Advertorial
Intisari-Online.com - Danau Kelimutu di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, pernah masuk menjadi salah satu dari 7 keajaiban dunia.
Seperti diketahui banyak orang, danau ini terkenal dengan tiga kawah danaunya yang bisa berubah warnanya, menurut kepercayaan setempat, sesuai aktivitas leluhur di danau itu.
Benarkah aktivitas roh leluhur bisa mempengaruhi warna danau?
(Baca juga:Ni Nengah Widiasih: Kalau Gagal, Ya, Coba Lagi! Kalau Jatuh, Ya, Bangun Lagi!)
Masyarakat suku Lio yang tinggal di sekitar kaki gunung Kelimutu percaya bahwa ketika mereka meninggal, arwah mereka akan terbang ke danau.
Kelimutu sendiri memiliki tiga kawah vulkanik yang membentuk danau.
Kawah pertama, Tiwu Ata Mbupu, untuk roh yang semasa hidupnya selalu berbuat baik.
Kawah kedua, Tiwu Ata Ko'o Fai Nuwa Muri, untuk roh muda-mudi yang telah meninggal.
Kawah ketiga, Tiwu Ata Polo, untuk roh yang semasa hidupnya bergelimang dosa.
Para pemangku adat setiap kampung, yang kerap disebut "musalaki" juga memiliki prinsip bahwa jika ada perubahan warna danau yang biasanya hijau lumut atau putih susu menjadi berwarna hitam kelam, maka ada peristiwa buruk yang akan terjadi.
Roh leluhur menjadi muara dari setiap keadaan yang menimpa suku Lio.
Oleh sebab itu, musalaki dan segenap suku Lio mengadakan upacara adat Pati Ka Dua Bapu Ata Mata tiap tahun, tepatnya pada 14 Agustus.
Upacara ini awalnya digagas oleh pengurus Taman Nasional Kelimutu dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Ende.
Pati Ka Dua Bapu Ata Mata artinya memberi makan untuk roh oranng yang sudah mati, atau roh leluhur di danau.
Upacara adat ini diawali dengan berkumpulnya para pemangku adat dari kampung sekitar Kelimutu.
Pertama, pada 14 Agustus para pemangku adat berkumpul untuk mendoai sesajen yang akan diantar ke mulut danau.
Sesajen itu biasanya terdiri atas nasi, daging babi, dan hasil alam berupa sayur dan buah-buahan.
Seluruh musalaki harus memakai baju adat Lio, yaitu sarung tenun yang disebut Ragi untuk laki-laki dan biasanya memakai atasan batik.
Sementara untuk wanita, harus memakai tenun yang disebut Lawo dan baju kurung khas Lio yang biasa disebut Lambu.
Upacara adat Pati Ka Dua Bapu Ata Mata berlangsung selama 3 hari, dari tanggal 14 hingga 16 Agustus.
Hari kedua, tanggal 15 Agustus dilanjutkan dengan pementasan sanggar seni dari masing-masing desa.
Suku Lio terkenal dengan tari-tarian dan alat musik daerahnya bernama sato.
(Baca juga:Melihat Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dari Antariksa)
(Baca juga:Keliling Flores Bersua Gading Beranak)
Yang biasa tampil berasal dari sanggar seni Nuwa Nai dari Desa Waturaka. Mereka biasanya akan menampilkan tarian pacul yang memiliki makna bersyukur pada leluhur kerena telah memberi panen yang melimpah.
Tidak hanya sanggar seni, ada juga perwakilan organisasi sekitar Ende yang turut menyumbang penampilan.
Acara hari terakhir diisi dengan Gawi bersama-sama.
Gawi adalah tarian tradisional suku Lio yang memiliki arti persatuan tanpa batas.
Tarian ini dilakukan seluruh peserta upacara adat dengan cara saling berpegangan tangan dan membentuk lingkaran tanpa putus yang menandakan kebersamaan.
Rangkaian upacara adat ini memang sengaja diatur menjelang tanggal 17 Agustus.
Bagaimanapun juga, Kota Ende—juga Danau Kelimutu—tidak bisa lepas dari sosok Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia.
Sejak diasingkan ke Ende, Soekarno kerap mengunjungi Kelimutu untuk mencari inspirasi.
Oleh karena itu, selain untuk menghormati para leluhur, Pati Ka Dua Bapu Ata Mata juga bertujuan untuk memohonkan keselamatan bangsa.
Kelimutu memang masih menyimpan sejuta misteri di tengah keindahannya yang mendunia.
Selain menjadi kewajiban suku Lio untuk para leluhurnya, upacara adat ini diharapkan bisa menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Jadi jika Anda sudah memiliki keinginan berkunjung ke Kelimutu, pastikan Anda datang pada tanggal 14-16 Agustus ya!