Advertorial
Intisari-Online.com – Uraian, politik dari orang-orang bekas tahanan Sukamiskin sudah bahyak ditulis. Namun yang diceritakan oleh H. Marahsudun Ghatib kali ini ialah tentang kehidupan sehari-hari di penjara khusus di Bandung ini sebelum Perang Dunia II.
Mari kita simak kisah tersebut seperti yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 1981 dengan judul asli Kenang-kenangan dari Sukamiskin.
Antara tahun 1934 – 1937, di dalam penjara Sukamiskin di Bandung, ada 26 orang terhukum, dari golongan orang-orang pergerakan politik. Diantaranya Tjindarbumi, wartawan kawakan dari Surabaya karena tulisannya mengenai pemberontakan yang terjadi di kapal "Zeven Provincien", Mr. Amir Syarifuddin dari Jakarta sebagai penanggung jawab mingguan partai yang bernama "Banteng", Yusuf Yahya sebagai penanggung jawab mingguan partai "Gledek" yang terbit di Bogor.
Dari Pekalongan ada pula, 3 orang. Satu R.M. Sunaryo, Ms. Chatib, dan Daranin, ketiganya dari"T Mingguan "BOM" (Berjuang Untuk Merdeka").
Dari Sumatera Barat ada 4 orang dari partai Permi. Juga ada dari Medan dan dari Sulawesi dan Ternate. Dari PNI-nya Bung Hatta ada. Johan Syaruzah dan tak ketinggalan pula beberapa orang dari Surabaya dan dari Semarang.
Kini sebagian besar dari 26 orang ini telah meninggal. Semuanya oleh pemerintah kita ditetapkah sebagai "perintis Kemerdekaan Indonesia".
Penjara yang mewah
Penjara Sukamiskin yang terletak hanya beberapa km dari kota Bandung, ketika itu merupakan penjara paling modern untuk daerah Asia. Menurut keterangan yang kami peroleh, pemerintah Hindia Belanda meniru penjara Amerika.
Sukamiskin disebut "Gevangnis voor ontwikkelden" (Tahanan Orang Terpelajar), mungkin tadinya hanya diperuntukkan bagi orang-orang Belanda saja.
Bentuknya "silang empat" (Kruis Gebouw) dan bertingkat. Di tengah-tengah dari sudut empat bangunan tersebut "lapangan bundar" untuk para sipir penjaga penjara. Setiap narapidana mendapat sebuah kamar berukuran 1,5x2 meter.
Kamar-kamarnya berseberangan. Di antara deretan kamar, ada jalan selebar 3 meter. Semua jumlahnya ada 800 kamar. Pada setiap kamar terdapat tempat tidur besi yang dapat dilipat dan digantungkan pada tembok.
Di atas tempat tidur terdapat satu lemari gantung. Di depan tempat tidur ada sebuah meja tulis kecil dengan sebuah bangku duduknya. Ada pula sebuah WC dengan keran dan asbak di atasnya.
Narapidana yang baru masuk diberi 3 stel pakaian kerja berwarna biru, 2 stel pakaian tidur berpetak-petak hitam, 2 buah sarung bantal dan 4 lembar selimut belang.
Kecuali lampu pijar yang terdapat di atas meja tulis, terdapat pula tombol lampu pada dinding dekat pintu yang sewaktu-waktu dapat dipijat bila ada keperluan dengan sipir penjara. Bel yang dipijat akan berbunyi di ruangan jaga sipir.
Penjaga segera datang dan menanyakan apa kehendak kita. Tapi lebih sering hanya pertanyaan saja yang diajukan. Kalau dia lagi ngantuk atau masih bisa diundur, maka jawabnya hanya "besok pagi saja.". Dia pun pergi.
Kami tidak perlu mencuci pakaian sendiri, sebab dua kali seminggu datang orang mengambil pakaian kotor, yang pada waktu yang telah ditentukan kami hanya mengeluarkannya dan meletakkannya di depan kamar. Setelah dicuci dan diseterika kami menerimanya di depan kamar kami pula.
Kecuali perlengkapan kamar, kami terima pula piring seng, cangkir besar dari seng dan satu sendok. Pada waktu itu, piring aluminium belum ada. Barang ini harus kami jaga, agar jangan terdapat sedikit pun noda pada piring dan cangkir itu. Setiap minggu, kebersihan diperiksa dengan ketat sekali.
Semua Pegawai Belanda-Indo
Dalam tahun-tahun yang saya sebutkan di atas, semua pegawai penjara. itu bangsa Belanda, yang terdiri dari Belanda Peranakan yang dulu dikenal dengan istilah "Belanda-Indo", mulai dari "oppasser" sampai "sipir" dan "direktur".
Memang ada beberapa pegawai sipil yang bekerja dalam penjara itu, yakni orang-orang ahli yang mengepalai "perusahaan" yang ada dalam penjara itu. Tetapi orangnya juga Belanda-Indo.
Baca juga: Biayai Riset Besar-besaran untuk Teliti Perang Kemerdekaan Indonesia, Belanda Ingin 'Cuci Tangan'?
Umumnya pekerjaan yang ada dalam penjara itu kepunyaan Pemerintah Hindia Belanda, umpamanya saja "Departement Onderwijs en Eeredienst". Perlengkapannya, baik buku-buku tulis tebal dan tipis, keras dan sampul semuanya ditangani oleh penjara Sukamiskin.
Pagi pukul 06.00, semua pintu kamar sudah dibuka oleh sipir, dan para narapidana sudah bersiap sebelum pintu dibuka, sebab semuanya harus berbaris menurut kelompok masing-masing yang sudah ditentukan pembagiannya.
Kelompok kebersihan, kelompok percetakan, kelompok pegawai yang diperbantukan pada administrasi penjara, kelompok kesehatan yang bertugas di rumah sakit penjara.
Kelompok orang-orang pergerakan disatukan semua, tidak boleh berkumpul dengan narapidana lainnya karena dianggap "besmettelijk" (menular) katanya.
Itulah makanya terjadi "politieke afdeling" dalam penjara Sukamiskin, yang memisahkan kami yang 26 orang dari narapidana lainnya. Anehnya, sipir yang ditugaskan menjaga kami pun tidak berani berbicara dengan kami, hanya menjawab apa yang ditanya. Tak lebih!
Itu pun setelah mereka melihat dulu kanan-kiri, takut kalau sang direktur dating dan ketahuan mereka berbicara dengan narapidana politik. Bahkan karena narapidana lainnya tahu bahwa barisan "afdeling politiek" tidak boleh diajak berbicara.
Sering mereka mengganggu sipir. Caranya, bila berpapasan dengan barisan kami, mereka sengaja mengajak kami berbicara dengan keras, sehingga membuat sipir itu marah. Tetapi maklumlah karena yang membikin "ulah" itu adalah narapidana bangsa Belanda juga, maka ada juga rasa segan menyegani di antara mereka.
Walaupun saya sebutkan di atas bahwa kapasitas kamar penjara Sukamiskin itu berjumlah 800 buah, tapi selama saya di dalamnya belum pernah penghuninya lebih dari 600 orang. Bahasa yang dipakai dalam penjara itu, 95% bahasa Belanda.
Baca juga: 4 Orang Ini Ternyata Punya Peran Besar dalam Kemerdekaan Indonesia
Mr. Amir Syarifuddin rnengamuk
Memang banyak suka dukanya selama kami dalam penjara tersebut. Pernah terjadi seorang sipir yang baru masuk mendapat tugas pada afdeling kami. Sore harinya waktu mau kembali dari kamar kerja, kami semua diperiksa (sudah biasa, takut kalau membawa barang tajam ke dalam kamar).
Rupanya sipir itu bukan hanya memeriksa kantong mr. Amir Syarifuddin, tetapi sampai ke badan-badannya dipegang oleh sipir tersebut, yang karuan saja membuat Amir marah dan menampar tangan sipir itu dengan kata-kata; "Kurangajar, kau kira aku gadis yang perlu kau pegang-pegang!"
Dengan muka merah sipir itu hanya menanyai: "Nomor stambuk". Dijawab oleh Amir, sekian. "Nama?", tanya sipir itu melanjutnya. "Mr. Amir Syarifuddin", jawab yang bersangkutan. Sang sipir rupanya menyangka bahwa Meester yang disebut oleh Mr. Amir itu merupakan nama (bukan titel), maka ditulisnyalah dengan nama penuh.
Baca juga: 4 Orang Ini Ternyata Punya Peran Besar dalam Kemerdekaan Indonesia
Karena kejadian itu maka teganglah suasana, mulai dari kamar kerja sampai kami diantar mandi dan kemudian terus ke ruang makan. Tiba di ruang makan itu di kala kami mulai bersantap, sang sipir menemui kawannya, seorang sipir yang lebih tua, dan menceritakan semua kejadian tadi.
Tapi kami sempat mendengar jawaban kawannya itu: "Kau salah tulis, meesternya itu bukan nama, tapi "Meester in the Rechten", jadi ia lebih tahu peraturan daripada kita. Jangan-jangan direktur pun kalau berhadapan dengan dia akan segan juga. Maafkan sajalah!". Sampai di situlah masalahnya.
Pada suatu waktu afdeling politik disuruh "mengurai" daun sisal, karena pekerjaan membuat buku, stoknya sedang kosong.
Pekerjaan itu sebenarnya tidak menjadi soal, tapi datang perintah harus siap 200 gram seorang setiap hari, sehingga membuat kami menjadi jengkel karena seolah-olah ada paksaan. Kami memajukan protes dan mengutus Yusuf Yahya sebagai wakil kami menemui direktur penjara.
Baca juga: Festival Teluk Humboldt, Cara Warga Jayapura Sambut Hari Kemerdekaan Indonesia
Tapi yang diterima Yusuf Yahya ialah kata-kata: "Hier ben ik heer en meester, weet je, geen Ketua en geen Utusan" (Di sini saya yang berkuasa, tahu, tidak ada ketua dan utusan).
Karuan saja kami pun berusaha untuk mengirim surat secara "illegal" keluar penjara. Kurang lebih 10 hari kemudian sdr. Yusuf Yahya dipanggil oleh direktur. Ia ditanya, mengapa sampai persoalan yang kecil itu ke parlemen Negeri Belanda?
Tentu saja Yusuf hanya angkat bahu membalas emosi sang direktur yang dilampiaskannya beberapa hari yang lalu kepadanya. Belakangan kami ketahui bahwa segala kejadian yang menyangkut afdeling politik di penjara Sukamiskin dilaporkan Yusuf kepada "sahabatnya", seorang anak perempuan dari salah seorang anggota Parlemen di Negeri Belanda.
Anggota Twede Kamer ini hanya sepintas lalu mengirim surat kepada direktur penjara Sukamiskin. Tetapi surat itu pun telah membuat sang direktur panas dingin, apalagi ia tahu ia berhadapan dengan Belanda totok.
Baca juga: Potret Perjuangan Pasukan Oranye: Berjibaku Dengan Sampah, Demi Kali Jakarta yang Indah
Waktu kami di penjara itu, dimasukkanlah 45 orang Belanda totok yang terlibat dalam pemberontakan kapal "Zeven Provinden" yang dipimpin oleh Kawilarang.
Mereka ini ditempatkan di Sukamiskin sambil menunggu kapal yang akan mengangkut mereka ke Negeri Belanda.
Keesokan harinya, ketika baru saja mereka mau disuruh bekerja di bagian percetakan, sudah terjadi keributan karena mereka tidak mau berada di bawah perintah Belanda-Indo, padahal sudah lama percetakan itu dipimpin oleh seorang narapidana Belanda-Indo yang mendapat hukuman lama.
Namun karena Belanda totok pada masa itu merasa "superior", maka pemberontak Zeven Provincien itu tidak mau bekerja. Sehingga direktur terpaksa turun tangan. Ia mengancam setiap pembangkang akan dimasukkan ke dalam sel dan mendapat makanan kering.
Baca juga: Beratnya Perjuangan Paramedis di Gaza: Dari Evakuasi Korban Hingga Jadi Target Tembakan
Tahanan Zeven Provincien itu ada yang mau dan ada yang betul-betul tidak kenal damai sehingga penuhlah kamar sel yang jumlahnya hanya delapan buah itu. Mereka tetap menganggap hina bekerja di bawah perintah seorang Belanda Indo.
Mereka itu setiap berbaris menuju ke kamar kerja selalu melagukan Indonesia Raya, tanpa ada sipir yang berani melarangnya.
Untunglah tidak lama dalam tahanan Sukamiskin, mereka pun dikirim ke Negeri Belanda untuk dihadapkan ke pengadilan di sana.
Baca juga: Dihukum Seumur Hidup, Remaja 18 Tahun Ini Jadi Wanita Termuda yang Dipenjara dalam Kasus Terorisme