Kang Sobary memberi contoh pengalaman Gus Mus. Waktu muda, Mustofa Bisri berguru ngaji di Pesantren Lirboyo, Kediri. Satu kali, ia pulang kampung ke Rembang dalam keadaan gondrong. Rupanya, tak ada gunting yang sanggup memotong rambutnya.
Sang ayah, Kyai Bisri Mustofa (alm) tentu gusar dengan anaknya yang tidak konsentrasi pada ngaji, tetapi malah mempelajari kesaktian macam itu. Tapi alih-alih naik darah, Kyai Bisri hanya mengambil gunting, lalu kres, kres, kres, kesaktian Mustofa pun berhasil ditaklukkan. Sambil memotong rambut anaknya, Kyai Bisri bilang, “Bapak yang sudah lama ngaji saja, baru jadi kyai. Masak kamu baru ngaji sebentar sudah jadi wali.”
“Dengan cara seperti itu, nasihat kena, humor pun bisa. Maknanya bertakik-takik,” kata Sobary.
Sekarang kita dengar cerita Gus Mus yang juga dikenal sebagai saudagar humor ini.
Adalah seorang kyai sepuh yang mengharamkan radio karena dianggap banyak mudaratnya. Semua kyai segan kepadanya sehingga tak ada seorang pun yang berani menentang. Membantah langsung dianggap bukan cara yang bijak. Maka Kyai Bisri Mustofa membuat sebuah rekayasa.
Satu hari kyai sepuh itu diundang makan-makan ke rumahnya. Kyai Bisri sengaja memilih waktu malam Jumat sesudah maghrib karena sebuah stasiun radio di Surabaya menyiarkan acara pembacaan Alquran.
Selesai makan, Kyai Bisri menghidupkan radio dari dalam kamar. Mendengar ada orang membaca Alquran, sang kyai sepuh bertanya, “Siapa yang ngaji itu? Suaranya kok enak sekali.”
Sambil menahan geli, Kyai Bisri menggotong radio keluar dari kamar sambil menimpali, “Ini lo, Mbah, yang ngaji.” Sambil terheran-heran sang kyai sepuh itu berujar, “Lo, di radio ada ngajinya juga toh?”
(Bersambung)
Penulis | : | M Sholekhudin |
Editor | : | M Sholekhudin |
KOMENTAR