Salah satu bukti persiapan itu berupa pembangunan Gouvernements Bedrijven, sekarang disebut Gedung Sate, yang direncanakan sebagai bakal kantor pemerintahan.
Tapi gara-gara Perang Dunia II rencana ini gagal. Di masa kemerdekaan, Bung Karno pernah memerintahkan untuk mempersiapkan Palangkaraya yang saat itu masuk dalam Provinsi Kalimantan Selatan.
Konon, gagasan itu muncul setelah Bung Karno melihat pembangunan kota Brasilia, yang tengah dipersiapkan menjadi ibukota negara Brasil.
Bisa jadi Palangkaraya terpilih lantaran letaknya mirip Brasilia, berada di tengah-tengah wilayah negara, sehingga diharapkan mendorong pembangunan yang lebih merata.
Pada masa Orde Baru pernah disebut-sebut tentang kawasan Jonggol Jawa Barat, yang katanya juga dipersiapkan sebagai ibukota negara.
Malah sempat dikeluarkan Keputusan Presiden yang khusus mengatur pengembangan kawasan seluas 30 ribu hektar itu. Tapi belakangan proyek itu ternyata cuma akal-akalan sejumlah pengusaha agar bisa menaikkan harga tanah setempat.
Begitu rezim Soeharto tumbang, rencana pun terbengkalai. Yang tertinggal sekarang hanyalah kerusakan hutan lindung saja. Rencana tinggal rencana, yang jelas kondisi Jakarta kini sudah memasuki lampu kuning.
Dalam pemikiran Herdianto, masalahnya bukan hanya sekadar bencana alam seperti banjir, tapi juga daya dukung kota ini.
Jika dihitung menggunakan metode tapak ekologis (ecological footprint) yaitu menghitung luasan lahan produktif yang dapat memenuhi kebutuhan pangan, energi, dan jasa lingkungan penduduk kota, diketahui daya dukung Jakarta ternyata cuma untuk enam juta orang saja.
"Artinya sejak tahun 1986 sudah terlampaui," jelas Herdianto.
Dengan situasi seperti itu, wajar jika akhirnya muncul berbagai masalah yang mencekik leher warganya sendiri.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR