Advertorial

Jangan Sekali-kali Melupakan Kota Ini, karena di Tempat Inilah Belanda Menyerah Kalah kepada Jepang

Moh Habib Asyhad

Editor

Tahun 1942, tempat tersebut masih susah dicapai melalui jalan darat, sampai-sampai Letjen Imamura memerlukan waktu sehanan untuk tiba di sana dari Batavia.
Tahun 1942, tempat tersebut masih susah dicapai melalui jalan darat, sampai-sampai Letjen Imamura memerlukan waktu sehanan untuk tiba di sana dari Batavia.

Intisari-Online.com – Di dalam kompleks Pangkalan TNI-AU Kalijati, Kabupaten Subang, Jawa Barat, ada sebuah rumah setengah kuno yang sering dikunjungi pensiunan serdadu Belanda ataupun purnawirawan tentara Jepang yang berkunjung ke Indonesia.

Di sanalah kekuasaan Belanda di Indonesia berakhir setelah mereka menjajah kita selama tiga setengah abad.

Sebaliknya, bagi Jepang, rumah itu merupakan bagian yang penting dalam mengenang kejayaannya sewaktu menguasai Asia Timur Raya.

(Baca juga:Benarkah Indonesia Dijajah Belanda Selama 350 Tahun? Fakta Ini Membantahnya!)

Tanggal 28 Februari malam menjelang 1 Maret 1942, balatentara Jepang di bawah Vice Admiral Takashi mendaratkan pasukannya secara serentak di tiga tempat di Pulau Jawa.

Letnan Jenderal Hitoshi Imamura mengepalai pendaratan di Merak dan Teluk Banten.

Kolonel Shoji beserta satuan angkatan udara yang disediakan untuk menggempur Pangkalan Udara Kalijati, mendarat di Pantai Eretan Wetan, Indramayu.

Pendaratan ketiga di Kanggran, dipimpin oleh Sakaguchi.

Jepang ternyata tidak mendapat kesulitan. Pasukan pimpinan Shoji bersama-sama ± 3.000 anak buahnya dengan cepat bisa masuk ke daerah Kalijati maupun Subang.

Pangkalan Kalijati jatuh pada hari pertama pertempuran. Tentu saja hal itu merupakan pukulan berat bagi Belanda. Usaha mereka untuk membalas lewat Purwakarta dan Subang gagal karena Jepang bertindak begitu cepat.

Pertempuran merambat ke Ciater dan Lembang. Dengan menguasai Lembang berarti pintu masuk ke Bandung sudah terbuka lebar-lebar.

Susah dibayangkan Bandung bisa dipertahankan tanpa dukungan angkatan udara dari Pangkalan Kalijati.

Untungnya, tanggal 6 Maret Belanda sudah memutuskan: tidak akan ada perang di dalam Kota Bandung. Soalnya, penduduk Kota Bandung padat.

(Baca juga:Masih Ingat dengan Perjanjian Linggarjati? Liburan Sambil Belajar Sejarah ke Museumnya, Yuk!)

Jalan sudah buntu

Hari Sabtu, tanggal 7 Maret 1942, situasinya semakin genting. Belanda semakjn terdesak.

Maka Gubernur Jenderal Jhr. mr. A.W. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer maupun Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal H. Ter Poorten mengirim Mayor Jenderal Pesman untuk mengadakan hubungan dengan komandan tentara Jepang.

Maksudnya ingin merundingkan penyerahan sebagian daerah Garut-Purwakarta, termasuk Kota Bandung yang terancam, bukan seluruh Hindia Belanda.

Jepang dan Belanda pun berhenti tembak-menembak. Keesokan harinya utusan Jepang, Kapten Yamashita, datang ke tempat Pesman di Gedung Isola (kini Bumi Siliwangi), bukan untuk berunding tapi untuk memberi tahu bahwa Letjen Imamura, Panglima Tertinggi Pasukan Pendarat, hanya mau berunding dengan Gubjen dan Panglima AD.

Mereka harus secepatnya ke Subang untuk menemuinya. Padahal pertemuan semacam itu biasanya hanya terjadi kalau akan ada penyerahan mutlak, dan hal ini tidak diinginkan oleh Belanda.

Namun, bagi Belanda tidak ada mah seorang perwira sekolah pilihan lain.

Akhirnya Gubjen Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Panglima AD Ter Poorten berangkat ke Kalijati untuk berunding dengan Letjen Imamura.

Tempat yang dipilih adalah rumah seorang perwira sekolah penerbang Hindia Belanda. Karena Letjen Imamura yang datang dari Batavia baru tiba di Kalijati sore hari, maka perundingan pun baru terlaksana pada sore hari, tanggal 8 Maret 1942.

Dalam perundingan itu, Letjen Imamura menuntut Belanda menyerahkan seluruh kekuasaan atas Hindia Belanda tanpa syarat.

Semula pihak Belanda merasa berat menerima tuntutan itu dan berusaha mengulur-ulur waktu, tapi sekali lagi mereka tidak bisa mengelak dari tindakan tegas pihak Jepang.

Akhirnya Letjen Ter Poorten menandatangani naskah penyerahan yang sudah disiapkan oleh pihak Jepang.

Hari itu jatuhlah kekuasaan Belanda di Indonesia ke tangan Jepang.

(Baca juga:Hiroo Onoda, Tentara Jepang yang Sampai Ajal Menjemput pun Tak Sudi Menyerah kepada Tentara Sekutu)

Museum Hidup Kalijati

Kalijati ternyata cukup terkenal di peta sejarah dunia, karena pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di sana.

Tahun 1942, tempat tersebut masih susah dicapai melalui jalan darat, sampai-sampai Letjen Imamura memerlukan waktu sehanan untuk tiba di sana dari Batavia.

Kini, kita hanya memerlukan waktu lebih kurang satu setengah jam, sebab jalannya sudah mulus.

Pangkalan AU Kalijati dulu dibangun Belanda untuk mempertahankan kota-kota di Jawa Barat.

Meskipun landasan pangkalan itu masih merupakan tanah lapang berumput yang dikeraskan, namun sudah memungkinkan pesawat-pesawat tempur waktu itu terbang dan mendarat dengan leluasa.

Tidak urung Jepang bisa merebutnya pada hari pertama penyerbuan mereka.

Pangkalan itu dikelilingi oleh kebun tebu yang lebat, sehingga bila dilihat dari ketinggian nampak seperti lapangan bola yang besar.

Sampai kini tempat itu masih dipergunakan untuk latihan terbang layang maupun terjun payung.

Pesawat-pesawat yang tersirnpan di hanggar masih terawat dengan baik. Kalau perlu masih bisa diterbangkan.

Maka itu dinamakan museum hidup. Pemandangan di sepanjang jalan menuju ke sana cukup menartk, dan yang lebih menyenangkan, kendaraan yang lewat belura sepadat jalur Puncak.

(Baca juga:Death Of Conversation: Saat Perilaku Manusia Dijajah Ponsel)

Bukan cuma itu yang bisa ditawarkan daerah tersebut. Kalijati yang terletak antara Cikampek dan Subang itu letaknya tidak jauh dari daerah wisata Ciater yang memiliki pemandian air panas.

Pulangnya Anda bisa mampir lagi ke Maribaya, Lembang maupun Tangkuban Perahu. (Pras)

(Pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1989)

Artikel Terkait