Intisari-Online.com - Rupiah terus melemah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Bahkan sejumlah bank telah menjual mata uang tersebut di level Rp15.000 per dollar AS.
Kondisi itu kemudian menimbulkan anggapan bahwa fundamental ekonomi dalam negeri saat itu lebih buruk dari 1998. Lantas, bagaimana faktanya?
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memastikan depresiasi rupiah yang terjadi saat ini berbeda dengan depresiasi rupiah ketika 1998 silam.
"Pelemahan rupiah tahun ini dibandingkan 1998 yg anjloknya 80 persen dari Rp 2.500 secara tiba-tiba ya sangat jauh ya. Selain itu, waktu itu juga tidak ada kenaikan gaji sehingga daya beli masyarakatnya menurun dan harga-harga melonjak tinggi," kata David saat dihubungi Kompas.com, Selasa (4/9/2018).
David menambahkan, meski ada pelemahan sepanjang lebih dari satu semester, tahun ini juga diiringi dengan kenaikan gaji dan harga-harga yang cukup terjaga.
Baca Juga : Kerbau Bule Kiai Slamet yang Diarak di Malam 1 Suro, Kotoran dan Kutunya pun Diburu karena Dianggap Sakti
Sementara itu Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyatakan bahwa kondisi fundamental perekonomian Indonesia saat ini sangat berbeda dengan fundamental perekonomian Indonesia 20 tahun lalu.
Pada periode tersebut, krisis di Indonesia diawali oleh krisis mata uang Thailand bath dan ditambah buruk dengan pengelolaan utang luar negeri swasta yang tidak hati-hati lantaran sebagian utang tersebut tidak mendapatkan lindung nilai.
Selain itu, penggunaan utang jangka pendek untuk pembiayaan usaha jangka panjang dan penggunaan utang luar negeri untuk pembiayaan usaha domestik turut memperparah kondisi fundamental ekonomi dalam negeri terpuruk.
"Krisis utang swasta tersebut yang kemudian mendorong tekanan pada rupiah di mana tingkat depresiasinya mencapai sekitar 600 persen dalam kurun waktu kurang dari setahun, dari Rp 2.350 per dollar AS menjadi Rp 16.000 per dollar AS," ujar Josua.
Baca Juga : Shezy Idris Gugat Cerai Suami: Ini 8 Alasan Utama Istri Ingin Menceraikan Suaminya
Josua menambahkan, kondisi itu sangat berbeda dengan saat ini. Menurut dia, pengelolaan utang luar negeri swasta cenderung lebih berhati-hati dimana Bank Indonesia (BI) juga sudah mewajibkan transaksi lindung nilai bagi korporasi dalam rangka mengelola risiko nilai tukar.
"Pengelolaan yang lebih baik dari utang luar negeri swasta terlihat dari pertumbuhan utang jangka pendek yang cenderung rendah. Dalam jangka pendek, BI akan tetap mengelola stabilitas nilai tukar rupiah dengan melakukan dual intervension di pasar valas dan pasar obligasi," terangnya.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR