Kematian Cheick Tiote: Bahaya Sindrom Kematian Mendadak, Pembunuh Diam para Pesepak Bola

Ade Sulaeman

Editor

Chieck Tiote
Chieck Tiote

Intisari-Online.com - Kematian mantan pemain Newcastle United Cheick Tiote menambah daftar pemain sepak bola yang meninggal dunia saat sedang berlatih atau bertanding.

Pada 8 Agustus 2009, kapten Espanyol yang masih berusia 26 tahun, Daniel Jarque, meninggal dunia setelah mengalami serangan jantung saat latihan.

Dua tahun sebelumnya, rekan senegaranya, Antonio Puerta dari Sevilla, ambruk di paruh pertama saat timnya melawan Getafe di Liga Spanyol. Tiga hari kemudian, pemuda 22 tahun menghembuskan napas terakhirnya.

Ada juga kematian mengejutkan gelandang Marc-Vivien Foe yang mengalami serangan jantung saat bermain untuk Kamerun.

Terakhir di Skotlandia, penggemar Motherwell berkabung atas meningganya kapten klub, Phil O’Donnell pada 2007.

Melihar serentetan kasus meninggalnya pemain sepakbola ini, para penggemar bertanya-tanya, bagaimana seorang pria yang dalam kondisi prima bisa berhadapan dengan kasus yang biasanya terkait dengan penuaan dan obesitas.

(Baca juga: Cheick Tiote Meninggal saat Latihan, Inilah Daftar Pemain Sepak Bola yang Tewas saat Bermain dan Belatih)

(Baca juga: Cegah Kematian Mendadak dengan Mengenali 9 Tanda Penyakit Jantung Ini)

(Baca juga: Inilah Aneurisma, Penyebab Kematian Mendadak yang Menimpa Reynaldo Arvel)

Dr. Sanjay Sharma dari European Society of Sport Cardiology (ESSC) menjelaskan para pesepakbola ini semua menderita Sudden Death Syndrome (SDS) atau “Sindrom Kematian Mendadak”.

SDS adalah istilah umum untuk berbagai kondisi jantung yang menyebabkan serangan jantung pada orang yang masih muda.

Kondisi SDS bisa jauh lebih fatal bila dikombinasikan dengan latihan fisik yang berat. “Hanya 20% kasus yang menunjukkan gejala. Sementara 80% lainnya langsung berhadapan dengan kematian,” jelas Sharma.

Andy Scoot, mantan striker tim Inggris Sheffield United dan Leyton Orient, adalah satu dari sedikit pemain profesional yang bisa mendeteksi kondisi SDS sebelum sindrom ini membunuhnya.

Dia menderita kardiomiopati hipertrofik, penyakit yang menyebabkan otot jantung berkembang secara signifikan dan merupakan salah satu penyebab paling umum kematian di kalangan profesional olahraga muda.

Pada saat berusia 32 tahun, Scoot mengaku mengalami kelelahan dan kesulitan bernapas saat pertandingan.

“Saya hampir tidak bisa merasakan kaki saya. Tapi saya hampir berhasl mengatasinya dibabak pertama. Setelah pertandingan saya pergi menemui ahli jantunf dan kemudian diberitahu bahwa karir sepakbola saya sudah berakhir,” ucap Scoot kepada CNN.

Bagi beberapa orang yang mengalami gejala, seperti nyeri dada, kesulitan bernapas, dan pusing, belum bisa dibilang menderita sindrom ini.

Alison Cox, kepala eksekutif Risiko Jantung Inggris dan Risiko Jantung Muda, khawatir jika atlet menghadapi masalah tertentu.

“Dokter sering lupa pada gejala seperti ini karena pesepakbola masih muda, sehat, dan tidak memakai narkoba,” kata Cox. Atau mereka sendiri akan berpikir, “Ah tidak apa-apa. Sakit ini akan hilang sebentar lagi”.

Dr. Sharma juga mengatakan bahwa kurangnya keahlian di Eropa menjelaskan mengapa beberapa pemerintah enggan melakukan skrining wajib bagi semua olahragawan profesional.

Ketika badan sepakbola Eropa, UEFA, sangat menyarankan hal ini, namun keputusan dan prosedur tergantung kepada masing-masing negara.

Di Italia misalnya, semua pemain harus memberikan sertifikat kesehatan yang mencakup tes untuk SDS. Sementara di Spanyol tidak berlaku peraturan yang sama.

Pada akhirnya, Dr. Sharma mengatakan bahwaSDS sangat dapat diobati. Hanya memerlukan sedikit perubahan pada gaya hidup seperti menghindari pengerahan tenaga dan tekanan secara sigifikan untk mengurangi kemungkinan kematian.

Artikel Terkait