Intisari-Online.com - Di Kota Madrid kita bisa mengintip strata sosial seseorang dari klub sepak bola yang digemarinya.
Salah satunya adalah penggemar klub Atletico Madrid (disebut Atleticos), yang justru senang dianggap orang dari kelas pekerja.
***
Saat pertama kali bertemu seseorang, bagaimana cara untuk mengetahui latar belakang tingkat sosialnya?
Kalau di Indonesia, penampilan dan kendaraan menjadi tolak ukur termudah. Jika perlente, wangi, plus membawa mobil keluaran terbaru, besar kemungkinan orang itu berasal dari strata sosial menengah ke atas.
(Baca juga: Akun Penggalangan Dana @CakBudi Akui Gunakan Uang Donasi untuk Beli Fortuner dan iPhone 7
Tapi, bagaimana jika kita ingin mengetahui hal serupa ketika bertemu orang di negara lain seperti Spanyol?
Kalau di Kota Madrid, ada tips yang mungkin bisa membantu. Coba tanya saja klub sepakbola yang didukungnya.
Jika mendukung Real Madrid, besar kemungkinan ia berasal dari kelas sosial menengah atas.
Namun kalau menyatakan diri sebagai pendukung Atletico Madrid, sangat mungkin orang itu berasal dari kalangan pekerja kerah biru.
Asumsi itu berdasarkan klaim umum bahwa pendukung Atletico dan Madrid dibedakan berdasarkan status sosial. Sepintas kepercayaan itu terlihat tepat.
Ketika berkunjung ke Kota Madrid beberapa waktu lalu, saya sempat makan di sebuah restoran. Masuk ke dalamnya, sebagai penggemar sepakbola, mata saya langsung tertuju ke sejumlah hiasan yang tergantung di dinding.
Nuansanya didominasi merah dan putih yang merupakan warna dominan kostum Atletico.
Terdapat pula sejumlah poster dan cover dari koran Marca dan AS yang dipigura. Semuanya punya tema sama, yakni tentang klub berjuluk Los Rojiblancos itu.
(Baca juga: Penggalangan Dana oleh Cak Budi: 6 Hal yang Harus Dilakukan Sebelum Berikan Donasi Secara Online)
Saya dan beberapa rekan segera memesan makanan. Sambil meminum sangria, kami berbincang menunggu pesanan.
Akhirnya sajian yang ditunggu pun hadir. Pengelola restoran bersama para pramusaji menyajikan menu makan malam kami.
Karena penasaran, saya bertanya kepada kakek pengelola restoran apakah benar dia penggemar Atletico.
Salah satu rekan menerjemahkan pertanyaan saya karena ternyata si kakek tidak mengerti bahasa Inggris.
Tapi, dari ekspresi muka, saya tahu dia senang dengan pertanyaan tersebut.
Sambil tertawa, ia menjawab dirinya memang Atleticos (sebutan pendukung Atletico, Red.)
Dia ganti bertanya tentang tim yang saya gemari.
“Real Madrid? Barcelona?” tanyanya. Saya tertawa dan menjawab tidak.
Dia pun langsung mengacungkan jempol sambil berkata, “Madrileno (sebutan untuk orang Kota Madrid, Red.) asli mendukung Atletico.”
Klaim yang dikeluarkan pengelola restoran sejatinya bisa diperdebatkan. Sepakbola adalah bahasa universal. Sulit untuk membatasinya berdasarkan strata sosial.
Lihat saja jumlah pendukung Real Madrid yang lebih mendominasi di sana.
Bagaimana mungkin orang kalangan menengah atas lebih banyak dari kalangan bawah?
Belum lagi keberadaan Rayo Vallecano yang juga berada di Kota Madrid. Mereka juga mengklaim sebagai working class team.
Kondisi stadion kontras
Namun, kalau mengunjungi markas Atletico, Estadio Vicente Calderon, klaim si kakek mungkin terlihat benar.
Kondisinya kontras dibanding Estadio Santiago Bernabeu yang menjadi kandang Real Madrid.
(Baca juga: Ajaran Ki Hadjar Dewantara Diadopsi Finlandia)
Kebetulan saya menginap di sebuah hotel di Plaza de las Cortes yang berada di pusat Kota Madrid.
Untuk menuju lokasi markas Atletico, perjalanan lumayan jauh.
Memakai kereta bawah tanah yang kerap dinamai Metro dari Stasiun Banco de Espana, saya harus melewati tujuh pemberhentian sebelum sampai di Stasiun Piramides yang merupakan stasiun terdekat dari Vicente Calderon.
Ketika sampai di sana pun saya mesti berjalan sekitar dua kilometer untuk tiba di lokasi.
Suasana berkebalikan saya rasakan karena hari sebelumnya sempat mengujungi Bernabeu.
Stadion itu hanya beberapa ratus meter dari stasiun. Begitu ke luar, Anda akan langsung melihat kemegahan Santiago Bernabeu.
Belum lagi kalau membandingkan lokasinya. Santiago Bernabeu berada di Paseo de la Castellana yang merupakan salah satu kawasan utama termegah di Kota Madrid.
Sedangkan Vicente Calderon terletak di Arganzuela yang merupakan kawasan perumahan biasa.
Di dekatnya ada sungai Manzaranes dan hanya dilalui oleh jalan jalur motorway M30.
Kesan bersahaja sontak muncul setelah ke luar dari Stasiun Piramides. Terlihat sejumlah bangunan apartemen sederhana di sekitarnya.
Ada pula taman kota yang menjadi area bagi warga untuk menghabiskan waktu.
Sampai di Estadio Vicente Calderon, saya memutuskan untuk mengikuti tur stadion.
Suasana berbeda dibandingkan kondisi kandang Los Blancos juga begitu terasa.
Masuk ke area tur, Anda akan menemui bar. Di sana tampak sejumlah orang asyik minum.
(Baca juga: Hardiknas: Cara Maman Suherman Jadi Provokator Minat Baca Buku di Tengah Gempuran Gadget)
Beberapa memainkan football table. Saya segera mengasumsikan mereka adalah warga lokal yang sedang menghabiskan waktu di sana.
Susananya tidak sama dengan tur Santiago Bernabeu. Masuk ke museum Los Blancos, Anda disambut replika trofi Liga Champions.
Selanjutnya di kiri dan kanan lorong berjajar deretan trofi yang pernah diraih oleh Madrid.
Di Vicente Calderon yang ditampilkan bukannya trofi. Di area depan mereka justru memajang kisah sejarah pendirian klub dan keseharian pendukungnya.
Ada patung kepala suku Indian yang dipasang. Atletico rupanya ingin mengisahkan julukan lain yang mereka dapatkan pada era 1970-an, yakni Los Indios.
Selain itu, ada bagian yang menggambarkan seorang pekerja sedang berbincang dengan anaknya yang memakai kostum Atletico.
Satu yang menarik adalah keberadaan sebuah kasur berwarna merah putih.
Rupanya Atletico tak malu mengakui julukan lain mereka sebagai Los Colchoneros yang berarti Si Pembuat Kasur.
Memang warna kostum mereka sama persis dengan warna kasur zaman dulu, yakni kombinasi merah dan putih.
Simbol kehidupan
Pendukung Atletico tidak malu untuk mengakui diri sebagai orang biasa.
Para pemegang kartu socios (anggota resmi klub, Red.) mereka memang didominasi oleh kalangan pekerja.
Banyak di antaranya yang bekerja di sektor informal seperti tukang bangunan, sopir taksi, atau penjual makanan.
(Baca juga: Habis Liburan, Perempuan Ini Mengalami Ruam dan Gatal-gatal, Ternyata Ada Cacing Tambang di Bawah Kulitnya)
Bagi mereka, Atletico merupakan simbol kehidupan.
Dalam mendukungnya, mereka tidak mendasarkannya kepada keberhasilan berprestasi. Kalah, menang, ataupun trofi yang diraih bukan ukuran.
Kalaupun terpuruk, mereka akan tetap setia mendukung. Di mata mereka sebagai orang biasa, kekalahan hanya dipandang seperti kegetiran dan beban hidup yang biasa dialami.
Berhasil atau gagal mirip seperti nasib mereka yang bisa baik atau buruk.
Pengakuan strikernya, Fernando Torres, yang merupakan orang asli Madrid bisa menjadi contoh.
Sejak kecil, Torres mengaku terbiasa diledek oleh rekan-rekannya karena mendukung Los Colchoneros yang kalah segala-galanya dibanding Los Blancos.
Namun, Torres tetap setia. “Pendukung Atletico terpenjara perasaannya sendiri, terikat selamanya dengan warna kostum klub,” kata Torres.
Contoh mengherankan terjadi pada 1999. Saat itu, Atletico terdegradasi ke Divisi Segunda (Divisi Dua, Red).
Namun, bukannya menurun, jumlah pendukung yang datang ke Vicente Calderon justru kian meningkat.
Mereka ingin menunjukkan bahwa semakin terpuruk Atletico, maka bertambah besar dukungan yang diperoleh.
(Baca juga: Ini Dia Kisah SBY Saat Masih Hidup Pas-Pasan)
Jurnalis dari media olahraga Spanyol, AS, Juanma Trueba, menyebutkan bahwa fans Atletico mengusung romantisme yang mungkin tidak membumi.
Mereka malah menjadikan kekalahan sebagai “kemenangan moril”.
Sikapnya disebut Trubea malah mirip kelainan jiwa berupa kesenangan menyakiti diri sendiri.
Aneh, tapi kenyataan yang terjadi seperti itu.
Penggemar Atletico memang berkeras menunjukkan jati diri sebagai orang biasa.
Entah benar atau tidak, mereka ingin disebut sebagai working class team.
Dari sisi ini, muncul rasa salut kepada mereka. Di negeri kita banyak yang ingin terlihat berada di kelas sosial di atasnya.
Social climbers mudah sekali ditemui. Tapi, di Kota Madrid, ada sejumlah orang yang tak malu mengakui dirinya sebagai orang biasa saja.
(Penulis: Asis Budhi Pramono, tinggal di Jakarta)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR