Advertorial

Dubes RI untuk Kamboja Ini Justru Tahu dari Dubes China jika pada 1 Oktober 1965 Terjadi Kup di Jakarta

Moh Habib Asyhad

Penulis

Tiba-tiba di tengah acara resepsi yang sedang berlangsung, duta besar China memberitahu kepada Boediardjo jika di Jakarta sedang ada kudeta.
Tiba-tiba di tengah acara resepsi yang sedang berlangsung, duta besar China memberitahu kepada Boediardjo jika di Jakarta sedang ada kudeta.

Intisari-Online.com -Ketika 1 Oktober 1965 di Indonesia terjadi Gerakan 30 September para pejabat tinggi di dalam negeri, bahkan Presiden Soekarno, belum tahu persis apa yang sedang terjadi.

Bung Karno baru tahu ada aksi penculikan disertai pembunuhan para Jenderal TNI AD ketika berada di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, menjelang siang hari.

(Baca juga:Kesehatan Bung Karno Makin Merosot Pasca-Gestapu, Rakyat Jawa Timur Sebenarnya Mau Membantu tapi Ia Menolaknya)

Tapi China yang saat itu merupakan negara komunis dan punya hubungan dekat dengan Indonesia ternyata sudah tahu jika pada 1 Oktober 1965 dini hari terjadi kup di Jakarta.

China bahkan mendefinisikan aksi ini sebagai “gerakan kudeta” dan langsung memberitakan peristiwa kelam itu kepada para duta besarnya yang berada di luar negeri.

Sepanjang hari 1 Oktober 1965, ketika suasana di Indonesia sedang diliputi ketegangan tingkat tinggi, para duta besar RI di luar negeri masih tampak tenang-tenang saja.

Pada 1 Oktober 1965 malam, duta besar RI untuk Kamboja, Marsekal Muda Boediardjo, menghadiri acara resepsi Hari Nasional Republik Rakyat China, di kediaman duta besar China untuk Kamboja.

Tiba-tiba di tengah acara resepsi yang sedang berlangsung, duta besar China memberitahu kepada Boediardjo jika di Jakarta sedang ada kudeta.

Boediardjo pun buru-buru pulang meninggalkan resepsi dan bersiap-siap terbang ke Indonesia pada keesokan harinya.

Dari berita yang disampaikan oleh duta besar China, Boediardjo juga terkejut karena AURI bahkan dituduh telah terlibat dalam gerakan yang umum disebut Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) itu.

Pada 3 Oktober dengan menggunakan penerbangan Garuda Indonesia paling terakhir, Boediardjo pun terbang ke Indonesia.

Tapi rupanya intel di dalam negeri sudah mendeteksi jika Boediardjo yang juga “orang AURI” akan pulang ke Indonesia. Ketika pesawat sudah berada di atas udara bandara Kemayoran, proses pendaratannya ternyata dipersulit.

Sekitar satu jam pesawat baru diperbolehkan mendarat tapi para penumpangnya ternyata belum boleh meninggalkan bandara.

Para petugas bandara setelah mengetahui kedatangan Boediardjo segera melapor ke Kostrad, sekaligus menahan Boediardjo.

Saat itu situasi bandara Kemayoran memang berada di bawah penjagaan ketat pasukan Kostrad demi mengantisipasi segala kemungkinan terkait peristiwa 1 Okteober 1965.

(Baca juga:Saat Kunjungan Pertamanya sebagai Presiden RI, Soeharto Justru Disuguhi Tari 'Genjer-genjer' di Kamboja)

Tak lama kemudian muncul Kepala Staf Kostrad, BrijenTjokropranolo (kelak menjadi Gubernur DKI), yang kemudian menemui Boediardjo.

Karena Tjokropranolo merupakan teman dekat Boediardjo dan juga masih saudara, Boediardjo pun bisa keluar dari bandara Kemayoran dengan aman.

Meskipun Boediardjo sudah mendapat penjelasan dari Tjokropranolo mengenai G30S dan ada kemungkinan keterlibatan AURi, ia belum puas jika tidak mendapatkan penjelasan langsung dari KSAU, Omar Dhani dan Bung Karno sendiri.

Artikel Terkait