Intisari-Online.com – Hujan tanpa henti sejak pagi ini. Abi melamun menyaksikan air hujan menetes perlahan di jendela kamar tidurnya. Ia belum tidur nyenyak di malam hari sejak orangtuanya mengatakan bahwa mereka telah merencanakan pertunangannya dengan putra teman lama mereka.
Di tempat lain, Sultan telah pergi untuk waktu yang lama. Ia pergi ke Amerika untuk belajar ketika ia masih muda. Dua puluh tahun kemudian, ia memutuskan untuk kembali ke rumah. Semuanya baik-baik saja hingga orangtuanya bersikeras menyatakan bahwa ia akan menikah! Sekarang, semuanya yang dipikirkannya betapa ia membenci hal itu.
“Kita hidup di abad digital! Kita mustinya berpikir bahwa orang bebas untuk memilih siapa saja untuk dinikahi!” Abi frustasi, ia berbicara dengan dirinya sendiri.
Ia selalu menjadi anak yang baik. Ia selalu mematuhi orangtuanya, melakukan segala yang mereka minta. Ia bahkan melanjutkan ke universitas yang dipilihkan oleh orangtuanya. Tetapi untuk menikah dengan orang asing? Ini adalah sisa hidupnya yang orangtuanya bicarakan.
Ini bukan berarti ia tidak punya pacar, dan ia dengan senang hati jatuh cinta pada pria. Tapi ia tidak ingin tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Ia selalu mengalami fenomena kupu-kupu di perutnya dan telapak tangan berkeringat setiap kali ia ada di sekitar pria. Ia ingin seluruh dongeng, bahagia selamanya. Ia menyadari sekarang bahwa itu tidak mungkin lagi, berterima kasih kepada orangtuanya dan seorang pria bernama Sultan.
Abi menghela napas dan melanjutkan melihat air hujan dari balik jendela. Malam ini, Sultan dan orangtuanya datang untuk secara resmi meminangnya. Malam ini, orangtuanya akan menyerahkannya kepada seorang pria yang akan menjadi seperti seorang penjaga penjara daripada suami yang penuh kasih. Malam ini akan menandari awal dari akhir hidupnya.
Malam akhirnya datang. Abi tidak punya pilihan lain, selain untuk turun dan menemui pria yang akan menikahinya bulan depan. Ketika wanita itu menuruni tangga, ia melihat sekilas seorang pemuda tampan dengan mata seterang bintang-bintang.
Saat ia bangkit untuk menyambutnya, ia melihat bahwa pria itu tinggi dan tegap. Ah, kini ia merasa fenomena kupu-kupu di perutnya dan telapak tangannya mulai berkeringat.
“Hai, Abi. Saya, Sultan. Saya sangat senang bertemu dengan Anda.” Pria itu berkata sambil pelan mencium punggung tangannya.
Abi menyadari, bahwa, orangtuanya, benar-benar, tahu yang terbaik.