(Baca juga: Masih Ingat dengan Perjanjian Linggarjati? Liburan Sambil Belajar Sejarah ke Museumnya, Yuk!)
Jalan sudah buntu
Hari Sabtu, tanggal 7 Maret 1942, situasinya semakin genting. Belanda semakjn terdesak.
Maka Gubernur Jenderal Jhr. mr. A.W. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer maupun Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal H. Ter Poorten mengirim Mayor Jenderal Pesman untuk mengadakan hubungan dengan komandan tentara Jepang.
Maksudnya ingin merundingkan penyerahan sebagian daerah Garut-Purwakarta, termasuk Kota Bandung yang terancam, bukan seluruh Hindia Belanda.
Jepang dan Belanda pun berhenti tembak-menembak. Keesokan harinya utusan Jepang, Kapten Yamashita, datang ke tempat Pesman di Gedung Isola (kini Bumi Siliwangi), bukan untuk berunding tapi untuk memberi tahu bahwa Letjen Imamura, Panglima Tertinggi Pasukan Pendarat, hanya mau berunding dengan Gubjen dan Panglima AD.
Mereka harus secepatnya ke Subang untuk menemuinya. Padahal pertemuan semacam itu biasanya hanya terjadi kalau akan ada penyerahan mutlak, dan hal ini tidak diinginkan oleh Belanda.
Namun, bagi Belanda tidak ada mah seorang perwira sekolah pilihan lain.
Akhirnya Gubjen Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Panglima AD Ter Poorten berangkat ke Kalijati untuk berunding dengan Letjen Imamura.
Tempat yang dipilih adalah rumah seorang perwira sekolah penerbang Hindia Belanda. Karena Letjen Imamura yang datang dari Batavia baru tiba di Kalijati sore hari, maka perundingan pun baru terlaksana pada sore hari, tanggal 8 Maret 1942.
Dalam perundingan itu, Letjen Imamura menuntut Belanda menyerahkan seluruh kekuasaan atas Hindia Belanda tanpa syarat.
Semula pihak Belanda merasa berat menerima tuntutan itu dan berusaha mengulur-ulur waktu, tapi sekali lagi mereka tidak bisa mengelak dari tindakan tegas pihak Jepang.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR