paling dekat dengan PLG Seblat, sehingga tak memerlukan Simaksi (Surat Izin Masuk Wilayah Konservasi).

Para pengunjung bisa datang ke PLG melalui desa ini sebagai pintu gerbangnya.

Lalu bagaimana cara berinteraksi dengan gajah? Gajah itu yang akan mendatangi kita.

Desa Sukabaru dibangun oleh aktivitas petani, baik petani padi maupun petani sawit.

(Baca juga:Kena Karma, Pemburu Gajah Ini Tewas Tertindih Gajah yang Ia Tembak Sendiri)

Tanaman asli Amerika Selatan ini yang menjadi urat nadi ekonomi desa transmigran ini, sekaligus disebut-sebut menjadi petaka bagi lingkungan.

Karena demi sawit, hutan dibabat menjadi tanaman yang homogen. Pun konflik antara gajah dan manusia dipicu oleh sawit.

“Gajah ‘kan punya homerange yang dari dulu selalu sama. Nah, pas gajah datang, homerange-nya sudah berubah jadi kebun sawit. Senang sekali gajah itu, karena memang makanan favoritnya,” kata Moko.

Ketika gajah berpesta, petani yang menanggung petaka karena tanamannya rusak. Perang pun dimulai.

Gajah kerap dijerat, diracun, dan disakiti karena dianggap hama.

Berawal dari konflik inilah, maka PLG dibangun yaitu untuk merawat dan melatih gajah-gajah liar yang tertangkap karena konflik.

Tetapi lama-kelamaan, gajah liar yang tertangkap semakin banyak sehingga PLG tak layak lagi untuk menampung.

Kemudian sistem penanganan konflik berubah.

Gajah liar yang tertangkap dilatih untuk menjadi “polisi gajah”, tugasnya menggiring gajah liar untuk kembali masuk ke hutan.

Program ini dilakukan oleh Fauna and Flora International (FFI) melalui program Conservation Response Unit (CRU), unit tanggap darurat untuk mengatasi konflik gajah dengan manusia.

Masyakarat akan melapor ke CRU jika ada gajah yang masuk ke perkampungan atau perkebunan.

Kemudian, gajah-gajah polisi itu akan turun mengamankan.

Selain itu, gajah-gajah terlatih ini juga membantu polisi hutan untuk mengadakan patroli masuk hutan.

“Kami bisa dua minggu sampai sebulan keliling ke hutan naik gajah,” kata Mustadin, salah satu polisi hutan yang juga mahout (pawang gajah).

Hanya saja, program CRU dan patroli ini sudah berhenti sejak Mei 2015.

Kini, gajah-gajah itu dikelola BKSDA.

Walau tidak lagi patroli, gajah-gajah itu tetap melakukan aktivitas seperti biasa.

Seperti menggembala kambing

Pagi di Sungai Seblat, tersibak oleh langkah rombongan gajah menyeberang sungai.

Sebelum sampai di ujung camp, gajah itu dimandikan terlebih dahulu.

Para mahout menggosok badan gajah, menghilangkan tanah dan kotoran yang menempel dengan sikat halus.

Sesekali, gajah-gajah itu meyemprotkan air ke udara. Sementara, Bona kecil sibuk bermain air.

Setiap gajah di sini punya kisah masing-masing hingga akhirnya tinggal di PLG.

Bona masih bayi berumur 2 bulan ketika ditemukan di kebun sawit, tertinggal rombongan.

Digawangi oleh Bruce Levick, warga Australia dan kawan-kawan yang peduli dengan gajah Seblat, mereka membuka donasi bertajuk Save Bona.

Gerakan ini membuka mata dunia tentang kisah gajah kecil ini. Mereka memberikan donasi untuk merawat Bona yang memang menjadi bayi mahal.

“Susunya saja harus susu bayi manusia yang mahal. Pernah diganti murah, tapi malah bermasalah,” kata Moko. Biaya untuk merawat Bona bisa Rp20-30 juta per bulan, terutama untuk susu. Hingga kini, Bona menjadi gajah sehat berusia 2 tahun yang lincah.

Usai dimandikan, gajah ini akan melanjutkan perjalanannya ke seberang sungai di samping camp untuk mengambil pelepah sawit.

Potongan-potongan pelepah yang sudah diikat itu diletakkan ke punggung gajah untuk dibawa kembali ke seberang (PLG).

Tetapi sebelum itu, gajah-gajah itu menyapa pengunjung terlebih dahulu.

Pengunjung memberikan snack pagi berupa pisang, singkong, dan gula merah kepada gajah.

Mereka makan dengan lahap dan cepat sekali menghabiskan stok makanan.

Sementara Bona, selalu mengejar orang yang membawa tas plastik. Berharap selalu ada gula merah di dalamnya.

Usai menghabiskan snack, mereka kembali ke tumpukan pelepah sawit.

Mahout meletakkannya ke punggung gajah, lalu perlahan kembali menyeberang deras sungai Seblat.

Saat sungai sedang dalam, para gajah sampai hanya kelihatan belalainya yang diacungkan ke atas mirip teleskop.

Sementara mahout berupaya untuk tidak terbawa arus. Kegiatan ini akan diulang pada sore hari.

Pada saat gajah menyeberang sungai inilah para pengunjung bisa ikut menyeberang ke PLG di punggung gajah.

Menggembalakan gajah pada dasarnya sama dengan menggembalakan kambing dan kerbau. Gajah dilepas di hutan sekitar PLG.

Bila hutan di sekitar PLG sudah tak menyediakan pakan, terpaksa para mahout mengajak gajah ini ke perkebunan sawit yang sudah tinggi sehingga tidak merusak.

Tentu dengan pengawasan. Untuk mencegah agar selalu dalam pengawasan, bila mahout tidak naik di punggung gajah, maka kaki gajah tersebut diberi pemberat berupa rantai besi.

Bagi pecinta binatang, tindakan ini sempat diprotes.

“Ya gimana, kalau tidak dirantai, kalau makan sawit, satu pohon dikenakan denda Rp 700.000,-.Siapa yang mau bayar?” kata Moko.

Denda tersebut merupakan kesepakatan warga dengan PLG, salah satu kesepakatan untuk menangani konflik gajah.

Jalan tengah yang mungkin tak mengenakkan bagi gajah, tetapi apa boleh buat. Yang jelas, rantai gajah itu diupayakan hanya memperlambat gerak dan tidak menyakiti.

Gajah-gajah di padang penggembalaan di sepanjang Sungai Seblat merupakan pemandangan menarik.

Mereka makan dengan tenang, terkadang bermain air, sesekali orang-orang yang tubbing melintas.

Keragaman jenis tumbuhan yang dimakan akan menjadikan gajah tersebut sehat.

Pada dasarnya, gajah memakan semua jenis daun dan ranting. Pelepah sawit memang termasuk salah satu makanan favorit gajah.

Hanya saja, tak bagus bila diberi makan satu jenis sepanjang waktu.

Hingga sore menjelang, ketika gajah sudah kenyang, maka ia kembali menyeberang sungai untuk mengambil pelepah sawit kembali. Stok untuk camilan nanti malam hingga pagi.

Demikianlah keseharian gajah-gajah Seblat. Semoga akan tetap begitu, bila mungkin, rumah gajah ini diperluas lagi. (Titik Kartitiani)

(Seperti dimuat di Majalah Intisari edisi April 2016)

Artikel Terkait