Intisari-Online.com – Suatu ketika di sebuah sekolah, diadakan pementasan drama. Pentas drama yang meriah, dengan pemainnya adalah semua siswa-siswi sekolah tersebut.
Setiap anak mendapatkan peran dan memakai kostum sesuai dengan tokoh yang mereka perankan. Semua pemain memainkan perannya dengan serius, karena Guru akan memberikan hadiah kepada siswa atau siswi yang tampil terbaik dalam pentas itu.
Di depan panggung, semua orangtua siswa pun hadir dan menyemarakkan acara tersebut.
Pentas drama berjalan dengan sempurna. Semua siswa tampil dengan maksimal. Ada yang berperan ssebagai petani, lengkap dengan cangkul dan topinya, ada juga nelayan, dengan jala yang disampirkan di bahunya. Di sebuah sudut, tampak seorang anak dengan raut muka ketus, sebab dia kebagian peran sebagai pak tua yang pemarah, sementara di sudut lain, terlihat anak dengan wajah sedih, layaknya pemurung yang selalu menangis. Tepuk tangan dari para orangtua dan guru kerap terdengar, di sisi kiri dan kanan panggung.
Kini tiba dari akhir pementasan drama tersebut. Itu artinya, sudah saatnya Guru mengumumkan siapa yang berhak mendapatkan hadiah. Setiap anak tampak berdebar-debar, berharap mereka terpilih menjadi pemain drama yang terbaik. Komat-kamit mereka berdoa, supaya Guru akan menyebut nama mereka, dan mengundang ke atas panggung unntuk menerima hadiah. Para orangtua pun ikut berdoa, membayangkan anak mereka menjadi yang terbaik.
Pak Guru telah menaiki panggung, dan tak lama kemudian ia menyebut sebuah nama. Ahha… ternyata, anak yang menjadu pak tua pemarah-lah yang menjadi juara. Dengan wajah berbinar, anak itu bersorak gembira. “Aku menang…”, begitu ucapnya. Ia pun bergegas menuju panggung, diiringi kedua orangtuanya yang tampak bangga. Tepuk tangan terdengar lagi. Sang orangtua menatap sekeliling , menatap seluruh hadirin. Mereka bangga.
Pak guru memberikan hadiahnya, dan bertanya kepada anak tersebut, “Nak, peranmu sebagai seorang pemarah terlihat bagus sekali. Apa rahasianya ya, sehingga kamu bisa tampil sebaik ini?”
Anak itu menjawab, “Terima kasih atas hadiahnya Pak. Dan sebenarnya saya harus berterima kasih kepada ayah saya di rumah. Karena, dari Ayahlah saya belajar berteriak dan menjadi pemarah. Kepada Ayahlah saya meniru perilaku ini. Ayah berteriak kepada saya, maka, bukan hal yang sulit untuk menjadi pemajar seperti Ayah.”
Kedua orangtua anak itu, yang saat itu berada di atas panggung, tampak tertunduk. Jika sebelumnya mereka merasa bangga, kini keadaannya berubah. Mereka bagaikan berdiri sebagai terdakwa di depan pengadilan. Mereka belajar sesuatu pada hari itu. Rupanya, anak-anak bercermin dari perilaku orangtuanya. Ya, ada yang perlu diluruskan pada perilaku mereka.