Intisari-Online.com – Kalau di hari biasa perjalanan dari kantornya di bilangan Senayan menuju tempat tinggalnya di Bogor paling lama dua jam, pada Kamis, 14 Mei 1998, itu "ditempuh" hampir delapan jam.
"Itu pengalaman pahit saya dan beberapa teman yang kebetulan tinggal di Bogor dan bekerja di Jakarta," tutur Yahya (43).
(Baca juga: Mengenang Tragedi Mei 1998: Beberapa Catatan yang Tersisa sekitar 14 Mei 1998)
"Sebenarnya beberapa waktu sebelum kerusuhan melebar di berbagai sudut Jakarta, kami para karyawan sudah diizinkan pulang lebih awal. Namun saya tidak pernah mengira kalau kerusuhan itu bakal menjalar ke mana-mana sehingga saat memutuskan pulang, keadaan sudah cukup parah, terutama soal sulitnya memperoleh sarana transportasi," katanya.
Pukul 15.45 ia bersama 12 rekan sekantor (tujuh laki-laki, lima wanita), yang sebagian besar bertempat tinggal di Bogor, memutuskan untuk mencoba nebeng bus karyawan Departemen Kehutanan di Gedung Manggala Wana Bhakti, Jl. Gatot Subroto.
Sebagian besar dari 20 bus karyawan Dephut itu bertujuan Bogor, dan biasanya meninggalkan gedung itu pukul 16.15. Mereka memang diperbolehkan ikut menumpang.
Cuma kapan berangkatnya, para pengemudi, tidak bisa memastikan.
"Mula-mula ada yang bilang bus akan berangkat jam enam sore," tutur Yahya.
Karena pada pukul 17.30 bus belum berangkat mengingat situasi di sekitar jalur dalam kota menuju Bogor masih dilanda kerusuhan, mereka pun ikut turun dari bus dan berbaur dengan para penumpang lain karyawan Dephut.
Sementara terus menunggu, perut tampaknya mulai minta diisi. Seperti dikomando, mereka menyerbu para penjual makanan di sekitar gedung itu sampai banyak calon pembeli yang gigit jari tidak kebagian.
(Baca juga: Tragedi Mei 1998 Mencerminkan Transisi Pemerintahan yang Gagal)
"Untung saya masih kebagian tahu sumedang berikut lontongnya dan cukup untuk beberapa rekan saya lainnya. Lumayan untuk ganjal perut," tutur Yahya.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR