Advertorial
Intisari-Online.com – Setelah lebih dari dua pekan pasca kasus hilangnya jurnalis Jamal Khashoggi, kini Arab Saudi akhirnya mengakui pria tersebut tewas di dalam gedung konsulat Saudi di Istanbul, Turki.
The Independent mengabarkan seperti dilansir dari kompas.com, pernyataan itu disiarkan melalui saluran televisi yang dikendalikan pemerintah, Al-Akhbariya, pada Sabtu (19/10/2018), dengan mengutip hasil penyelidikan awal dari jaksa penuntut umum.
Namun, otoritas Saudi mengklaim Khashoggi tewas karena bertikai dengan orang-orang yang ditemuinya di gedung konsulat pada 2 Oktober 2018.
"Pembicaraan antara Jamal Khashoggi dan orang-orang yang ditemuinya di konsulat kerajaan di Istanbul, berubah menjadi pertikaian, yang menyebabkan kematiannya," demikian laporan dari Saudi Press Agency, mengutip jaksa penuntun umum.
Baca Juga : Pembunuhan dan Mutilasi Jamal Khashogi: Wartawan di Seluruh Dunia Sedang 'Diserang'
Diwartakan AFP, Kerajaan Saudi juga mengumumkan sejauh ini ada 18 orang yang telah ditangkap dalam penyelidikan yang sedang berlangsung.
Selain itu, pemerintah juga memecat pejabat tinggi intelijen Ahmad al-Assiri dan penasihat media istana Saud al-Qahtana.
Kedua orang tersebut merupakan pembantu utama Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman.
Diketahui Jamal Khashoggi meniti karier sebagai seorang reporter ketika dia sudah berteman dengan Osama bin Laden.
Sampai kemudian menjadi pembangkang terkemuka Arab Saudi yang harus meninggalkan negaranya.
Dari luar negeri, dia menyebarkan pandangan kritis terhadap pemerintah Saudi lewat kolomnya di koran Amerika Serikat, Washington Post, dan akun Twitternya yang sangat populer dengan lebih 1,6 juta pengikut.
Pria berumur 59 tahun ini memulai kariernya sebagai wartawan di Arab Saudi setelah lulus dari sebuah universitas Amerika di tahun 1985.
Kematian Khashoggi jelas sesuatu yang menghebohkan. Namun nyatanya kematian seorang wartawan bukanlah sesuatu yang baru.
Sebab jauh sebelum Khashoggi, ada banyak wartawan yang gugur. Terutama saat menjalankan tugasnya.
Dari berbagai wartawan, wartawan peranglah yang paling banyak gugur.
Baca Juga : Ingat Kasus Kekerasan terhadap Etnis Rohingya? Wartawan yang Menyelidiki Kasus Itu Kini Bernasib Malang
Kisah wartawan perang
Banyak peristiwa yang menegangkan dan hal-hal yang menarik dalam kehidupan para wartawan perang dan sejarah kewartawanan perang pada umumnya.
Sementara orang menganggap bahwa mengcover perang tidaklah sukar bahkan paling gampang dibidang jurnalistik.
Foto-foto perang mudah menangkap hati manusia. Obyeknya sendiri sudah "sensasionil" dan penuh “horor".
Ini melayani selera akan ha-hal yang mengerikan, di samping mengetuk hatl manusia yang jijik melihat ribuan orang mencekam, serta membunuh sesama manusia dalam perang yang kejam.
Namun kewartawanan perang bakanlah kedudukan yang paling enak dan seringkali kurang mendapat penghargaan.
Banting tulang, mengemis makanan
"Tempat itu penuh jasad hidup membusuk. Belakangan ini saya tidur dalam suatu gubug yang sudah ambleg, di mana telah dikuburkan sebuah mayat."
"Hanya beberapa sentimeter tanah menjadi pemisah antara kepalaku dan kepalanya. Dan satu setengah meter dari pintu gubug terdapatlah kuburan dangkal tiga serdadu..”
