(Baca juga: Habis Liburan, Perempuan Ini Mengalami Ruam dan Gatal-gatal, Ternyata Ada Cacing Tambang di Bawah Kulitnya)
Bagi mereka, Atletico merupakan simbol kehidupan.
Dalam mendukungnya, mereka tidak mendasarkannya kepada keberhasilan berprestasi. Kalah, menang, ataupun trofi yang diraih bukan ukuran.
Kalaupun terpuruk, mereka akan tetap setia mendukung. Di mata mereka sebagai orang biasa, kekalahan hanya dipandang seperti kegetiran dan beban hidup yang biasa dialami.
Berhasil atau gagal mirip seperti nasib mereka yang bisa baik atau buruk.
Pengakuan strikernya, Fernando Torres, yang merupakan orang asli Madrid bisa menjadi contoh.
Sejak kecil, Torres mengaku terbiasa diledek oleh rekan-rekannya karena mendukung Los Colchoneros yang kalah segala-galanya dibanding Los Blancos.
Namun, Torres tetap setia. “Pendukung Atletico terpenjara perasaannya sendiri, terikat selamanya dengan warna kostum klub,” kata Torres.
Contoh mengherankan terjadi pada 1999. Saat itu, Atletico terdegradasi ke Divisi Segunda (Divisi Dua, Red).
Namun, bukannya menurun, jumlah pendukung yang datang ke Vicente Calderon justru kian meningkat.
Mereka ingin menunjukkan bahwa semakin terpuruk Atletico, maka bertambah besar dukungan yang diperoleh.
(Baca juga: Ini Dia Kisah SBY Saat Masih Hidup Pas-Pasan)
Jurnalis dari media olahraga Spanyol, AS, Juanma Trueba, menyebutkan bahwa fans Atletico mengusung romantisme yang mungkin tidak membumi.
Mereka malah menjadikan kekalahan sebagai “kemenangan moril”.
Sikapnya disebut Trubea malah mirip kelainan jiwa berupa kesenangan menyakiti diri sendiri.
Aneh, tapi kenyataan yang terjadi seperti itu.
Penggemar Atletico memang berkeras menunjukkan jati diri sebagai orang biasa.
Entah benar atau tidak, mereka ingin disebut sebagai working class team.
Dari sisi ini, muncul rasa salut kepada mereka. Di negeri kita banyak yang ingin terlihat berada di kelas sosial di atasnya.
Social climbers mudah sekali ditemui. Tapi, di Kota Madrid, ada sejumlah orang yang tak malu mengakui dirinya sebagai orang biasa saja.
(Penulis: Asis Budhi Pramono, tinggal di Jakarta)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR