Membersihkan Diri Agar Terhindar dari Marabahaya Setelah Melahirkan dengan Tradisi Mandi Abalisi

Moh Habib Asyhad

Editor

Tradisi mandi Abalisi
Tradisi mandi Abalisi

Intisari-Online.com -Tiap daerah di Indonesia punya upacara bersih-bersih dirinya masing-masing. Jika di Jawa kita mengenal tradisi Padusan, maka di masyarakat Daya ada mandi Abalisi. Ini adalah tradsi bersih-bersih diri agar terhindar dari marabahaya, terutama bagi para ibu yang melahirkan.

Mandi Abalisi adalah tradisi untuk menghormati para perempuan Dayak yang meninggal karena melahirkan.

(Lorong Masa: 5 Permainan Tradisional yang Melegenda)

“Abalisi itu bahasa Dayak Agabag yang artinya terhindar dari marabahaya. Ini tradisi bagi seluruh perempuan Dayak Agabag untuk mandi membersihkan diri di sungai dengan tujuan terhindari dari sial,” ujar Muriono, Sekjen Pemuda Penjaga Perbatasan yang juga warga Agabag di Kecamatan Lumbis Ogong, Nunukan, Kalimantan Utara, kepada Kompas.com, Sabtu (11/3).

Salah syarat melaksankan mandi Abalisi adalah, ketika tradisi ini dilakukan, para perempuan Dayak Agabag akan menyunggi duan talas di atas kepala mereka sambil berjalan menuju sungai desa.

“Kemarin ada salah satu warga kami yang meninggal saat melahirkan. Makanya perempuan Dayak Agabag pagi ini melaksanakan tradisi mandi Abalisi,” imbuh Muriono.

Selain untuk menghormati perempuan yang meninggal karena melahirkan, mandi Abalisi juga merupakan kesadaran perempuan Dayak Agabag terhindari dari kematian saat melahirkan. Dengan melakukan ritual ini, mereka berharap tidak ada lagi seorang ibu yang kehilangan nyawanya saat melahirkan.

Angka kematian yang tinggi

Sebagai informasi, angkat kematian ibu melahirkan di suku Dayak Agabag masih sangat tinggi. Hal ini, salah satunya disebabkan oleh masih minimnya infrastruktur kesehatan di wilayah tersebut.

Untuk beberapa kasus melahirkan yang butuh penanganan medis seperti operasi caesar, warga Lumbis Ogong harus menempuh jarak ratusan kilometer menuju puskesmas m maupun rumah sakit di kabupaten tetangga, Kabupaten Malinau. Pasalnya, Rumah Sakit Umum Kabupaten Nunukan letaknya lebih jauh lagi dari Kecamatan Lumbis Ogong.

(Menikmati Rendang Kerbau ala Suku Dayak)

“Kalau ke Malinau jaraknya 4 jam dengan biaya transport Rp1 juta. Kalau ke Nunukan butuh waktu hingga 15 jam dengan biaya transportasi Rp10 jutaan,” kata Muriono.

Jalan menuju puskesmas maupun ke rumah sakit juga bukan jalan yang mudah dilalui karena infrastruktur jalan yang juga minim di wilayah perbatasan.

Jika perempuan yang akan melahirkan berasal dari desa di pedalaman yang harus menempuh jalur sungai dulu sebelum mencapai kecamatan, maka biaya trasnportasi dan waktu yang dibutuhkan menuju rumah sakit terdekat juga akan lebih besar lagi.

“Meski sudah ada jalan trans Kalimantan, tapi kondisinay rusak parah,” kata Muriono.

Bagi perempuan yang meninggal saat melahirkan, warga Dayak Agabag juga memberi perlakuan khusus. Mereka biasanya mengganti nama perempuan yang meninggal saat melahirkan tersebut dengan nama natalan.

Dalam bahasa Dayak Agabag, nama natalan artinya melahirkan dengan bertaruh nyawa.

Dia bercerita, pada hari Jumat (10/3), Natalan, warga Desa Sebuku, terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Umum Kabupaten Malinau karena kesulitan melahirkan. Bayi yang dikandungnya sungsang sehingga membutuhkan penanganan medis secepatnya.

Meski sempat mendapatkan penanganan operasi caesar, nyawa Natalan tidak tertolong. Lamanya perjalanan dari Sebuku menuju Rumah Sakit Umum Kabupaten Malinau membuatnya kehabisan tenaga. Namun, sang jabang bayi lahir dengan selamat.

Artikel Terkait