Begitu cerita William Howard Russel tentang kondisi hidupnya sewaktu mengcover perang Krim (1853-56).
Perintis wartawan perang dariThe Timesitu harus berjuang mati-matian untuk mencapai medan perang.
Baginya tak ada pengakuan, tak ada status dikalangan tentara. Segalanya harus dia urus sendiri. Dari mencari kuda, kereta, sampan, kapal uap, senjata, atau makanannya sendiri.
Baca Juga : Nasib si ‘Kuda Liar’ Sarah Ferguson Sahabat Putri Diana: Pernah Dimarahi dan Dimusuhi Ratu
Tetapi kisah-kisah yang didapatnya bisa mengimbangi jerih payahnya.
Sungguh mengharukan tulisannya tentang Rumah Sakit Rusia di Sebastopol, di mana orang-orang yang dalam sakratul maut dicampur saja dengan mayat-mayat.
Atau penderitaan prajurit-prajurit yang terluka, soal makanan, W.C., pengangkatan dan penguburan mereka yang gugur, itulah thema-themanya yang menggerakkan hati.
Tokoh perintis lain yang merasakan pahit getirnya wartawan perang adalah Archibald Forbes.
Ia berlayar ke Bulgaria ketika Russia menyerang negara itu dalam perang Rusia-Turki tahun 1877.
Sehari-hari, ia di atas pelana mengawasi jalannya perang. Untuk melaporkannya ia harus berhari-hari mengadakan perjalanan ke Rumania.
Pertama-tama ia berkuda ke Sungai Donau. Dari sana lewat jembatan jalan kaki berkilo-kilo meter diatas padang pasir untuk mencapai desa yang pertama.
Dari desa itu ia harus menempuh jarak 80 km dengan pedati kuda kemudian dengan kereta api sejauh 60 km ke Bukares.
Di sana badan kotor hampir tak bisa bergerak dan dalam keadaan itu ia mencoret-coretkan pensilnya. Setelah makan dan tidur, ia segera kembali keperang lagi.
Masih untung kalau tullsannya diluluskan oleh sensor Rusia. Bila tidak ia terpaksa mengirimkannya dengan kuda-ekspress ke pos tilgraf di Hongaria.
“Ini bukan main mahal ongkosnya" keluhnya.
Baca Juga : Masih Ingat Ponsel Mewah Berlapis Emas Merek Vertu? Sempat Bangkrut, Kini Kabarnya akan Dirilis Lagi
Menyabung nyawa
Kehidupan wartawan perang yang penuh petualangan itu memang menarik bagi kaum muda.
Tetapi pekerjaan itu penuh risiko dan bahaya. Lima orang gugur dalam Perang Turki-Serbia, lima orang di Sudan.
Dalam Perang Dunia ke-2, ada korban 20 wartawan Amerika dan 19 wartawan Commonwealth.
Larry Burrows, wartawan dariLife, ditangkap ketika ia pergi ke Konggo, dipukuli dan kehilangan kameranya sampai 4 kali.
Atau Eugene Smith mengambil foto seorang serdadu yang sedang sakratul maut dalam tahun 1945 di Okinawa, sesaat sebelum ia sendiri mendapat luka berat akibat pecahan mortlr.
Dalam pembrontakan Taiping di Tiongkok, seorang wartawanTimesditangkap dan ditembak mati.
Dan di Korea, Ian Morrison, seorang wartawan yang sangat cermat, menemui tewasnya karena menginjak ranjau darat.
Dalam konflik Arab-Israel baru-baru ini seorang jurnalis foto, Paul Schutzer, yang bekerja untukLife,mati tertembak dalam perjalanannya ke Gaza.
(Kisah tentang wartawan perang ini pernah dimuat di MajalahIntisariedisi Januari 1968)
Baca Juga : Kalyana Anjani, Jadi Lulusan Termuda ITB di Usia 18 Tahun, Apa Rahasianya?