Ya, hanya mie instan selama 9 tahun di gubuk kecil, memasaknya di atas tungku dengan kayu-kayu kering.
Mungkin kita tahu namanya rawa, tak ada air bersih tersedia. Namun Allah Maha Adil, 20 meter dari gubuk Fatimah, ada sumber air bersih dan jernih.
Ia minum dan mandi di sana tanpa penghalang dan MCK yang layak. Sulit dipercaya ada sumber di sana, namun inilah kuasa Allah.
Kita beruntung bisa bertemu Fatimah.
Bukan dia yang butuh bantuan kita, namun kitalah yang butuh dia untuk menjalankan kewajiban kita sebagai manusia yang punya cinta.
Bisa saja Tuhan menunjukkan pada orang lain tentang Fatimah.
Namun kali ini Tuhan memilih kita mendengar kisah Fatimah dan ibunya.
Bukan tanpa alasan, Sang Pencipta mempercayakan Fatimah pada kita karena kita mampu untuk peduli.
Fatimah mengajarkan pada kita bahwa bahagia tak harus selalu mewah.
Dalam kesederhaaan hidup, bahagia yang sebenernya itu ada.
Saya bersama Dompet Sosial Madani (DSM) bulan lalu menyalurkan bantuan hidup sekadarnya dan komitmen untuk beasiswa hingga ia sarjana.
Semua itu tak akan terwujud tanpa adanya kebersamaan orang baik seperti kita.
Rencana kedepan DSM untuk Fatimah dan ibunya, selain program beasiswa, dan biaya hidup, adalah relokasi tempat tinggal dan pemberdayaan ekonomi.
Bagaimana nantinya keluarga ini bisa direlokasi, pindah ke tempat yang lebih layak.
Selanjutnya, pelatihan pemberdayaan ekonomi agar Bu Nur memiliki penghasilan dari usaha, sehingga menjadi keluarga mandiri dan sejahtera.
Tak ada waktu terbaik dalam membantu sesama. Waktu terbaik adalah sekarang kita bertindak untuk kebaikan.
Terlebih bulan ini adalah Bulan Ramadan, bulan mulia bagi umat Islam. Apapun kebaikan yang dilakukan akan dilipatgandakan. Saatnya Bersama Peduli Sesama.
(Penulis: Yayasan Dompet Sosial Madani Bali, Call Center DSM Bali: 081237671819)
Artikel ini sudah tayang di tribunnews.com dengan judul “Kisah Fatimah dan Ibunya, Hidup di Pinggir Rawa, 9 Tahun Hanya Makan Mie Instan”.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR