Intisari-Online.com – Hubungan antara orangtua dan anak, memang bukan hubungan "memiliki" selamanya, tapi justru hubungan keeratan hati.
Sebagai orangtua, sering kali perlu kebesaran hati dan kebijaksanaan dalam berinteraksi dengan anak. Bukan cuma membesarkan anak, kadang kala dalam hidup ini ada banyak hal yang perlu mengerti apa itu namanya tarik ulur.
(Baca juga:Interaksi Parasosial, Saat Kita Merasa Sangat Dekat dan Menjalin Hubungan Dengan Idola)
Aku mau bercerita tentang pengorbananku yang ternyata malah berakhir seperti ini.Aku adalah seorang mama berusia 57 tahun, aku sudah pensiun 2 tahun terakhir ini. Anakku laki-laki dan berusia 31 tahun. Tepat di tahun aku pensiun, anakku menikah, aku memang sangat sayang dan memanjakan anakku sejak kecil.
Sejak ia menikah, aku tentunya mulai bertanggung jawab untuk merawat anakku serta menantuku. Aku sudah menganggap hal ini sebagai hal yang memang seharusnya.
Awalnya aku pikir anakku mau tinggal denganku setelah menikah, tapi dia dan istrinya mengatakan kalau mereka pasangan muda dan butuh ruang gerak, akhirnya aku pun melepaskannya.Tapi supaya dekat dan mudah menjaga mereka, aku dan suamiku kemudian pindah ke komplek tempat mereka tinggal.
Setiap pagi aku akan pergi ke rumah anakku dan membantu mereka membuat sarapan dan membersihkan rumah. Setiap malam aku juga akan membantu mereka memasak dan menunggu mereka sampai mau tidur, aku baru pulang ke rumah.
Sampai suatu hari, aku masih melakukan hal yang sama setiap harinya, membawa sayur pulang dari pasar dan pergi ke rumah anakku, tapi hari itu aku tidak bisa membuka pintu rumah anakku. Bukan karena aku salah membawa kunci, tapi ternyata menantuku mengganti kunci rumahnya. Dia bilang, "Di komplek ini banyak pencuri, jadi…."
Hari itu, aku juga sama seperti biasanya, memasak sarapan untuk mereka, kemudian membersihkan rumah dan mencuci baju. Tapi, menantuku tidak memberikan kunci yang baru padaku, aku pikir mungkin dia lupa. Sampai malam harinya, anakku pulang, dia memberikanku kunci baru dengan tambahan, "Ma, jangan biarkan istriku tahu." Aku tahu hal ini tidak sesederhana kelihatannya.
Keesokkan harinya, aku masih melakukan hal yang sama, pergi ke rumah anakku. Tapi sesampainya aku di depan rumah mereka, aku mendengar pertengkaran dari dalam rumah.
"Kamu pasti kasih kunci ke mama kamu ‘kan! Siapa yang gak ngerasa risih, setiap mandi, taruh cucian di keranjang, besok paginya mama kamu pasti cuciin. Ngeliat semua pakaian dalam di jemuran, bukan sama sekali gak senang karena dibantu, aku malah risih karena privasiku diganggu."
Coba aja kamu lihat, kamu terlalu dimanja mama kamu, setiap hari cuma tiduran di sofa, gak perlu ngapa-ngapain, gak pernah beres-beres, gak pernah buang sampah, kamu cuma gak disuapin aja, kalau nggak, kamu persis kayak anak-anak.
Apa mama kamu gak bisa kayak mama orang lain, di masa tuanya menikmati hidupnya, pergi jalan-jalan atau liburan, atau pergi dengan teman-temannya menikmati teh sore, jangan terus kayak kamera yang merekam semua kegiatan kita."
Siapa sangka, ternyata aku mendengar semua itu dari mulut menantuku, ternyata inilah balasan dari "pengabdian 24 jam" aku. Tapi dari semuanya itu, yang paling membuatku sedih, justru jawaban dari anakku, "Dia itu mamaku, kamu mau aku gimana lagi?"
Aku selalu menyiapkan kedua tanganku untuk mereka, tapi ternyata, di mata menantuku, aku justru adalah seorang mama yang tidak mengerti keadaan.
(Baca juga:Betapa Pentingnya Membangun Ikatan Batin Orangtua dan Anak)
Sepulang dari rumah anakku hari itu, aku menangis di depan suamiku dan menceritakan semuanya, "Dia itu anakku satu-satunya, keinginan terbesarku adalah menjaga mereka dan berkorban bagi mereka, tapi aku malah dinilai seperti itu.”
"Suamiku cuma menjawab, "Ini pasti salah paham aja, nanti aku coba ngomong sama mereka."
Tapi kemudian, suamiku berkata padaku, "Coba kamu lihat temen-temenmu, semua pada pergi berlibur, bahkan ada yang keliling dunia. Kamu juga orang yang suka berpetualang, tapi demi mereka, kamu malah jadi ibu rumahan yang ketinggalan zaman. Coba kamu pikirkan."