Suasana ketakutan memang lahan yang subur bagi berkembangnya isu, yang pada gilirannya semakin meningkatkan kadar ketakutan warga.
"Di puncak ketegangan, untuk menjaga segala kemungkinan saya mempersiapkan diri dan seluruh staf rumah tangga untuk kabur. Berulang-ulang saya beri tahukan prosedur yang dilakukan anak saya seandainya keadaan memaksa kami kabur," kisah Lilian.
(Baca juga: Lorong Masa: Krisis Moniter 1998, Satwa pun Rasakan Imbasnya)
la juga berprinsip, betapapun indahnya, mahalnya, langkanya, atau saratnya kenangan, harta benda yang mereka miliki tak seberapa nilainya dibandingkan dengan nyawa orang-orang yang mereka kasihi.
"Saat itu saya dihadapkan pada cermin yang jujur tentang diri sendiri. Di dalam tas darurat itu terdapat Kitab Suci, kamera foto dan video, kaset-kaset rekaman pertumbuhan kedua anak kami, di samping dua setel pakaian ala kadarnya," ungkap Lilian.
Setelah krisis berlalu, ia baru menyadari, paspornya masih tersimpan rapi di lemari.
Istrinya tak pulang
"Kamis kelabu itu saya tetap masuk kantor. Dari lantai lima gedung kantor, saya bisa melihat asap hitam mengepul dari sejumlah titik pusat kerusuhan di Jakarta Barat. Dari laporan radio swasta saya tahu, massa yang berkerumun di sekitar kampus Universitas Trisakti yang sedang berkabung mulai membakar kantor stasiun pompa bensin di seberang kampus itu, dan bergerak ke arah barat sambil merusak sejumlah deretan pertokoan di Jl. Daan Mogot," tutur Suyanto (34).
Tampaknya pengaruh kerusuhan di kawasan itu mulai berdampak terhadap situasi lalu lintas jalan yang berasal atau menuju kawasan yang dilanda kerusuhan itu. Berangsur-angsur jalanan di seputar kantor tempatnya bekerja jadi lengang.
Apalagi ketika deretan pertokoan di dekat kantornya yang berjarak sekitar 2 km dari kerusuhan itu mulai dilanda kerusuhan dan penjarahan pula.
"Melihat perkembangan situasi yang makin mengkhawatirkan itu, saya memutuskan pulang lebih awal," kata Yanto.
Saat dalam perjalanan pulang ke kawasan Jatiasih, Bekasi (sekitar 35 km dari Jakarta), menurut Yanto, pengaruh itu semakin tampak. Ribuan calon penumpang berderet di tepi-tepi jalan menunggu angkutan umum yang saat itu menjadi barang langka.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR