Intisari-Online.com -Seperti kendaraan sarat muatan, Jakarta menampung banyak beban, lamban, dan menyimpan potensi masalan di masa depan.
Wacana untuk memindahkan ibukota negara - yang tiap Juni dirayakan kelahirannya ini -pun kerap terlontar.
(Baca juga:Tahun 2018, Pemindahan Ibu Kota akan Mulai Dilakukan. Apakah akan ke Kalimantan Sesuai Ide Bung Karno?)
Mungkin bisa sedikit mengurangi beban kota metropolitan berkepadatan 15.000 orang per km2 ini. Ongkosnya tentu saja mahal, tapi bukan tidak terbayarkan.
Mengingat situasi dan kondisi Jakarta kian tahun kian memprihatinkan, menurut Anda, apakah ibukota negara sebaiknya dipindahkan dari Jakarta?
Begitu bunyi pertanyaan yang kami ajukan pada tiga orang ahli perkotaan sesuai dengan bidangnya, masing-masing Yayat Supriatna, ahli perencanaan perkotaan dari Universitas Trisakti; Paulus Wirutomo, sosiolog perkotaan dari Universitas Indonesia; dan Herdianto Wahyu Kustiadi, peneliti lingkungan dari Perhimpunan Cendekiawan Lingkungan Indonesia.
Namun ternyata, setuju ibukota dipindah atau tidak, bukanlah soalnya. Justru catatan dari ketiga ahli itulah yang lebih pantas dilirik, terhadap wacana perpindahan ibukota - dalam sejarah negeri kita sebenarnya sudah beberapa kali terlontar.
Di awal tahun 2007, ketika 70% wilayah Jakarta terendam banjir, pemikiran itu mencuat kembali.
Ketika itu bukan Cuma rumah-rumah rakyat yang kebasahan, tapi bandara, jalan tol, dan transportasi dibuat lumpuh. Rombongan Presiden juga ikut teradang.
"Dari dulu kita punya wacana perpindahan itu, tapi tidak pernah berani mengambil keputusan," tutur Yayat Supriatna menyayangkan.
Padahal, menurutnya, negeri ini perlu belajar membangun seuatu kota yang sejak awal terencana dengan baik. Bukan cuma menerima kota-kota warisan masa silam yang sudah jadi, tanpa proses pembelajaran dan transisi.
Terpusatnya segala aktivitas kehidupan di Jakarta, mulai dari pemerintahan, bisnis, perdagangan, sampai perputaran uang, membuat Paulus Wirutomo berpendapat, satu-satunya yang bisa dipindahkan dengan mudah adalah fungsi pemerintahanannya.
"Apalagi kalau melihat situasi Jakarta sekarang, seharusnya ada sesuatu yang tidak konvensional yang harus dilakukan," tuturnya. Perindahan ibukota mungkin bisa menjadi salah satu jalan keluar.
"Tapi masalahnya ibukota pindah, akankan situasi yang menimpa Jakarta kini tidak akan terulang?" Herdianto menimpali.
Artinya, apakah di tempat baru nanti tidak akan tumbuh pusat-pusat
kegiatan baru seperti di Jakarta sekarang, sehingga sifatnya hanya memindahkan persoalan ke tempat lain?
Apalagi tidak ada jaminan perbaikan di tempat baru nanti, sepanjang tidak ada perbaikan perilaku, penegakan hukum, dan tata kelola pemerintahan yang baik.
(Baca juga:Dianggap Mengotori Ibukota, Bunga Untuk Ahok Dibakar Buruh)
Di tengah negara
Sedikit menengok sejarah, rencana memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta sebenarnya bukan cerita baru.
Tahun 1808, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels, sudah mengangankan ibukota pindah ke Surabaya.
Alasannya, Surabaya dinilai lebih sehat dari Batavia.
Ada juga pertimbangan faktor pertahanan dan keamanan, karena letaknya dekat dengan pangkalan armada laut Belanda di Gresik. Kabarnya Daendels juga sempat melirik Bogor, yang dulu bernama Buitenzorg.
Beberapa waktu kemudian, pemerintah kolonial kabarnya juga sudah mempersiapkan Bandung. Alam yang sejuk dan dikelilingi pegunungan menjadi pertimbangan.
Salah satu bukti persiapan itu berupa pembangunan Gouvernements Bedrijven, sekarang disebut Gedung Sate, yang direncanakan sebagai bakal kantor pemerintahan.
Konon, gagasan itu muncul setelah Bung Karno melihat pembangunan kota Brasilia, yang tengah dipersiapkan menjadi ibukota negara Brasil.
Bisa jadi Palangkaraya terpilih lantaran letaknya mirip Brasilia, berada di tengah-tengah wilayah negara, sehingga diharapkan mendorong pembangunan yang lebih merata.
Pada masa Orde Baru pernah disebut-sebut tentang kawasan Jonggol Jawa Barat, yang katanya juga dipersiapkan sebagai ibukota negara.
Malah sempat dikeluarkan Keputusan Presiden yang khusus mengatur pengembangan kawasan seluas 30 ribu hektar itu. Tapi belakangan proyek itu ternyata cuma akal-akalan sejumlah pengusaha agar bisa menaikkan harga tanah setempat.
Begitu rezim Soeharto tumbang, rencana pun terbengkalai. Yang tertinggal sekarang hanyalah kerusakan hutan lindung saja. Rencana tinggal rencana, yang jelas kondisi Jakarta kini sudah memasuki lampu kuning.
Dalam pemikiran Herdianto, masalahnya bukan hanya sekadar bencana alam seperti banjir, tapi juga daya dukung kota ini.
Jika dihitung menggunakan metode tapak ekologis (ecological footprint) yaitu menghitung luasan lahan produktif yang dapat memenuhi kebutuhan pangan, energi, dan jasa lingkungan penduduk kota, diketahui daya dukung Jakarta ternyata cuma untuk enam juta orang saja.
"Artinya sejak tahun 1986 sudah terlampaui," jelas Herdianto.
Dengan situasi seperti itu, wajar jika akhirnya muncul berbagai masalah yang mencekik leher warganya sendiri.
Kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas, polusi, perumahan yang terbatas, air tanah yang tercemar, sampai wabah penyakit yang selalu terjadi setiap tahun. Sejumlah ahli bahkan meramalkan, situasi ini bakal semakin memburuk tahun demi tahun ke depan.
Bangunan-bangunan tinggi nan megah, jalanan mulus, insfrastruktut yang relatif baik di Jakarta seolah tidak ada artinya. Masalahnya, tingkat ketaatan masyarakat terhadap peraturan masih sangat rendah.
Pelanggaran bisa terjadi di mana-mana dan dilakukan siapa saja. Yayat menilai, situasi itu adalah bukti gagalnya proses transisi dari daerah tradisional ke kota modern. Bangunan fisiknya bagus, tapi manusianya, maaf ya, masih kampungan.
Masalah juga bisa timbul dari pejabat pemerintah daerah yang menurut Yayat tidak konsisten menerapkan perencanaan yang tertuang dalam rencana tata ruang.
Banyak bangunan yang menyimpang dari rencaa yang semestinya bersifat jangka panjang itu.
“Busway dan jalan tol dalam kota itu bagus, tapi tidak ada dalam rencana tata ruang,” kata pria kelahiran Medan 1965 itu.
Padahal pembangunan yang jelas-jelas juga merusak perencanaan awal, jumlahnya lebih banyak lagi.
Ada juga andil segelintir orang pemegang modal yang membuat perencanaan kota menjadi berantakan. Dengan segepok uang, perencanaandiatus agar berpihak ke mereka. Dalam istilah Yayat, rencana tata ruang DKI hanya promarker dan bukan pro-rakyat.
Jakarta akhirnya menjadi kota yang dibangun dengan modal kapital besar-besaran, tapi modal sosialnya nol. Akibatnya masyarakat tidak punya rasa percaya satu sama lain dan tidak ada kehidupan sosial yang lebih baik.
Jakarta menjadi kota yang megah tapi tidak ramah.
Nyaman terproteksi
Memindahkan sebuah ibukota jelas bukan perkara mudah. Biayanya pun tidak murah.
Tapi bukan di situ saja permasalahannya. "Butuh suatu keputusan politik yang kuat dari pemerintah dan DPR,” tegas Paulus yang diamini Yayat dan Herdianto.
Dulu, DPR kabarnya pernah meminta pendapat pendapat kepada sejumlah ahli terhadap wacana ini. Entah bagaimana kabarnya sekarang.
Tapi seandainya megaproyek itu siap bergulir dan akhirnya diputuskan untuk membangun suatu kota yang sama sekali baru, Yayat berharap dilakukan perencanaan yang matang terhadap calon ibukota itu, agar tidak mengulang "kesalahan" Jakarta.
Sebuah kota yang baik, menurut Yayat, idealnya memiliki pengaturan kawasan (zonasi). Ada kawasan khusus perdagangan, penghijauan, pemukiman, olahraga, dan fasilitas lain, yang terencana dan ditata secara baik.
