Advertorial
Intisari-Online.com – Yang bisa dijumpai memang bukan Pol Pot dalam pribadi, tetapi apa yang dilakukan regim Pol Pot selama ini. Pho Phorn merupakan salah seorang pelaku dan korban rezim yang bengis itu.
Mari kita simak tulisan Rolf Bokemeier, Mencari Pol Pot di Tuel Sleng, yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 1986 berikut ini.
Kegelapan dan kesunyian menyelimuti Kota Phnom Penh. Jam malam mulai berlaku pada pukul 21.00. Jalan-jalan kosong dan lampu-lampu padam.
Ibu kota Kamboja bagaikan kota mati. Namun, suasana di siang hari juga tak jauh berbeda dengan malam hari.
Lalu-lintas lebih banyak dipenuhi sepeda yang tidak berisik daripada kendaraan bermotor.
Tambahan lagi, orang-orang yang berada di tempat umum hanyalah orang-orang yang berani. Soalnya, orang masih takut disangka mata-mata, walaupun zaman rezim Pol Pot sudah berlalu.
Baca Juga : Makan Tikus Hidup untuk Bertahan, Berikut Lima Kengerian Rezim Khmer Merah Kamboja
Kebiasaan hidup dalam situasi normal, penuh kedamaian serta bebas dari kekerasan masih sulit diterapkan.
Masuk secara legal ke Kamboja pun memerlukan usaha yang ulet dan kesabaran. Lebih-lebih kalau orang yang mau meninjau ke sana itu adalah orang yang berasal dari negara Barat.
Orang akan terkejut kalau berjalan- jalan di ibu kota Kamboja yang dulunya terkenal cantik.
Puing-puing berserakan di jalan-jalan raya, bekas-bekas tembakan tampak di muka gedung-gedung, lubang bekas bom menghiasi halaman.
Kanak-kanak tampak mencari sesuatu di antara puing-puing. Wanita-wanita banyak yang berbaju kelonggaran, sedangkan prianya yang jumlahnya kurang dari wanita banyak yang berpakaian compang-camping, berjongkok di depan waning makanan.
Baca Juga : Khmer Merah yang Ingin Dirikan Negara Komunis Radikal Justru Digulingkan Vietnam yang Pernah Membantunya
Kalau ditanya soal rencana masa depan, mereka akan menjawab, "Yang penting, kami telah berhasil mengusir Pol Pot."
Museum "Pol Pot"
Pol Pot. Selalu nama itu yang dibicarakan. Padahal, tidak semua orang pernah melihatnya dengan mata kepala sendiri. Pol Pot seperti hantu.
Kata mereka, kalau mau melihat "sang hantu" kita harus pergi ke Tuel Sleng.
Di Tuel Sleng ada sebuah penjara rezim Pol Pot yang saat ini dijadikan semacam museum.
Sepuluh tahun yang lalu, gedung yang tadinya berfungsi sebagai sekolah putri itu diubah oleh para algojo Pol Pot menjadi tempat penyiksaan. Kini bekas-bekas kekejaman itu tidak dihilangkan.
Di situ masih ada alas tempat tidur dari besi dan percikan darah yang sudah mengering yang dicat kembali. Rantai duri terjuntai di bagian kepala, seolah-olah orang baru saja menariknya dari seorang korban.
Baca Juga : Tragisnya Kisah Pangeran Sihanouk yang Kelima Anaknya Dibantai Khmer Merah Pimpinan Pol Pot
Lalu, di bawah sebuah peringatan yang tergantung di dinding yang berbunyi "tidak perlu menjerit kalau dipecut atau dilistrik" terletak cambuk dan accu.
Di ruang lain ada ribuan foto para algojo berikut berkas-berkas tentang korban yang ditemukan di situ. Teror menguasai seluruh stasiun penyiksaan itu.
Urut-urutan peristiwa diperlihatkan lewat lukisan cat minyak berukuran besar yang dibuat oleh tujuh orang korban penyiksaan yang berhasil bertahan hidup dari 14.499 korban. Selain itu masih ada lukisan yang dibuat dengan pensil.
Dalam lukisan-lukisan itu digambarkan seorang pria yang kakinya digantung, sedangkan kepalanya ditenggelamkan ke tong penuh air.
Seorang pria lain dijepit dengan tang panas, sehingga dagingnya mengelupas dan berdarah.
