Advertorial

Begini Kemeriahan Pesta Reformasi ala Thailand

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Intisari-Online.com – Demonstrasi massa dengan isu politik tak harus berakhir dengan kekerasan dan aksi anarkistis. Kondisi inilah yang saya alami di Bangkok, Thailand, saat massa sedang menuntut mundur Perdana Menteri Yinluck.

“Hati-hati ya!” Begitu pesan yang selalu disampaikan sahabat, teman, saudara yang mengetahui situasi terakhir di Bangkok. Seperti dimuat di media massa, saat ini di Bangkok memang tengah “panas” oleh demonstrasi massa dari People’s Democratic Reform Committee (PDRC) yang menentang Perdana Menteri Yinluck.

Massa yang menamakan diri golongan Kaus Kuning itu menuntut pemerintahan dibersihkan dari klan mantan Perdana Menteri Shinawatra yang dinilai korup, sebelum pemilu kembali diadakan.

Siapa sih yang nyaman mendengar kata gerakan demonstrasi, mob, riot, aksi protes besar-besaran, atau apa pun itu istilahnya? Apalagi jika terkait isu politis, image-nya pasti mengacu pada tindak kekerasan.

Namun kenyataannya, bagi masyarakat sipil berkewarganegaraan asing seperti saya, semua baik-baik saja. Selama tidak mendekati titik-titik lokasi demo, boleh dibilang kehidupan 98% berjalan normal.

Baca juga: Tirani Lahir dari Demokrasi, Apakah Prediksi Mengerikan Plato akan Terjadi?

Sisa 2%-nya adalah polusi suara dari pusat aksi, adaptasi rute bepergian, atau saat sekolah anak diliburkan untuk alasan keamanan. Setidaknya hingga saat saya menulis artikel ini.

Menariknya, di sisi lain, saya menyaksikan fenomena budaya demo yang berbeda dengan yang selama ini saya ketahui. Sangat beradab, teratur, dan meriah.

Demo? Ah, mana demo?

Kira-kira begitulah ungkapan untuk menyatakan betapa kecilnya efek pergolakan politik ini terhadap kehidupan sehari-hari. Padahal saya tinggal kurang dari 1 km dari Perempatan Asok yang sering kali dijadikan pusat berkumpul para demonstran.

Sebagai kota besar dengan alternatif moda transportasi dan rute yang banyak, masyarakat Bangkok pun seolah terbiasa dengan pergolakan politik semacam ini (walaupun tahun ini memang tergolong besar).

Walhasil, mereka yang tidak berdemo akan normal saja aktivitas sehari-harinya. Mal, sekolah, kantor, lokasi wisata, fasilitas umum buka seperti biasa dengan penyesuaian jam buka bila diperlukan.

Baca juga: Demi 'Lindungi Demokrasi dari Campur Tangan Asing', Pemerintah AS Sahkan Undang-undang Pelarangan Kaspersky Lab

Jika terjadi demo di titik-titik lokasi tertentu, beberapa area menjadi lebih lengang. Pada momen 13 Januari 2014 yang dikenal dengan “Bangkok Shutdown”, jalanan yang biasanya macet berubah sepi layaknya Car Free Day.

Pada hari itu, seorang kawan berhasil membuat rekor perjalanan dari pusat kota ke Bandara Swarnabhumi kurang dari 30 menit. Artinya, sepertiga dari waktu tempuh normal.

Kalau perempatan Asok digunakan untuk aksi, saya masih memiliki alternatif rute berkendaraan. Jika demonya berskala kecil, masih tersisa ruang sehingga kendaraan tetap bisa lewat. Tapi kalau terhalang perkemahan massa atau panggung raksasa, masih ada Bangkok Sky Train, MRT, ojek, atau jalur sungai.

Pemerintah juga memperhatikan kepentingan para pengguna sarana transportasi. Misalnya menyediakan hotline pengaduan untuk tukang ojek nakal agar tidak menaikkan ongkos gila-gilaan.

Tourism Authority of Thailand (TAT) aktif menyebarkan informasi seperti rute dan jadwal demo, membuat loket help center di bandara dan stasiun. Bahkan ada ganti rugi AS$100 per hari bagi turis yang gagal meninggalkan Thailand gara-gara terhambat aksi protes ini.

Baca juga: Menurut Survei, Mayoritas Masyarakat Inginkan Demokrasi Pancasila Jadi Perekat Bangsa

Para pemrotes sendiri selalu memberikan informasi jadwal dan rute yang jelas menjelang aksi, sehingga warga dapat menghindarinya. Informasi dalam bahasa Inggris itu juga disebar lewat media sosial. Tapi kalau memang diperlukan, para pemrotes bersedia membuka jalur khusus agar ambulans atau bus turis dapat aman melewati area yang diblokade.

Khao San Road, tujuan utama kebanyakan turis asing, kebetulan bukan merupakan kawasan demo. Karena itu jarang sekali keluhan dari turis walau unjuk rasa berlangsung berbulan-bulan. Aksi-aksi raksasa sangat bisa dihindari, kecuali kalau kita sengaja mendatanginya.

Mbak-mbak kantoran ikutan

Berbagai media menyebut, demo tahun ini sangat santun. Berbeda dengan demo serupa 2010 lalu. Barangkali karena berbeda dalang dan pelaku. Grup kaus kuning yang mendominasi PDRC adalah masyarakat intelek dan mapan, kebanyakan dari Bangkok.

Mereka cenderung teratur dan tak mudah terseret tindakan anarkistis. Mereka cuma bersenjatakan peluit, karena mengklaim diri sebagai whistleblower.

Menu acara demo biasanya mendengar orasi atau menonton pergelaran hiburan di atas panggung. Di sela-sela orasi, ribuan pemrotes kemudian serempak meniup peluit atau bersorak. Tak heran bila hotel-hotel di dekat lokasi protes kini menyediakan penutup telinga agar tidak terganggu suara peluit atau musik dari panggung.

Baca juga: Social Media, Pilar Kelima Demokrasi?

Ada pula pemrotes yang berasal dari luar kota, seperti wilayah Selatan. Mereka tidur di tenda atau menggelar alas tidur di mana saja. Tapi “perkemahan” ini serba rapi.

Fasilitas untuk mereka juga lumayan lengkap, seperti toilet, ambulans, posko kesehatan, posko makanan, posko baju, serta atribut demo. Bahkan dapur umumnya juga menyediakan makanan halal, padahal Muslim Thailand hanya 5% dari jumlah penduduk.

Para pemrotes ini juga tak terlihat emosi, marah atau bersikap dingin.Biasa saja. Menurut saya mereka justru tampak bersemangat, seperti sedang berpesta rakyat. Berfoto bersama, bercakap-cakap, jalan-jalan sekitar lokasi, atau belanja.

Apalagi sore hingga malam, ada musik dan joget-joget di atas panggung knock-down modern dengan sound system kelas berat.

Kendati tidak berkesempatan melihat seluruh titik demo, saya melihat sendiri bahwa area Pratunam (depan mal MBK) dan Asok sama sekali tidak dijaga polisi atau militer secara resmi. Padahal keduanya termasuk pangkalan besar. Petugas keamanan berasal dari kalangan pendemo sendiri.

Baca juga: Mendidik Anak Berdemokrasi

Polisi dan tentara lengkap dengan mobil antipeluru justru terlihat di lokasi aksi damai, yang dilakukan masyarakat pendukung diadakannya pemilu yang berseberangan dengan grup Kaus Kuning ini.

Mengusung slogan “respect my vote” grup tandingan ini hanya berkumpul tenang, menyulut lilin bersama-sama, kemudian bubar.

Peserta demo lumayan majemuk, dari berbagai tingkat ekonomi, profesi dan usia. Dari rakyat jelata, tokoh masyarakat, hingga selebritas. Pada jam makan siang, mbak-mbak kantoran dengan rok mini dan sepatu cantik ikut turun ke jalan.

Di bawah lindungan payung atau kacamata hitam tentunya, agar kulit terjaga cantik. Usai jam kerja, biasanya peserta demo akan meningkat, karena para pekerja bergabung.

Beberapa kantor, khususnya perusahaan lokal, kadang harus “merelakan” pegawainya tidak masuk atau pulang cepat bila mereka hendak turut dalam aksi. Beberapa kawan sekolah anak saya juga pernah diajak orangtuanya turut berkumpul di lokasi aksi.

Baca juga: Demokrasi Jalanan Jokowi Juga Diimpor Jepang

Mereka mengunggah fotonya di Facebook. Meriah, dengan kepala penuh aksesoris pita-pita, face painting, topi, kacamata dan baju beraksen warna bendera Thailand.

Konvoi para pemrotes di jalan-jalan utama kota Bangkok memang sering kali mengesalkan. Tapi memandangi konvoi yang mirip karnaval ini terlihat amat seru. Kostum dan atribut meriah, bendera yang berkibar-kibar, serta pengeras suara yang dipasang pada mobil.

Pemimpinnya juga terus tersenyum melambaikan tangan dan pengikut parade juga tampak senang.

Begitu simpatiknya aksi ini, tak heran bila terkadang di tengah-tengah perjalanan, mendadak menyelip turis atau warga setempat yang nebeng turut berfoto. Padahal turis atau ekspatriat sebetulnya dilarang bergabung dalam kegiatan berpolitik. Ancamannya bisa dideportasi.

Objek wisata demo

Saya sendiri sempat deg-degan saat menemani seorang kawan dari Indonesia, yang kebelet melihat orang demo di Bangkok. Padahal beberapa hari sebelumnya ada berita di media tentang timbulnya korban jiwa. Akhirnya saya mampir juga ke lokasi protes, lantaran kebetulan harus lewat.

Baca juga: Inilah Partai Peserta Pemilu 2019 dengan Uang Terbanyak Menurut Hasil Survei

Saya pilih pagi hari, saat lokasi sepi dari kegiatan karena kebanyakan demonstran kembali pada rutinitas sehari-hari. Di sana ternyata bukan hanya saya, warga negara asing yang bertandang ke tempat tersebut.

Ada sekeluarga bule dengan kereta bayi, berfoto dan melihat-lihat kios cendera mata. Atau rombongan orang Jepang asyik memilih-milih barang di lapak atribut demo. Ah, ini seperti wisata demo saja.

Komentar bermajas ironi dari seorang kawan warga Indonesia: “Ini sih festival rakyat, namanya. Thailand mesti belajar sama orang-orang kita kalau mau demo beneran.”

Setuju atau tidak ? Entahlah. Yang pasti, terlepas dari misi utamanya yang “keras” serta sempat munculnya korban akibat ledakan granat atau tembakan misterius di sana-sini, aksi protes berkepanjangan di Bangkok kali ini memang banyak diwarnai pesta.

Sebuah pesta atas nama reformasi. (Ditulis oleh Irene Dyah. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 2014)

Baca juga: Parpol-parpol ‘Kompak’ Tolak Caleg Diwajibkan Laporkan Harta Kekayaannya di Pemilu 2019

Artikel Terkait