Advertorial

Ternyata Banyak Jenis Gula yang Bergentayangan di Sekeliling Kita dan Lebih Manis Dibanding Gula Tebu

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Intisari-Online.com – Diam-diam ternyata ada 19 jenis gula yang beredar di sekeliling kita. Sebagian besar aman saja kita makan, tapi beberapa di antaranya dilarang pemakaiannya di negara asalnya.

Apa pengganti gula yang dilarang ini? Simak tulisan Slamet Soeseno di Majalah Intisari edisi September 1987 berikut ini.

--

Orang Barat yang suka menulis sejarah mengenal gula pertama kali dari kisah Nabi Nuhl. Ketika itu ada seseorang yang tidak bisa disebut namanya, yang makan buah anggur masak lalu menggumam, "Lho kok manis! Apa biang keroknya ini?"

Jawaban yang beredar ialah: "Rasa manis itu, gara-gara gula dalam buah masak!"

Baca juga: Inilah 10 Khasiat Gula Merah, Salah Satunya Meningkatkan Kualitas Sperma

Itu semua nenek-nenek juga tahu!

Kemudian ternyata bahwa gula buah-buahan itu ada dua jenis; glukosa dan fruktosa. Ini tidak semua nenek tahu.

Glukosa dalam buah terbentuk karena kerja butir klorofil dalam daun, dengan bantuan penuh dari sinar matahari. Proses yang terkenal sebagai fotosintesis ini dimaksudkan untuk menghasilkan sumber tenaga bagi tanaman yang bersangkutan.

Jadi bisa menjalankan proses biokimia dalam tubuh sebagaimana mestinya.

Baca juga: Kelola Gula Darah Dengan Diet Rendah Karbohidrat

Fruktosa ialah glukosa juga, tapi yang berubah susunan molekulnya. Atom-atom penyusun molekul itu tetap sama. Ada karbon 6 butir, hidrogen 12 biji dan oksigen 6 buah.

Bagi tanaman, perubahan struktur molekul, (yang di kalangan kimiawan dikenal sebagai stereoisomeri), itu dimaksudkan agar gula sumber tenaga bisa tahan lama disimpan (dalam buah) sebagai bekal untuk benih calon tanaman baru. Akan tetapi bekal ini sering sekali dicuri orang.

Fruktosa (dari fructus latin, gara-gara dikira cuma ada dalam buah) ternyata terselip juga dalam madu. Namun, madu sebenarnya ya kumpulan berbagai gula berasal dari tanaman juga. Itu dicuri oleh. lebah sebagai nektar (sari bunga), kemudian dipekatkan dalam sarang.

Maksudnya untuk disimpan sebagai persediaan bahan makanan. Namun biasanya juga dicuri oleh orang.

Baca juga: Maksud Hati Ingin Beli Laptop, Pria Ini Kaget Isinya Malah Gula Pasir!

Maka,imasyarakat kuno di bumi belahan barat dulu Cuma bisa menikmati dua jenis gula. Gula yang dimakan bersama buah-buahan dan madu yang diperas dari sarang tawon.

Gula rumput setinggi orang

Pada zaman Alexander “The Great” (Iskandar Dulkarnaen) menyerbu Persia tahun 527, orang Barat berkenalan dengan gula baru. Wartawan perang yang meliput pertempuran Dulkarnen melaporkan dari garis 'dipan' bahwa di Persia ada rumput setinggi orang yang bisa 'menghasilkan madu' begitu saja. Tidak usah pakai tawon.

Dari mana asal usul 'rumput' penghasil gula itu, sampai sekarang tidak pernah jelas. Dari buku Hindu kuno Atharwa Weda kita cuma tahu bahwa rumput raksasa yang disebut tebu (dari suku Graminae) itu sudah diusahakan orang di daerah aliran Sungai Silugonggo. Tidak jelas juga bagaimana mereka dulu mengolah tebu menjadi gula.

Gula tebu terbentuk karena glukosa hasil fotosintesisnya digabung dengan fruktosa stereoisomer-nya. Molekul baru yang dikenal sebagai sakarosa ini lebih manis, karena kemanisan glukosa diperkuat oleh manisnya fruktosa.

Baca juga: Mana yang Lebih Berbahaya? Kebanyakan Garam atau Kebanyakan Gula?

Pulau Jawa dilanda tebu kira-kira tahun 400. Seorang turis Tiongkok yang melancong ke Jawa melihat ada kebun tebu di pesisir utara dan mencatatnya sebagai berita besar, tapi tidak jelas bagaimana riwayatnya tebu India itu bisa sampai ke Pulau Jawa.

Yang jelas, sari tebu itu sesudah diperas dari batangnya digodok dalam wajan supaya menguap airnya. Hasil rebusan berupa sirup kental kemudian dicetak dalam potongan batang bambu dan dipasarkan sebagai gula merah. Ada juga yang dicetak dalam batok kelapa, tapi ini diedarkan sebagai gula jawa.

Industri gula tebu kemudian berkembang pesat dengan teknologi maju awal abad ke-20, sampai Pulau Jawa dikatakan 'mengapung di atas gula'. Kemakmurannya berkat devisa hasil ekspor gula pasir.

Dalam pabrik gula, cairan sakarosa yang diperas dari batang tebu Saccharum officinarum itu digodok bersih lalu diputar dalam centrifuge, teromol pemusing, sambil didinginkan supaya mengkristal.

Baca juga: Tidak Hanya Gigi Berlubang, ini 5 Tanda Anda Telah Mengonsumsi Gula Secara 'Brutal'

Kristalnya terpelanting melalui lubang-lubang halus dinding centrifuge itu lalu rontok seperti pasir. Itu dikeringkan lebih lanjut dan diayak untuk memperoleh 'pasir' yang seragam.

Pada waktu dikeringkan ini ada sebagian yang tidak bisa bertahan sebagai bentuk pasir terus, tapi menggumpal seperti batu, gara-gara air yang tersekap antar-mereka tak bisa lolos. Tak usah ribut.

Ini masih bisa dijual sebagai pemanis juga. Kebanyakan untuk menggulai jamu nenek moyang pahit-pahit. Gula batu bisa menurunkan suhu badan penderita demam, karena gumpalan gula sakarosa yang besar memang besar juga dayanya menyerap suhu (panas) dari lingkungan sekitarnya.

Gula semut dan palmsuiker

Tidak semua orang ternyata mampu beli gula pasir putih bermutu ekspor yang mahal itu. Untuk melayani pasaran gula murah, rakyat daerah tebu yang tebunya tidak diterima oleh pabrik penggiling modal asing, mengolah sari tebunya menjadi gula merah saja.

Baca juga: Karena Harga Gula Mahal, Dulunya Permen Hanya Dimakan oleh Bangsawan

Sayang, gula ini tidak tahan disimpan lama. Lalu ada yang mengolahnya seperti dalam pabrik. Yaitu diuapkan dalam tong yang bagian dalamnya diberi garpu pengaduk dari besi yang bisa diputar. Mirip dengan pemutaran cairan gula dalam centrifuge pabrik gula.

Sirup tebu yang sudah digodok dituang ke dalam tong bergarpu ini. Sesudah diputar garpunya, uap air dari sirup itu keluar banyak sekali sampai gula yang tinggal menjadi mawur, beremah-remah.

Mirip gula pasir, tapi kuning keemas-emasan warnanya. Harganya jelas lebih murah karena tidak perlu obat pemutih dan buruh pabrik. Cocok untuk pasaran daerah pegel (penduduk golongan ekonomi lemah).

Dari jauh gula pegel ini seperti kumpulan semut merah. Lalu ada yang menyebutnya gula semut. Namun, dulu orang menyebutnya gula tanjung karena warnanya mirip bunga tanjung.

Baca juga: Nenek 70 Tahun Ini Selama 28 Tahun Tak Mengonsumsi Gula, Kini Lihatlah Hasilnya yang Sungguh Luar Biasa

Sebelum zaman keemasah gula tebu. dulu, nenek moyang zaman Majapahit kita mengenal gula kelapa dan gula aren. Gula ini ya sakarosa juga, yang disadap dari tangkai karangan bunga jantan kelapa atau aren. Semuanya dari suku Palmae.

Sesudah nira (cairan sari tangkai bunga) itu direbus supaya menguap airnya, sirup kental yang terbentuk dicetak dan dikeringkan lebih lanjut. Kalau dicetak dengan batok kelapa, hasilnya disebut gula batok, kalau berasal dari aren.

Atau gula kelapa, kalau memang dari kelapa. Kalau dicetak dengan potongan bambu, hasilnya dipanggil gula golong. Nama-nama ini dulu diciptakan oleh nenek moyang kita, supaya tidak kacau dengan gula merah (tebu) yang dicetak dengan potongan bambu, dan gula Jawa yang dicetak dengan batok kelapa.

Masih ada bentuk lain dari gula asal kelapa yang tidak mungkin dicarikan nama Indonesianya; yaitu palmsuiker. Paling-paling hanya bisa diindonesiakan menjadi palem seker. Ini bukan gula kelapa, meskipun berasal dari kelapa, tapi sekali dibunyikan palem seker, tetap jadi palem seker sampai sekarang.

Baca juga: Meski Bukan Diabetes, Ini 7 Tanda Tubuh Anda Terlalu Banyak Mengonsumsi Gula

Bentuknya seperti suiker (gula pasir), tapi warnanya seperti gula kelapa. la terbentuk karena pada waktu nira direbus ada sejumlah gula yang mengkristal di tepi wajan, sementara di bagian lain masih berupa sirup.

Kristal-kristal itu diserok dan dijemur kering lebih lanjut menjadi palem seker. Ternyata lebih laku dijual daripada gula batok atau gula kelapanya.

Dulu untukmelayani kaum Indo Belanda zaman penjajahan, yang terpaksa sarapan roti seperti orang tua mereka yang Belanda, tapi tidak bisa melepaskan hobinya menikmati gula kelapa seperti orang tua mereka yang Indonesia. Palem seker ini dijepit di antara dua keping roti tawar yang diolesi mentega.

Tidak menggigit

Sebagai pemanis makanan dan minuman sederhana, gula pasir tebu dan gula batok kelapa memang sudah memuaskan. Namun, untuk membuat es krim yang nikmat, cake bidadari yang cantik, buah kaleng yang tidak nek, dan gula-gula yang tidak nedas (menggigit), dipakai gula glukosa.

Baca juga: Merah Putih Pernah Disebut Gula Kelapa Pada Masa Kerajaan Mataram, Apa Sebabnya?

Glukosa dari sumber alam yang siap pakai tidak ada yang bisa ditemukan cukup banyak, sehingga tidak mungkin diusahakan besar- besaran dengan murah. Apa boleh buat.

Dihasilkan dalam pabrik saja, dari zat pati tepung jagung (di Amerika) atau tepung kentang (di Eropa). Itu dilarutkan dalam air yang dibubuhi asam klorida encer dan dipanaskan dalam alat pengubah dengan tekanan uap.

Tepung itu berubah menjadi glukosa. Sesudah diputihkan dan dikristalkan dalam bentuk murni, gula ini dijual sebagai dextropur, glucolin atau dextrose. la bisa kita beli berupa kristal putih seperti gula pasir tapi lembut sekali. Terutama pada pedagang farmasi yang mengimpornya untuk menggulai obat-obatan.

Untuk menggulai es krim dan cake disediakan gula dextrose yang tidak perlu murni benar, berupa sirup kuning coklat. Harganya lebih murah dan diedarkan sebagai commercial glucose, tapi di warung meracang ia lebih dikenal sebagai gula bebeko atau weweko.

Baca juga: Jika Anda Berhenti Mengonsumsi Gula, 7 Hal Inilah yang Akan Terjadi pada Tubuh Anda

Dengan gula ini rasa lain seperti coklat, buah-buahan dan Iain-lain yang ingin dinikmati juga dalam es krim, cake atau gula-gula, masih bisa terasa jelas. Tidak tenggelam habis dilanda manisnya gula.

Sakarin yang disalahgunakan

Pada tahun 1879 ditemukan saccharin oleh Remsen dan Fahlberg dari asam ortosulfamoyl benzoat, berasal dari toluena dalam ter atau minyak tanah. Manisnya 500 kali gula sakarosa tapi tidak mengandung kalori. Jadi tidak bikin gemuk orang gendut.

Sejak tahun 1900 ia dijual sebagai tablet kecil atau berupa serbuk untuk melayani para penderita diabetes. Meskipun tidak mutlak perlu, namun sakarin ini berguna sekali untuk membuat makanan diit mereka lebih nyaman, sehingga bisa dinikmati. Jadi lebih gampang ditaati.

Orang gemuk yang ingin melangsingkan tubuh kemudian ikut memakai gula ini. Sakarin dipakai secara luas dalam soft drink diit pelangsing tubuh, sejak tahun 1950. Karena meninggalkan rasa agak pahit, ia dulu selalu dicampur dengan siklamat.

Baca juga: Berikut adalah Cara Detoks Paling Ampuh Agar Tubuh Bebas dari Gula dan Membantu Meningkatkan Kesehatan, Hanya dalam 3 Hari!

Sampai siklamat ini dilarang pemakaiannya dalam minuman botolan atau kalengan pada tahun 1970. Ini terjadi di Amerika sana.

Sejak tahun 1970 itulah, sakarin kemudian merupakan satu-satunya pemanis sintetik yang dipakai dalam industri makanan dan minuman yang irit. Apa saja dimaniskan dengan bahan ini; pasta gigi, obat kumur, tembakau pipa, tablet vitamin, soft drink.

Lalu tiba-tiba pada tahun 1972, Food and Drug Administration Amerika mencoret sakarin dari daftar bahan-bahan gras (Generally recognised as safe).

Sejak bahan itu kemudian diketahui menimbulkan kanker kandung kemih pada tikus percobaan di Kanada tahun 1977, maka FDA Amerika tidak hanya mencoret, tapi melarang sama sekali pemakaiannya dalam makanan kalengan.

Baca juga: Jangan Sepelekan 6 Pertanda ini, Bisa Jadi Gula Darah Anda Tinggi!

Gemparlah rakyat Amerika yang melawan keputusan pemerintahnya. Terutama rakyat yang mempunyai saham pabrik makanan dan minuman pelangsing tubuh. Memang aneh. Pemerintah yang demi melindungi mereka sendiri itu justru mereka lawan.

Pemerintah Amerika terpaksa mengalah dan menunda berlakunya larangan itu selama delapan belas bulan. Kekuasaan di sana memang berada di tangan rakyat.

Selama penundaan ini, pemerintah yang malang itu dituntut untuk meneliti lebih saksama apakah sakarin memang benar menimbulkan kanker kandung kemih pada manusia. Tidak sekadar pada tikus-tikus saja. Apalagi tikus Kanada.

Sementara itu, semua bahan makanan kalengan yang diberi sakarin harus diberi peringatan tentang risiko menderita kanker kalau menelan sakarin sebagai makanan sehari-hari. Tentu saja ada yang menganggap sepi ketentuan ini.

Baca juga: Tak Disangka! Daun Pepaya yang Pahit Ternyata Punya Banyak Manfaat, Termasuk Turunkan Gula Darah

Siklamat yang kontroversial

Pada tahun 1937, Michael Sveda, seorang mahasiswa University of Illinois, menemukan manisnya siklamat; sebuah garam natrium dan kalsiumdari asam sikloheksana sulfamat. Ia memang mahasiswa normal yang menormalkan kehidupan kampus.

Bahan itu tiga puluh kali lebih manis daripada sakarin dan sejak ditemukan cara pembuatannya secara komersial tahun 1950, ia diedarkan sebagai kristal putih mengkilat dengan nama sucaryl dan sucrosa.

Nama sucrosa ini memang curang, seolah-olah ia gula sakarosa seperti gula tebu. Padahal bukan. Bertahun-tahun ia dianggap aman, sampai pada akhir tahun 1960 ada berita bahwa ia pun menimbulkan tumor kandung kemih pada tikus percobaan, kalau dipakai secara berlebihan. Kali ini tikus Amerika sendiri yang terlibat. Bukan tikus luar negeri!

FDA lebih berhati-hati. Baru sepuluh tahun kemudian (dan tidak tiba-tiba) badan itu melarang pemakaian siklamat sebagai pemanis. Yaitu sesudah masyarakat sendiri mulai tidak suka padanya.

Baca juga: Tak Disangka! Rumput Teki Ampuh Sebagai Obat Herbal, Tanggulangi Darah Tinggi Hingga Kista

Jadi tidak ada protes dari mereka. Mungkin karena rasa manis siklamat memang agak aneh, sehingga kalau dilarang orang tidak berkeberatan.

Sejumlah penelitian lanjutan tentang siklamat yang menunjukkan bahwa bahan itu bukan bahan karsinogen (pencetus kanker) kemudian disalahgunakan oleh beberapa pedagang di luar Amerika, untuk tetap mengedarkan sucrosa, yang sebenarnya sodiumsiklamat itu.

Terutama di negara-negara yang sedang berkembang (dulu disebut negara yang tidak maju-maju).

Kita sebagai konsumen diharap waspada sendiri saja (masing-masing), jangan sampai berlebihan makan jajanan yang digulai dengan sucrosa atau sucaryl, seperti getuk lindri, klepon, sirup sintetik, dan lain jajan pasar golongan ekonomi lemah.

Baca juga: Terlehat Lebih Bersih, Jangan-jangan Gula Pasir Anda yang Berwarna Putih Itu Gula Rafinasi

Steviosid dan aspartam

Pada tahun 1955 Wood dan beberapa kawannya menemukan stevioside dari daun cahehe. Ini sebutan orang Indian perbatasan Paraguay, Brasil dan Argentina bagi Stevia rebaudiana; sejenis semak dari suku Compositae.

Manisnya 300 kali gula tebu dan ia juga tidak berkalori seperti sakarin dan siklamat. Hanya sayang, rasa manisnya tercampur rasa sepet dan langu.

Namun, karena lebih aman dipakai, bahan ini beredar pesat sampai industriawan gula Jepang minta bantuan pengusaha Taiwan, Malaysia dan Indonesia untuk menghasilkan daun stevia secara besar-besaran di kebun negeri masing-masing.

Hasilnya diekspor ke Jepang dalam bentuk daun kering. Sejauh ini baru Jepang yang terdengar santer mengusahakan jenis gula ini. Di Amerika, bahan itu tidak mendapat sambutan hangat. Mungkin karena rasa manisnya meninggalkan rasa sepet dan langu itu.

Baca juga: Mengonsumsi Terlalu Banyak Gula Meningkatkan Risiko Alzheimer

Untunglah pada tahun 1965 Hardy dan kawan-kawannya menemukan pemanis baru, aspartame. Sebuah metil ester dari asam amino karboksifenetil suksinat. Asam amino suksinat ini dikenal juga sebagai asam aspartik.

Lalu gugusannya yang menempel pada fenilalanina di-prokem-kan sebagai aspartil. Dari nama aspartil fenilalanina metil ester inilah kemudian tercipta nama dagang aspartame (diindonesiakan sebagai aspartam).

Ia dijual dalam bentuk kristal putih dan 160 kali lebih manis daripada gula tebu. Jelas ia berkalori rendah juga seperti sakarin dan siklamat, tapi tidak menimbulkan penyakit kanker. Lagi pula tidak sepet atau langu seperti cahehe.

Mungkin aspartam inilah yang mempunyai harapan cerah sebagai pemanis sintetik yang aman untuk industri jajan pasar, makanan kalengan dan minuman diit di kemudian hari. Juga di Indonesia.

Baca juga: 10 Barang Biasa yang Harganya Tak Masuk Akal, Termasuk 3 Butir Gula Seharga Rp1,6 Juta

Artikel Terkait