Baca Juga : 7 Fakta Menarik Kamboja, Negara dengan Raja yang Jago Menari Balet
Pria yang ketiga, telanjang dengan tangan terbelenggu, tergeletak di tanah sambil dicambuki punggungnya oleh empat algojo rezim Pol Pot.
Namun, peristiwa yang paling mengerikan adalah seorang ibu yang harus menyaksikan suaminya yang sedang memegang bayinya dibenturkan ke pohon kelapa.
Ya, memang benar, di Tuel Sleng kita bisa "bertemu" Pol Pot.
Namun, yang masih jadi tanda tanya, mengapa Pol Pot dengan pasukan Khmer Merahnya memburu bangsahya sendiri, menyiksanya, dan membunuhnya secara masal?
Korban Pol Pot mungkin ada kira-kira dua atau tiga juta jiwa. Mereka itu bukan dari golongan ras minoritas atau agama, juga bukan merupakan lawan yang aktif. Siapakah Pol Pot dan komando pembantaiannya?
Bagaimanakah ia sampai bisa berkuasa mulai dari 17 April 1975 - 7 Januari 1979?
Pejabat kementerian luar negeri pemerintah Kamboja yang sekarang yang berpihak pada Vietnam pun tidak tahu jawabannya.
Baca Juga : Dubes RI untuk Kamboja Ini Justru Tahu dari Dubes China jika pada 1 Oktober 1965 Terjadi Kup di Jakarta
Yang diketahui cuma: Pol Pot bersama-sama dengan empat orang mahasiswa sudah sejak tahun 1953 mendirikan organisasi oposisi terhadap pemerintah Kerajaan Kamboja. Mereka berkedudukan di Paris.
Kiblat mereka adalah Partai Komunis Vietnam di bawah Ho Chi Minh. Gerakan pemberontakan mereka makin menjadi-jadi, walaupun pada tahun 1969 Ho Chi Minh meninggal.
Ikat kepala sebagai alat pembunuh
Ketika Pangeran Norodom Sihanouk digulingkan oleh jenderalnya, Lon Nol, Pol Pot mulai beraksi bersama pasukan Khmer Merahnya.
Saat itu adalah tahun 1970. Lon Nol bersama pasukannya yang merupakan boneka Amerika dibantai Khmer Merah.
Pol Pot bahkan mempersenjatai para petani yang tadinya tak pernah ikut apa-apa. Seorang pemuda yang ikut Khmer Merah, Pho Phorn, bercerita tentang situasi saat itu di Kompong Speu, sebelah barat Phnom Phen, yang merupakan bekas dari salah satu tempat pembantaian atau killing field.
Baca Juga : Saat Kunjungan Pertamanya sebagai Presiden RI, Soeharto Justru Disuguhi Tari 'Genjer-genjer' di Kamboja
Pho yang waktu itu baru berumur 15 tahun berkata, "Para prajurit Lon Nol itu pengecut. Mereka membakari rumah-rumah, memperkosa wanita, dan menembaki orang tua. Mereka menyerbu desa-desa yang melakukan kerja sama dengan kami. Dengan tangan telanjang, kami menangkapi mereka satu-persatu dan mencekiknya."
Tentu saja dengan ikat kepala berwarna merah yang di samping warnanya yang mengandung unsur politis, ikat itu juga berfungsi sebagai penutup kepala, ikat leher, alas tidur, atau alat pembunuh yang tak menimbulkan suara.
Melihat semua itu, Amerika tidak tinggal diam. Presiden Nixon memerintahkan untuk mengebom Kamboja dengan dibantu pasukan Vietnam Selatan dan Muangthai. Kira-kira 500.000 ton bom dijatuhkan di Kamboja sampai tanggal 15 Agustus 1973.
Bom-bom itu menghujani pasar, pagoda, dan pasukan pemerintah Lon Nol. Namun, bom-bom itu jarang mengenai pasukan gerilya Khmer Merah yang suka beroperasi secara kilat dari dalam hutan.
Baca Juga : Ketika Perang Vietnam, Benarkah Gerilyawan Viet Cong Takut Kegelapan?
"Kami berhasil merampas kode rahasia mereka," kata Pho Phorn. "Dengan cara itu, kami mengirim laporan yang salah tentang kedudukan kami kepada stasiun radar Amerika. Akibatnya, mereka menghujani bom ke orang mereka sendiri dan orang-orangnya Lon Nol."
Orang Kamboja terpaksa menyaksikan kehancuran negeri mereka tanpa kuasa berbuat apa-apa. Mereka sama sekali tidak tahu tentang percaturan politik di Washington, Beijing, Moskwa, dan Hanoi.
