Intisari-Online.com – "Hari Kamis itu saya dan suami memutuskan tidak ke kantor setelah dua hari sebelumnya lalu lintas di beberapa ruas jalan kacau dan keamanan pengguna jalan tidak terjamin akibat kerusuhan,” kata Lilian (41), yang tinggal di kompleks perumahan Kelapa Gading, Jakarta Timur.
Namun ia terus mengikuti perkembangan situasi ibu kota lewat siaran radio. Beritanya tidak makin menenteramkan tapi justru membuat mereka tegang.
(Baca juga: Terkurung di Gedung: Catatan yang Tersisa dari Kerusuhan Mei 1998)
Apalagi sekitar pukul 10.00 tersiar kabar penjarah dari arah Tanjungpriok, Jakarta Utara, sudah masuk ke kompleks Perumahan Kelapa Gading lewat pintu Sunter.
“Saya diberi tahu oleh tetangga depan rumah agar berhati-hati karena ada beberapa mobil terparkir di depan rumah mereka,” tutur ibu yang berputra dua ini. Tak berapa lama terpampang papan darurat bertulisan cat putih yang dibuat tergesa-gesa.
"Pri-bu-mi, begitu anak saya yang baru bisa membaca mengejanya. 'Apa sih pribumi itu? Apa kalau pribumi tidak akan diserang?' tanya anak saya. 'Mungkin,' jawab saya meski dalam hati mencuat kegetiran: di mana pembenarannya andaikan rumah kami hancur hanya karena tidak terpampang papan semacam itu sementara rumah tetangga kami itu utuh?" ucap Lilian.
Kaum pria penghuni kompleks yang tadinya tidak saling kenal, sejak itu tampak menyatu lewat kegiatan siskamling. "Tiba-tiba saja suami saya jadi lebih akrab dengan tongkat besi daripada dengan istrinya sendiri karena ke mana pun selalu ditenteng," kata Lilian.
(Baca juga: Mengenang Tragedi Mei 1998: Beberapa Catatan yang Tersisa sekitar Kerusuhan Mei 1998)
Warga kompleks tempat tinggal Lilian diserang kepanikan lagi ketika Kamis malam pukul 22.00 terjadi serangan massa dari arah Pulogadung di pintu gerbang Jl. Perintis Kemerdekaan, hanya beberapa kilometer dari kompleks perumahannya.
"Syukurlah serangan itu dapat dipatahkan oleh pasukan keamanan. Konon ketika itu tertangkap sekitar 40-an pelaku yang rata-rata masih amat muda, berikut barang bukti sebuah truk yang esok paginya tampak nongkrong di halaman kantor Polsek di seberang rumah."
Namun kepanikan kembali menyergap ketika koran nasional terbesar menurunkan berita bahwa kawasan Kelapa Gading merupakan satu-satunya sentral ekonomi yang tidak tertembus perusuh.
Sebab, para penghuni kompleks perumahan itu lebih suka berita itu menyatakan kalau wilayah mereka telah "kena", agar tidak membangkitkan rasa penasaran di pihak perusuh.
Suasana ketakutan memang lahan yang subur bagi berkembangnya isu, yang pada gilirannya semakin meningkatkan kadar ketakutan warga.
"Di puncak ketegangan, untuk menjaga segala kemungkinan saya mempersiapkan diri dan seluruh staf rumah tangga untuk kabur. Berulang-ulang saya beri tahukan prosedur yang dilakukan anak saya seandainya keadaan memaksa kami kabur," kisah Lilian.
(Baca juga: Lorong Masa: Krisis Moniter 1998, Satwa pun Rasakan Imbasnya)
la juga berprinsip, betapapun indahnya, mahalnya, langkanya, atau saratnya kenangan, harta benda yang mereka miliki tak seberapa nilainya dibandingkan dengan nyawa orang-orang yang mereka kasihi.
"Saat itu saya dihadapkan pada cermin yang jujur tentang diri sendiri. Di dalam tas darurat itu terdapat Kitab Suci, kamera foto dan video, kaset-kaset rekaman pertumbuhan kedua anak kami, di samping dua setel pakaian ala kadarnya," ungkap Lilian.
Setelah krisis berlalu, ia baru menyadari, paspornya masih tersimpan rapi di lemari.
Istrinya tak pulang
"Kamis kelabu itu saya tetap masuk kantor. Dari lantai lima gedung kantor, saya bisa melihat asap hitam mengepul dari sejumlah titik pusat kerusuhan di Jakarta Barat. Dari laporan radio swasta saya tahu, massa yang berkerumun di sekitar kampus Universitas Trisakti yang sedang berkabung mulai membakar kantor stasiun pompa bensin di seberang kampus itu, dan bergerak ke arah barat sambil merusak sejumlah deretan pertokoan di Jl. Daan Mogot," tutur Suyanto (34).
Tampaknya pengaruh kerusuhan di kawasan itu mulai berdampak terhadap situasi lalu lintas jalan yang berasal atau menuju kawasan yang dilanda kerusuhan itu. Berangsur-angsur jalanan di seputar kantor tempatnya bekerja jadi lengang.
Apalagi ketika deretan pertokoan di dekat kantornya yang berjarak sekitar 2 km dari kerusuhan itu mulai dilanda kerusuhan dan penjarahan pula.
"Melihat perkembangan situasi yang makin mengkhawatirkan itu, saya memutuskan pulang lebih awal," kata Yanto.
Saat dalam perjalanan pulang ke kawasan Jatiasih, Bekasi (sekitar 35 km dari Jakarta), menurut Yanto, pengaruh itu semakin tampak. Ribuan calon penumpang berderet di tepi-tepi jalan menunggu angkutan umum yang saat itu menjadi barang langka.
Suasana jalan tol yang biasanya padat, siang itu sepi dan terasa mencekam. Bahkan pengguna jalan tol dalam kota tidak ditarik bayaran karena pintu gerbangnya sudah ditinggalkan para petugas.
"Jalanan benar-benar sepi sehingga saya tiba di rumah satu jam lebih awal dari biasanya," katanya.
"Bekasi seperti mau kiamat," kata istrinya, yang masih berada di tempat kerjanya di Cikarang, lewat telepon.
Dari Cikarang menuju Jatiasih memang harus melewati Bekasi yang ketika itu sudah dilanda kerusuhan. Situasi itu menyebabkan istrinya terpaksa menginap di rumah seorang teman kerjanya. Padahal di rumah ia ditunggu bayinya yang masih menyusu.
"Keruan saja saya jadi khawatir apakah anak saya nanti tidak rewel?" kata Yanto sembari menambahkan, semula ia bermaksud mau menjemput istrinya dengan sepeda motor namun urung mengingat situasi jalan menuju ke tempat kerja istrinya, menurut laporan, sudah sangat gawat.
Wajar kalau pria ini tak bisa tidur dengan tenang. Ketika rumahnya diketuk-ketuk orang sekitar pukul 02.00 dini hari, kontan saja jantungnya berdebar-debar.
Rupanya yang datang ketua RT. Ia mengajak warganya untuk berjaga-jaga sembari membekali diri dengan “senjata" apa saja mengingat keadaan di sekitar perumahan semakin gawat.
"Kabarnya ada perusuh yang sudah mendekati perumahan kami. Sembari berjaga-jaga, kami mendengarkan siaran radio yang terus mengabarkan kerusuhan. Penjarahan sudah berlangsung di banyak tempat. Malam itu rasanya merambat sangat pelan. Untunglah perusuh yang dikabarkan mau menyerang itu tidak datang, tapi saya berharap malam kelabu itu tidak terulang lagi," kata pria asal Yogya ini.
(Seperti pernah dimuat di majalah Intisari edisi Juni 1998)