Meski Hidup dalam Segala Keterbatasan, Remaja Ini Berhasil Raih Beasiswa untuk Kuliah di Kedokteran Gigi UGM

Ade Sulaeman

Penulis

Lisa Paputungan dan ayahnya Isnan Paputungan saat dirumahnya di Desa Kotabunan, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara. (Foto dokumentasi Humas UGM)
Lisa Paputungan dan ayahnya Isnan Paputungan saat dirumahnya di Desa Kotabunan, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara. (Foto dokumentasi Humas UGM)

Intisari-Online.com - Di sebuah kursi sofa yang lusuh, tangan Lisa Paputungan memeluk erat tubuh ayahnya, Isnan Paputungan (76).

Mata Isnan tampak berkaca-kaca mendengar putrinya semata wayang, Lisa Paputungan diterima di perguruan melalui jalur bidikmisi dan tanpa harus mengeluarkan biaya kuliah sepeser pun.

Isnan senang sekaligus sedih. Terbayang di benaknya ia akan jarang bertemu dengan putrinya. Sebab Lisa harus menempuh pendidikan perguruan tinggi di Yogyakarta, yakni UGM.

(Baca juga: Sudah Dua Tahun Kuliah di Inggris Bermodal Beasiswa, Apa Kabar Raeni si Anak Tukang Becak?)

"Saya senang, saya ingatkan agar Lisa selalu tetap bersyukur," kata Isnan seperti dalam pers rilis humas UGM, Rabu (14/06/2017).

Seraya menggenggam ujung tongkatnya dengan sedikit gemetar, Isnan bercerita bahwa sejak usia 8 tahun, Lisa harus kehilangan ibunya, Tenti Paputungan yang meninggal dunia.

Lisa pun harus tinggal dengannya di sebuah rumah sederhana di Desa Kotabunan, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara.

Kehidupan Lisa dan ayahnya penuh perjuangan. Isnan yang sudah tua mulai sakit-sakitan. Bahkan beberapa bulan ini, pria lanjut usia ini sudah dipasang kateter akibat sakit prostat yang dideritanya selama puluhan tahun.

Keduanya hidup dalam segala keterbatasan dan miskin. Sehari-hari Lisa dan ayahnya hanya mengandalkan hasil dari kebun kopra.

(Baca juga: Elita Tirta Triningrum, Anak Nelayan yang Sukses Raih Beasiswa Penuh)

"Karena butuh biaya untuk berobat, kebun kopra satu satunya terpaksa harus saya dijual," tuturnya.

Seiring tubuhnya yang sudah mulai sakit-sakitan, Isnan menitipkan Lisa untuk diasuh oleh adik perempuan dari keluarga ibunya, Masita Paputungan. Masa kecil Lisa dihabiskan dengan hidup menumpang di rumah bibinya.

Pendidikan SD dan SMP diselesaikan Lisa di Boltim. Sebagai seorang guru, Masita selalu mengajarkan pada Lisa tentang pentingnya memanfaatkan waktu belajar.

"Sejak kelas empat SD, ia diasuh bibinya," tuturnya.

Pekerja keras

Lisa merupakan tipikal anak yang penurut dan giat dalam belajar. Ia tidak pernah berkecil hati dengan keadaanya, dan justru menjadi pelecut semangatnya untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Berkat ketekunannya dalam belajar, Lisa selalu mendapat rangking di sekolah. Lisa pun berhasil diterima di SMAN 1 Manado.

"Nilai ujian akhir cukup bagus dan bisa diterima di SMAN 1 Manado," tegas Lisa.

Jarak antara Boltim dengan Manado sekitar 144 kilometer. Dirasakan cukup jauh, Lisa akhirnya terpaksa harus tinggal di rumah salah seorang guru SMA yang mengajar di sekolahnya.

"Pulang pergi tidak memungkinan karena jauh. Saya tinggal di rumah salah seorang guru SMA," urainya.

Menurutnya, selama SMA, untuk biaya hidup dan biaya sekolah, Lisa mendapat beasiswa dari pemerintah lewat program Afirmasi Pendidikan Tinggi bagi putra-putri daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal (ADik 3T).

Tidak jarang di saat malam tiba, Lisa teringat akan ayahnya yang tinggal seorang diri di rumah. Ia kahawatir ayahnya jatuh sakit yang lebih parah.

Perasaan menyesal karena tidak selalu ada di samping Ayahnya seringkali hinggap di benaknya.

Namun kekhawatiran itu sedikit terobati ketika teringat di sekitar rumah di Boltim masih ada sanak famili yang selalu menengok ayahnya.

"Kadang kalau ingat ayah, saya sedih," katanya.

Lisa mengaku, saat mengeyam bangku SMA di Manado, ia selalu memegang pesan dari bibinya bahwa suatu saat kelak ia akan mampu membahagiakan orangtuanya apabila ia mampu menggapai cita-citanya.

"Pesan bibi selalu saya ingat. Bibi pernah berpesan kalau kamu nanti berhasil, kamu yang jaga semua (orangtua)," ujar Lisa mengulang pesan bibinya.

Ketika ada program masuk perguruan tinggi lewat jalur SNMPTN, Lisa ikut mendaftar.

Sebab ia meyakini dengan belajar setinggi-tingginya ia dapat meraih masa depan yang baik dan bisa membahagiakan ayahnya.

"Saya diterima di prodi pendidikan dokter gigi, Fakultas Kedokteran Gigi, UGM. Dokter Gigi adalah cita-cita saya," ucapnya.

Remaja yang memiliki prinsip "bertemanlah dengan orang-orang pintar, maka kita akan ketularan pintar," ini mengaku senang dan bersyukur karena cita-citanya bisa mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Gadjah Mada ( UGM) dapat tercapai.

Namun baginya, ini masih awal dan masih membutuhkan kerja keras demi meraih cita-citanya sebagai dokter gigi.

(Wijaya Kusuma)

Artikel ini sudah tayang di kompas.com dengan judul “Kerja Keras Anak Piatu Miskin Bisa Kuliah di Kedokteran Gigi UGM”.

Artikel Terkait