Sehari-hari, ia di atas pelana mengawasi jalannya perang. Untuk melaporkannya ia harus berhari-hari mengadakan perjalanan ke Rumania.
Pertama-tama ia berkuda ke Sungai Donau. Dari sana lewat jembatan jalan kaki berkilo-kilo meter diatas padang pasir untuk mencapai desa yang pertama.
Dari desa itu ia harus menempuh jarak 80 km dengan pedati kuda kemudian dengan kereta api sejauh 60 km ke Bukares.
Di sana badan kotor hampir tak bisa bergerak dan dalam keadaan itu ia mencoret-coretkan pensilnya. Setelah makan dan tidur, ia segera kembali keperang lagi.
Masih untung kalau tullsannya diluluskan oleh sensor Rusia. Bila tidak ia terpaksa mengirimkannya dengan kuda-ekspress ke pos tilgraf di Hongaria.
“Ini bukan main mahal ongkosnya" keluhnya.
Baca Juga : Masih Ingat Ponsel Mewah Berlapis Emas Merek Vertu? Sempat Bangkrut, Kini Kabarnya akan Dirilis Lagi
Menyabung nyawa
Kehidupan wartawan perang yang penuh petualangan itu memang menarik bagi kaum muda.
Tetapi pekerjaan itu penuh risiko dan bahaya. Lima orang gugur dalam Perang Turki-Serbia, lima orang di Sudan.
Dalam Perang Dunia ke-2, ada korban 20 wartawan Amerika dan 19 wartawan Commonwealth.
Larry Burrows, wartawan dari Life, ditangkap ketika ia pergi ke Konggo, dipukuli dan kehilangan kameranya sampai 4 kali.
Atau Eugene Smith mengambil foto seorang serdadu yang sedang sakratul maut dalam tahun 1945 di Okinawa, sesaat sebelum ia sendiri mendapat luka berat akibat pecahan mortlr.
Dalam pembrontakan Taiping di Tiongkok, seorang wartawan Times ditangkap dan ditembak mati.
Dan di Korea, Ian Morrison, seorang wartawan yang sangat cermat, menemui tewasnya karena menginjak ranjau darat.
Dalam konflik Arab-Israel baru-baru ini seorang jurnalis foto, Paul Schutzer, yang bekerja untuk Life, mati tertembak dalam perjalanannya ke Gaza.
(Kisah tentang wartawan perang ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1968)
Baca Juga : Kalyana Anjani, Jadi Lulusan Termuda ITB di Usia 18 Tahun, Apa Rahasianya?
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR