Mati Guyon Cara Pesantren (Bag. 2 dari 3)

M Sholekhudin

Editor

Mati Guyon Cara Pesantren (Bag. 2 dari 3)
Mati Guyon Cara Pesantren (Bag. 2 dari 3)

Sebagai seni olah senyum, humor punya banyak sisi. Tak melulu sesuatu yang membuat kita tertawa tergelak-gelak sambil memegangi perut. Mohamad Sobary, budayawan yang juga ahli per-NU-an, memberi contoh sebuah ungkapan lelucon yang populer di kalangan NU. “Alhamdulillah, keluarga saya Islam semua. Menantu saya juga Islam, minimal Muhammadiyah.”

Di satu sisi, frasa “minimal Muhammadiyah” seolah-olah menunjukkan klaim teologis, bahwa NU lebih benar ketimbang muhammadiyah. Tapi sebagai humor, ungkapan ini justru bisa bermakna sebaliknya, sebagai kritik terhadap diri sendiri. Ini mirip dengan humor-humor konyol kaum sufi yang dilakonkan oleh tokoh legendaris Nasruddin Hoja.

Selain hasil olah kreativitas, humor NU juga sering timbul dari kejadian-kejadian tak terduga. Seolah-olah semua yang menimpa warga nahdliyin telah diatur sedemikian rupa sehingga memenuhi syarat-syarat sebuah humor. Masih tentang keluguan kyai, kali ini cerita terjadi pada KH Muchit Muzadi (kakak KH Hasyim Muzadi) dan Gaffar Rahman, mantan Sekjen PBNU. Waktu itu keduanya hendak pulang ke Jawa Timur naik kereta api Bima dari Stasiun Kota, Jakarta. Karena jam keberangkatan masih lama, keduanya sepakat menunggu sambil nongkrong di kafetaria di dalam stasiun.

Saat asik ngobrol, tiba-tiba kereta berangkat. Keduanya segera berlari mengejarnya. Karena usianya lebih muda, Gaffar Rahman bisa mengejar kereta, sementara Kyai Muchit terduduk lemas karena tertinggal. Seorang petugas kereta menghampirirnya dan bertanya, “Bapak naik kereta apa?”

“Kereta Bima,” jawabnya.

“Itu ‘kan kereta Bima, belum berangkat,” tukas petugas sambil menunjuk kereta di sampingnya.

Tidak ada riwayat bagaimana kelanjutan cerita ini. Yang jelas, keluguan para kyai tetap menjadi sumber utama canda tawa dalam tradisi NU.

Ini kisah lain tentang seorang kyai dari Rembang yang dikenal sebagai Kyai Alhamdulillah. Julukan ini didapat karena ia selalu mengucapkan alhamdulillah tak peduli kejadian apa pun yang ia alami.

Satu kali ia pergi bersama robongan kyai ke Semarang untuk sebuah acara. Menjelang kota Demak, rombongan kyai ini mendapat tontonan gratis orang-orang yang mandi di sungai di tepi jalan.

Melihat tontonan ini, seorang kyai berseru masya allah. Sebagian mengucap astaghfirullah. Lainnya membaca inna lillah. Tapi kyai yang satu ini (tanpa bermaksud melucu) tetap konsisten dengan dzikirnya: alhamdulillah.

Lelucon Sebagai Nasihat

Selain tujuan ketawa, dalam tradisi pesantren, guyon juga menjadi alat menyampaikan pesan. Fikri menyebutnya sebagai tawa-show yang sekaligus tawashow. (Dalam bahasa Arab, tawashow berarti saling menasihati). “Di NU, humor menjadi bagian dari kearifan, kritik diri, juga kritik buat orang lain,” ucap Kang Sobary. Ketawa, lalu masalah pun selesai.

Kang Sobary memberi contoh pengalaman Gus Mus. Waktu muda, Mustofa Bisri berguru ngaji di Pesantren Lirboyo, Kediri. Satu kali, ia pulang kampung ke Rembang dalam keadaan gondrong. Rupanya, tak ada gunting yang sanggup memotong rambutnya.

Sang ayah, Kyai Bisri Mustofa (alm) tentu gusar dengan anaknya yang tidak konsentrasi pada ngaji, tetapi malah mempelajari kesaktian macam itu. Tapi alih-alih naik darah, Kyai Bisri hanya mengambil gunting, lalu kres, kres, kres, kesaktian Mustofa pun berhasil ditaklukkan. Sambil memotong rambut anaknya, Kyai Bisri bilang, “Bapak yang sudah lama ngaji saja, baru jadi kyai. Masak kamu baru ngaji sebentar sudah jadi wali.”

“Dengan cara seperti itu, nasihat kena, humor pun bisa. Maknanya bertakik-takik,” kata Sobary.

Sekarang kita dengar cerita Gus Mus yang juga dikenal sebagai saudagar humor ini.

Adalah seorang kyai sepuh yang mengharamkan radio karena dianggap banyak mudaratnya. Semua kyai segan kepadanya sehingga tak ada seorang pun yang berani menentang. Membantah langsung dianggap bukan cara yang bijak. Maka Kyai Bisri Mustofa membuat sebuah rekayasa.

Satu hari kyai sepuh itu diundang makan-makan ke rumahnya. Kyai Bisri sengaja memilih waktu malam Jumat sesudah maghrib karena sebuah stasiun radio di Surabaya menyiarkan acara pembacaan Alquran.

Selesai makan, Kyai Bisri menghidupkan radio dari dalam kamar. Mendengar ada orang membaca Alquran, sang kyai sepuh bertanya, “Siapa yang ngaji itu? Suaranya kok enak sekali.”

Sambil menahan geli, Kyai Bisri menggotong radio keluar dari kamar sambil menimpali, “Ini lo, Mbah, yang ngaji.” Sambil terheran-heran sang kyai sepuh itu berujar, “Lo, di radio ada ngajinya juga toh?”

(Bersambung)