Advertorial

Sejarah Stetoskop, Dibuat Agar Telinga Dokter Tak Menempel di Dada Pasien

K. Tatik Wardayati
Mentari DP

Tim Redaksi

Alat kedokteran ini dibuat untuk memeriksa tubuh kita saat sakit, untuk mendeteksi jenis buni yang terjadi di dalam tubuh.
Alat kedokteran ini dibuat untuk memeriksa tubuh kita saat sakit, untuk mendeteksi jenis buni yang terjadi di dalam tubuh.

Intisari-Online.com – Saat menderita sakit dan dokter memeriksa tubuh kita dengan stetoskop, sesekali pastilah pernah terpikir: bunyi apa sih yang didengar dokter?

Kelainan di tubuh memang bisa dideteksi dari beberapa jenis bunyi yang ada di dalam tubuh (istilahnya auskultasi) terutama dari bunyi jantung dan paru-paru.

Berdasar manuskrip yang tertulis di papirus, cara ini malah sudah dilakukan sejak zaman Mesir Kuno, 17 abad Sebelum Masehi.

Bapak kedokteran, Hippocrates, juga mengguncang-guncang tubuh pasiennya (succussion) dan mendengar bunyi di dada, untuk menentukan suatu kelainan.

Sampai beberapa abad kemudian, cara Hippocrates yang hidup tahun 350 SM itu, masih diikuti para dokter.

Baca juga: Sinar Rontgen, Bisa Menembus Dada tapi Sangat Berguna untuk Dunia Kedokteran

Hingga akhirnya seorang dokter muda Prancis, Rene Theophile Hyacinthe Laennec menemukan stetoskop, tahun 1816.

Ceritanya, Laennec yang sedang memeriksa seorang gadis kecil, teringat bahwa bunyi bisa melewati ruang pada gulungan ketas.

Diambilnya 24 lembar kertas, digulung, lalu ujungnya ditempelkan di dada pasien. Sedangkan ujung yang lain didekatkan di lubang telinganya sendiri.

Aha! Bunyi jantung pasiennya terdengar jelas!

Awalnya Laennec menamai alat temuannya sederhana saja: silinder (le cylindre).

la menyesal ketika ternyata ada koleganya yang secara kreatif menamainya stetoskop, berasal dari bahasa Yunani stetos (dada) dan skope (pemeriksaan).

Catatan medis tentang auskultasi melalui stetoskop itu sendiri baru dilakukan 8 Maret 1817, saat Laennec memeriksa Marie-Melanie Basset, pasiennya yang berusia 40 tahun.

la akhimya malah membuka toko sekaligus bengkel kerja stetoskop di rumahnya.

Baca juga: Meski Hidup dalam Segala Keterbatasan, Remaja Ini Berhasil Raih Beasiswa untuk Kuliah di Kedokteran Gigi UGM

Stetoskop generasi awal pada abad 19 berbentuk mirip terompet, lurus, dan disebut sebagai stetoskop monaural. Tubuhnya terbuat dari kayu seperti kayu cherry, serta gading.

Panjangnya bervariasi antara 4 - 1 5 inci, dengan diameter 1,5 inci. Umumnya stetoskop terdiri atas dua bagian yang bisa dipisahkan ketika disimpan.

Sampai sekarang stetoskop model binaural masih dipakai, terutama di kawasan pedalaman dan pedesaan, seperti di Eropa, Amerika Latin, termasuk Indonesia.

Awal tahun 1850 mulai dirancang stetoskop yang bisa didengarkan oleh dua lubang telinga atau stetoskop binaural.

Idenya sendiri sudah ada tahun 1829, atau 13 tahun sejak penemuan Laennec.

Nicholas Comins, sang penemu, hanya ingin dokter tidak kerepotan saat memeriksa pasien, sehingga perlu stetoskop yang fleksibel.

Baca juga: Belajar Anatomi Langsung dari Museum Tubuh Bagong Adventure Malang, Anak-anak Juga Bisa Belajar Dunia Kedokteran

Dibandingkan dengan stetoskop zaman sekarang, stetoskop binaural angkatan awal ini sebenarnya masih kaku. Bentuknya masih pipa, hanya memiliki semacam pemutar.

Stetoskop "dua telinga" terus dikembangkan selama puluhan tahun.

Mulai dari ujungnya yang masih berbentuk moncong trompet, memiliki dua ujung, sampai pemakaian membran atau seperti yang lazim dipakai sekarang.

Bahannya mulai dari yang kaku seperti kayu, sampai yang lentur semacam karet dan plastik.

Pemakaian stetoskop memang membantu dokter dan memajukan ilmu kedokteran. Tapi di sisi lain, bisa "menyusahkan" dokter juga.

Lantaran bunyi yang didengar seorang dokter bisa sangat subjektif, karena bergantung dengan indera pendengaran dan situasi di sekitar ruang pemeriksaan.

Dokter harus cermat kalau tidak ingin pasiennya menjadi gawat.

Teknologi komputer akhirnya menjawab persoalan. Dikembangkanlah stetoskop elektronik, yang mampu merekam bunyi di tubuh pasien.

Hasilnya bisa dibuat semacam pola bunyi dan kecenderungannya ke arah kelainan tertentu. Analisis juga bisa dilakukan beberapa dokter, sehingga lebih akurat. [dari pelbagai sumber/Tj – Intisari Mei 2009]

Baca juga: Mahasiswa Kedokteran Menggunakan Google Glass untuk Mengoperasi Pasien

Artikel Terkait