Contoh kota semacam ini bisa dilihat pada kota-kota mandiri yang dibangun pengembang swasta di sekitar Jakarta, salah satunya Lippo Karawaci.
Penduduk kota mandiri itu merasa hidup aman, nyaman, dan tertib karena kota terproteksi dari akses umum.
Untuk dapat masuk ke dalamnya sangat terseleksi sekali. Begitu juga sebuah ibukota, hendaknya bisa diproteksi dari segala kepentingan yang tidak tersangkut langsung dengan fungsinya.
Kota itu tidak terbuka bagi siapa yang datang sekadar mengadu nasib.
Pada zaman Gubernur Ali Sadikin, pertengahan tahun 70-an, sebenarnya Jakarta sudah pernah dinyatakan sebagai kota "tertutup" dengan memberlakukan razia KTP.
Warga pendatang yang tidak jelas pekerjaannya akan dipulangkan. Tapi kebijakan itu rupanya tidak berlanjut.
"Masalah yang mungkin akan timbul di kota yang baru itu adalah sistem tata nilainya. Apakah kota itu bisa dikembangkan dengan memperhitungkan persoalan sosial?" Yayat menyangsikan.
Masalahnya, kita selalu gagal dalam melakukan pencegahan dan penegakan aturan.
Contohnya kawasan Otorita Batam, di Kepulauan Riau, yang sudah diatur sedemikian rupa tapi tak jua luput dari permasalahan sosial, akibat tidak bisa mengendalikan masuknya penduduk ke pulau itu.
Untuk biaya pembangunan sebuah kota, pastilah sangat mahal. Jika diasumsikan satu juta orang yang pekerjaannya terkait dengan pemerintahan saja, Herdianto mengkalkulasi angka kasar paling tidak dibutuhkan Rp46 triliun (ini perkiraan biaya tahun 2008).
Tapi megaproyek skala nasional itu bukan tidak bermanfaat terhadap negeri ini, khususnya terhadap perkembangan ekonomi.
Perpindahan ibukota Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia, tahun 1960, adalah contoh sukses pemerataan pembangunan karena ibukota secara geografis berada di tengah-tengah negara.
Setidaknya dalam pandangan Paulus, perpindahan ibukota dapat menciptakan nukleus baru, sehingga tersedia alternatif kota lain selain Jakarta.
Secara bisnis mungkin saja kota itu tidak menarik, tapi memang sebaiknya sebuah ibukota tidak harus identik dengan pusat aktivitas bisnis yang ramai.
Kondisi ini mirip di negara-negara maju - ibukotanya bukan merupakan kota perdagangan dan bisnis terbesar. Misalnya New York dengan Washington, DC, atau Amsterdam dengan Den Haag.
Letak calon ibukota juga tidak harus dekat dengan pelabuhan, atau artinya bisa saja merupakan daerah pedalaman.
Asalkan infra-struktur cukup memadai, seperti jaringan transportasi darat dan udara serta adanya jaringan telekomunikasi.
Kota ini pun nantinya bisa dijadikan pengembangan hal-hal lain berskala nasional, seperti misalnya Putera Jaya yang merupakan pusat administrasi pemerintahan Malaysia sekaligus merupakan kawasan pengembangan teknologi informasi.
(Baca juga:Rakshitha Kumar, Bocah Berusia Dua Tahun yang Sudah Hafal Nama-nama Ibu Kota 196 Negara di Dunia)
Pilihan ibukota pun bisa mengarah kepada pengembangan kota-kota menengah di Indonesia untuk dikembangkan menjadi pusat pemerintahan.
Misalnya di Palangkaraya, Subang, Sukabumi, atau Magelang. Tapi jika itu dilakukan tanpa konsensus nasional, menurut Yayat, nanti setiap daerah akan berebut untuk menjadi ibukota negara.
Sayangnya tidak semua daerah di Indonesia memiliki kondisi infrastruktur yang sama untuk menjadi sebuah ibukota negara.
Masalah paling mendasar, misalnya pemenuhan kebutuhan energi yang bisa jadi kendala serius.
"Listrik di luar Jawa ini kita tahu sendirilah kondisinya, begitu terbatas," tutur Yayat menunjuk kawasan di Kalimantan dan Sulawesi.
Faktor energi ini tak kalah penting, di samping masalah ketersediaan sarana dan prasarana lain yang masih minim, jika ingin menempatkannya di luar Pulau Jawa.