Advertorial
Intisari-Online.com - Setiap ingin membeli alat utama sistem senjata (alutsista) dari luar negeri pemerintah Indonesia sebenarnya tidak bisa main-main.
Pembelian alusista itu pun sebenarnya dilakukan karena ada faktor ‘’terpaksa’’ dan terkait dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Syarat-syarat untuk membeli alutsista dari luar negeri antara lain, alutsista itu belum atau tidak bisa dibuat di dalam negeri, mengikutsertakan partisipasi Industri pertahanan dalam negeri, wajib adanya alih teknologi, jaminan tidak adanya potensi embargo, dan tidak ada hambatan yang bersifat politis dalam penggunaan alutsista bersangkutan.
Untuk menghindari ancaman embargo pemerintah RI lebih suka membeli alutsista dari Rusia seperti sejumlah jet tempur Su-35 karena tidak adanya potensi embargo.
Tapi jika membeli alutsista dari AS, ancaman embargo senjata bisa sewaktu-waktu muncul dan bisa diakibatkan oleh tindakan sepele.
Misalnya saja, Indonesia tiba-tiba konflik dengan Singapura karena masalah pengaturan ruang udara.
Karena Indonesia dianggap merugikan Singapura, AS yang merupakan sekutu Singapura memberi ‘’pelajaran’’ dengan cara menghentikan pengiriman suku cadang pesawat-pesawat tempur Indonesia yang dibeli dari AS.
Akibatnya pesawat-pesawat produk AS yang dioperasikan oleh Indonesia terpaksa di-grounded.
Atau militer Indonesia dilarang menggunakan alutsista yang dibeli dari AS untuk menangani pemberontakan dalam negeri.
Ketika senjata dari AS itu terbukti digunakan untuk memadamkan pemberontakkan dalam negeri, AS pun langsung melakukan embargo.
Tapi jika Indonesia membeli alutsista dari Rusia dan sudah dibayar lunas, biasanya Rusia tidak menggubris alutsista itu akan digunakan untuk apa.
Namun Rusia cenderung senang jika alutsistanya yang dibeli oleh suatu negara dan digunakan dalam peperangan ternyata terbukti mumpuni.
Selain itu untuk kepentingan alih teknologi jika beli alutsista dari Rusia juga lebih mudah karena para pilot dan teknisi Indonesia sudah terbiasa menangani jet-jet tempur Sukhoi.
Apalagi Rusia tidak pelit berbagi teknologi alutsista terhadap negara yang sudah membeli persenjataan canggihnya.
Sedangkan AS termasuk pelit dalam soal alih teknologi terhadap negara yang membeli alutsistanya, kecuali negara itu adalah sekutunya.
Alih teknologi sebenarnya merupakan salah satu komponen jual beli senjata (offset) yang sangat penting dan merupakan kewajiban karena masalah pertahanan adalah masalah teknologi.
Hal ini menyangkut kecenderungan bahwa semakin modern teknologi persenjataan yang digunakan, maka akan semakin besar daya hancurnya.
Yang pasti berdasarkan pengalaman sejarah seperti Operasi Trikora, beragam alutsista yang dimiliki Rusia dan pernah dibeli Indonesia ternyata lebih menakutkan dibandingkan alutsista buatan AS.
AS saat itu bahkan ketakutan dengan satu skadron pesawat pengebom Tupolev Tu-16 yang dimiliki oleh Indonesia karena bisa menghancurkan kapal induk hanya dengan menjatuhkan satu bom saja.
Bahkan hingga saat ini AS sebenarnya masih ketakutan dengan alutsista yang dimiliki Rusia, khususnya rudal balistik nuklir, sistem pertahanan udara S-400 dan sistem persenjataan penghancur satelit yang sudah sukses diuji coba oleh Rusia.
Indonesia Ingin ‘Borong’ Sukhoi: Terkait Perubahan Nama Laut China Selatan Jadi Laut Natuna Utara?
Keinginan Indonesia untuk membeli jet tempur Sukhoi Su-35 dari Rusia sangat beralasan karena dibutuhkan untuk menjaga wilayah kedaulatan NKRI yang demikian luas.
Apalagi Indonesia telah mengumumkan wilayah perairan Natuna sebagai Laut Natuna Utara dan bukan bagian Laut China Selatan lagi.
Pernyataan itu tentunya harus diikuti dengan perkuatan militer untuk menjaganya khususnya dari unsur kekuatan udara.
Apalagi China telah memprotes penamaan Laut Natuna Utara itu.
Sejak China mengklaim Laut China Selatan (LCS) sebagai wilayah perairannya berdasar klaim historis, maka negara-negara yang berada di lintasan LCS mulai kena batunya.
(Baca juga:Indonesia Ubah Nama Laut China Selatan Jadi Laut Natuna Utara, China Langsung Protes)
Perairan LCS yang melewati Filipina, Taiwan, Thailand, Malaysia, Vietnam, Jepang, dan Indonesia, tiba-tiba diklaim China karena telah menjadi jalur sutera laut sejak dulu.
AS dan India sebenarnya juga gerah atas klaim LCS oleh China itu karena kapal-kapal transpornya juga rutin melintasi LCS, terutama kapal-kapal perang Armada Ke-7 AS di Pasifik yang berpangkalan di Jepang (Okinawa).
India dan AS merasa gerah karena kekuatan laut China merupakan tandingan yang memadai jika harus bentrok di perairan LCS.
Sebalinya AL China merasa superior jika dibandingkan dengan kekuatan AL negara-negara Asia Tenggara, termasuk Jepang.
Tapi pertumbuhan ekonomi China yang pesat adalah penentu segalanya karena negara ini secara mental juga ingin menjadi negara superpower seperti AS, minimal di kawasan Asia-Pasifik.
(Baca juga:Lama Jadi Musuh Bebuyutan AS di Laut China Selatan, China Sulit Netral Jika Konflik Korut-AS Meletus)
Kapal induk terbaru pun mulai dibangun oleh China, satu telah operasional, satu lagi nyaris operasional, dan satu lainnya dalam proses pembangunan.
Pembangunan kapal-kapal induk itu jelas ditujukan untuk menghadapi kapal-kapal perang AS atau India.
Sejumlah pangkalan militer yang merupakan titik aju juga telah dibangun China di sepanjang perairan LCS, misalnya di kepulauan Spratley.
Pangkalan militer yang dibangun dengan teknik arsitektur mutakhir (mega struktur) itu merupakan pangkalan untuk bersarangnya kapal-kapal perang, kapal tug boat,kapal penangkap ikan, kapal kargo, landasan jet-jet tempur, dan bahkan pesawat pembom.
Pangkalan itu jelas merupakan front terdepan China untuk menghadapi negara-negara di sepanjang perairan LCS.
(Baca juga:China Mengklaim Menemukan 'Sinkhole' Terdalam di Dunia di Laut China Selatan)
Secara militer China bahkan sudah siap bertindak agresif bukan hanya defensif lagi.
Lalu apakah AL China merupakan ancaman bagi NKRI?
Kasus Natuna telah membuktikan bahwa mereka adalah ancaman potensial.
Untuk itu di Natuna pun akan segera dibangun pangkalan militer ala Pearl Harbour, mengacu kepada pangakalan AL AS di wilayah Hawai, yang pada PDII pernah babak-belur karena dihantam Jepang.
Pearl Harbour pernah berantakan akibat dihantam Jepang melalui gempuran udara masif yang diterbangan dari kapal induk.
Kini China selain terus membangun kapal-kapal induknya, juga telah membangun sejumlah pangkalan aju, yang merupakan pulau kapal induk, di sepanjang perairan LCS.
Superiritas udara telah menunjukkan bahwa kapal-kapal perang sehebat apapun bisa dihancurkan melalui serangn udara seperti di pertempuran Laut Midway dan Laut Atlantik ketika Sekutu berhasil menenggelamkan kapal perang Jerman Bismarck .
Atau di lautan Pasifik ketika pesawat-pesawat tempur AS berhasil menenggelamkan kapal perang raksasa Jepang, Yamato.
Berkaca dari pengalaman perang yang kemenangannya ditentukan oleh superioritas udara itu, seharusnya TNI memang pantas memiliki jet tempur seperti SU-35 atau jet-jet tempur setara SU-35 jika mau lebih handal mempertahankan NKRI.
Pasalnya, posisi jet-jet tempur paling mutakhir hanyastand bydi pangkalannya saja telah membuat negara lain, khususnya China jika ingin bikin ulah, harus berpikir dua kali.
Meskipun tidak digunakan untuk berperang, keberadaan jet-jet tempur yang selalu siaga sangat penting untuk menciptakan efek gentar (diterrent effeck) bagi negara-negara yang berniat menyerang Indonesia.