Mereka hanya tahu satu hal: Lon Nol dan pemerintahannya yang mendukung pengeboman terhadap rakyat oleh kekuasaan asing harus ditumpas.
Rakyat hanya tahu bahwa hal itu cuma bisa dilakukan oleh Khmer Merah, tak peduli apakah mereka suka atau tidak kepada Khmer Merah.
Baca Juga : Orang-orang Sebuah Kampung di Vietnam Ini Tega Memotong Ekor Gajah, Hanya untuk Alasan 'Konyol'
Maka pada tanggal 17 April 1975, dua minggu sebelum Saigon jatuh, pasukan Khmer Merah masuk ibu kota Kamboja dan Saloth Sar alias Pol Pot mengambil alih kekuasaan di Phnom Penh.
Kemudian terjadilah hal-hal yang mengerikan. Pol Pot melakukan operasi "pembersihan" secara paksa. Banyak orang "diciduk" dan dikirim ke Provinsi Battambang.
Provinsi itu tadinya merupakan gudang beras negara, tapi kini fungsinya berubah menjadi "tempat latihan" demi terciptanya masyarakat baru.
Menikah diam-diam.
Di manakah Pho Phorn saat itu berada? "Saya ditugaskan di lapangan terbang selama kurang lebih tiga bulan," katanya. Apakah ia tidak menyadari peristiwa-peristiwa kejam yang terjadi di sekelilingnya?
"Tidak, kami cuma berjaga. Kami tidak tahu apa-apa tentang Pol Pot dan tindakannya." Pho Phorn pun hanya sekali melihat Pol Pot dan itu pun lewat film propaganda.
Sejak Pol Pot berkuasa, Kota Phnom Penh berubah menjadi kota mati. Kamboja dibagi menjadi tujuh wilayah. Dimulai dengan Provinsi Battambang, negeri itu hendak diubah menjadi negeri agraris kuno.
Untuk bisa mencapai tujuannya, ia tidak hanya menghancurkan kebudayaan yang sudah mapan dan ekonomi rakyat yang aneka ragam, tetapi ia juga merobohkan bangunan-bangunan yang sudah ada.
Bangunan-bangunan itu misalnya bank-bank, pagoda-pagoda, istana-istana, dan sekolah-sekolah. Uang pun segera dicabut dari peredaran, mobil-mobil dibakar, demikian juga buku- buku.
Namun demikian, mengubah ideologi orang secara tuntas dalam sekejap memang sulit. Pol Pot mendapat perlawanan, ketika ia dan orang-orangnya mulai menghancurkan tempat-tempat suci agama Buddha. Para biksu berbaju kuning mulai melakukan perlawanan dengan nama Angka Leeu.
Baca Juga : Kalah dalam Perang Vietnam, AS Terpaksa Buang Puluhan Helikopter ke Laut, Kenapa?
Pho Phorn mulai melanggar doktrin anti keluarganya Pol Pot. Ia mengawini seorang gadis dari Prey Veng secara sembunyi-sembunyi. Ia bersama keluarganya melarikan diri ke Kompong Speu.
Para tetangga menangkapnya. Ia ditahan sampai muncul invasi pasukan pada bulan Januari 1979. Kemudian pasukan itu menyerahkan dirinya kepada tentara Vietnam.
Tiga hari sesudahnya, ia bisa melarikan diri dan menitipkan anak dan istrinya pada orang tuanya. Dua tahun lamanya, ia menyembunyikan diri di hutan. Dirinya diliputi beban dan rasa takut dieksekusi seperti korban-korban Khmer Merah.
Pada awal tahun 1982, ia dikenali seorang pengawas jalan dari pemerintah militer Kamboja yang baru. Ia pun dimasukkan ke kamp penggemblengan seperti rekan-rekannya yang lain. Ia merasa hidup di dunia baru.
"Saya seharusnya dibebaskan pada tahun baru Buddha tanggal 13 April 1984 dan boleh pulang ke keluarga saya. Namun, tiga hari sebelumnya, pasukan Khmer Merah menyergap kamp dan membawa kami sampai ke dekat perbatasan Muangthai, ke salah satu sarang perlawanan mereka terhadap Kamboja yang dikuasai Vietnam saat ini."
Baca Juga : Tak Ada Tempat Latihan, Timnas U-23 Vietnam Terpaksa Latihan di Jalanan dan di Pabrik